Hukum Kloning dalam Pandangan Islam
Hukum kloning dalam pandangan Islam sangat
jelas, yang diambil dari dalil-dalil qiyas dan itjihat. Karena belakangan ini
telah berkembang satu teknologi baru yang mampu memduplikasi makhluk hidup
dengan sama persis, teknologi ini dikenal dengan nama teknologi kloning.
Kloning adalah teknik membuat keturunan dengan kode genetik yang sama dengan
induknya pada makhluk hidup tertentu baik berupa tumbuhan, hewan, maupun
manusia. Kloning telah berhasil dilakukan pada tanaman sebagai¬mana pada hewan
belakangan ini, kendatipun belum berhasil dilakukan pada manusia. Tujuan
kloning pada tanaman dan hewan pada dasarnya adalah untuk memperbaiki kualitas
tanaman dan hewan, meningkatkan produktivitasnya, dan mencari obat alami bagi
banyak penyakit manusia–terutama penyakit-penyakit kronis–guna menggantikan
obat-obatan kimiawi yang dapat menimbulkan efek samping terhadap kesehatan
manusia.
Upaya memperbaiki kualitas tanaman dan hewan
dan meningkatkan produktivitasnya tersebut menurut syara’ tidak apa-apa untuk
dilakukan dan termasuk aktivitas yang mubah hukumnya. Demikian pula
memanfaatkan tanaman dan hewan dalam proses kloning guna mencari obat yang
dapat menyembuhkan berbagai penyakit manusia–terutama yang kronis–adalah
kegiatan yang dibolehkan Islam, bahkan hukumnya sunnah (mandub), sebab berobat
hukumnya sunnah. Begitu pula mempro¬duksi berbagai obat-obatan untuk kepentingan
pengobatan hukumnya juga sunnah. Oleh karena itu, dibolehkan memanfaatkan
proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman dan mempertinggi produktivitasnya
atau untuk memperbaiki kualitas hewan seperti sapi, domba, onta, kuda, dan
sebagainya. Juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk mempertinggi produktivitas hewan-hewan
tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai
penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis. Oleh karena itu tidak
salah jika Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah yang berpusat di Kairo Mesir
mengeluarkan fatwa akan bolehnya memanfaatkan teknologi kloning terhadap
tumbuh-tumbuhan atau hewan asalkan memiliki daya guna (bermanfaat) bagi
kehidupan manusia. Hal ini didasarkan pada prinsip bahwa segala sesuatu yang
ada di dunia ini diciptakan untuk kesejahteraan manusia. Apalagi jika kita
memanfaatkan proses kloning ini untuk jelas-jelas untuk memperbaiki kualitas tanaman
dan mempertinggi produktivitasnya atau untuk memperbaiki kualitas hewan. Selain
itu juga dibolehkan memanfaatkan proses kloning untuk mempertinggi produktivi¬tas hewan-hewan
tersebut dan mengembangbiakannya, ataupun untuk mencari obat bagi berbagai
penyakit manusia, terutama penyakit-penyakit yang kronis.
Adapun kloning manusia adalah teknik membuat
keturunan dengan kode genetik yang sama dengan induknya yang berupa manusia.
Hal ini dapat dilakukan dengan cara mengambil sel tubuh (sel somatik) dari
tubuh manusia, kemudian diambil inti selnya (nukleusnya), dan selanjutnya ditanamkan
pada sel telur (ovum) wanita–yang telah dihilangkan inti selnya–dengan suatu
metode yang mirip dengan proses pembuahan atau inse¬minasi buatan. Dengan
metode semacam itu, kloning manusia dilaksanakan dengan cara mengambil inti sel
dari tubuh seseorang, lalu dimasukkan ke dalam sel telur yang diambil dari
seorang perempuan. Lalu dengan bantuan cairan kimiawi khusus dan kejutan arus
listrik, inti sel digabungkan dengan sel telur. Setelah proses penggabungan ini
terjadi, sel telur yang telah bercampur dengan inti sel tersebut ditransfer ke
dalam rahim seorang perempuan, agar dapat memperbanyak diri, berkembang,
berdiferensiasi, dan berubah menjadi janin sempurna. Setelah itu keturunan yang
dihasilkan dapat dilahirkan secara alami. Keturunan ini akan berkode genetik
sama dengan induknya, yakni orang yang menjadi sumber inti sel tubuh yang telah
ditanamkan pada sel telur perempuan.
Dalam fatwanya Majma' al-Buhûts al-Islâmiyyah
menjelaskan bahwa hukum meng-kloning manusia tergantung pada cara kloning yang
dilakukan. Paling tidak ada empat cara yang bisa dilakukan dalam kloning
manusia: Cara pertama, kloning dilakukan dengan mengambil inti sel
(nucleus of cells) "wanita lain (pendonor sel telur)" yang kemudian
ditanamkan ke dalam ovum wanita kandidat yang nukleusnya telah dikosongkan.
Cara kedua, kloning dilakukan dengan menggunakan inti sel (nucleus)
"wanita kandidat" itu sendiri, dari sel telur milik sendiri bukan
dari pendonor. Cara ketiga, cloning dilakukan dengan menanamkan inti sel
(nucleus) jantan ke dalam ovum wanita yang telah dikosongkan nukleusnya. Sel
jantan ini bisa berasal dari hewan, bisa dari manusia. Terus manusia ini bisa
pria lain, bisa juga suami si wanita. Cara keempat, kloning dilakukan
dengan cara pembuahan (fertilization) ovum oleh sperma (dengan tanpa hubungan
seks) yang dengan proses tertentu bisa menghasilkan embrio-embrio kembar yang
banyak.
Pada kasus dua cara pertama, pendapat yang
dikemukakan adalah haram, dilarang melakukan kloning yang semacam itu dengan
dasar analogi (qiyas) kepada haramnya lesbian dan saadduzarai' (tindakan
pencegahan, precaution) atas timbulnya kerancuan pada nasab atau sistem
keturunan, padahal melindungi keturunan ini termasuk salah satu kewajiban
agama. Di lain pihak juga akan menghancurkan sistem keluarga yang merupakan
salah ajaran agama Islam. Pada cara ketiga dan keempat, kloning haram dilakukan
jika sel atau sperma yang dipakai milik lelaki lain (bukan suami) atau milik
hewan. Jika sel atau sperma yang dipakai milik suami sendiri maka hukumnya belum
bisa ditentukan (tawaquf), melihat dulu maslahah dan bahayanya dalam kehidupan
sosial. Untuk menentukan hukum pastinya harus didiskusikan dahulu dengan
melibatkan banyak pakar dari berbagai disiplin ilmu, yang meliputi ilmuwan
kedokteran, ilmuwan biologi (geneticist, biophysicist, dll), sosiolog,
psikolog, ilmuwan hukum, dan agamawan (pakar fiqh). Jika hasilnya bisa membuat
kacau tatanan masyarakat (karena banyak orang kembar, sehingga jika ada tindak
kriminal atau kasus hukum lainnya susah diidentifikasi, dan mungkin efek-efek
lain) maka hukumnya haram. Cara mengatasinya dengan melihat maslahah dan
madharatnya. Jika hukum kloning sudah menjadi keputusan haram atau halal, maka
tentu bisa ditindak lanjuti melalui lembaga-lembaga yang berwenang untuk
melarang atau menjatuhkan sanksi bagi para pelanggarnya.
Namun demikian ada satu hikmah penting dengan
adanya inovasi baru tentang teknologi kloning ini. Prestasi ilmu pengetahuan
yang telah sampai pada penemuan proses kloning ini, sesungguhnya telah
menyingkapkan sebuah hukum alam yang ditetapkan Allah Swt. pada sel-sel tubuh
manusia dan hewan, karena proses kloning telah menyingkap fakta bahwa pada sel
tubuh manusia dan hewan terdapat potensi menghasilkan keturunan, jika inti sel
tubuh tersebut ditanamkan pada sel telur perempuan yang telah dihilangkan inti
selnya. Jadi, sifat inti sel tubuh itu tak ubahnya seperti sel sperma laki-laki
yang dapat membuahi sel telur perempuan. Wallahu a’lam bisshowab.
Melihat fakta kloning manusia secara
menyeluruh, syari’at Islam mengharamkan kloning terhadap manusia, dengan
argumentasi sebagai berikut:
Pertama,
anak-anak
produk proses kloning dihasilkan melalui cara yang tidak alami (percampuran
antara sel sperma dan sel telur). Padahal, cara alami inilah yang telah
ditetapkan oleh syariat sebagai sunatullah menghasilkan anak-anak dan
keturunannya. Allah SWT berfirman:
وَأَنَّهُ
خَلَقَ الزَّوْجَيْنِ الذَّكَرَ وَالأُنثَى (٤٥) مِن نُّطْفَةٍ إِذَا تُمْنَى (٤٦)
“Dan
bahwasannya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan
dari air mani apabila dipancarkan.” (QS an-Najm, 53: 45-46)
Dalam
ayat lain dinyatakan pula,
أَلَمْ
يَكُ نُطْفَةً مِّن مَّنِيٍّ يُمْنَى (٣٧) ثُمَّ كَانَ عَلَقَةً فَخَلَقَ فَسَوَّى
(٣٨)
“Bukankah dia dahulu setetes mani yag
ditumpahkan (ke dalam rahim), kemudian mani itu menjadi segumpal darah, lalu
Allah menciptakannya dan menyempurnakannya. Lalu Allah menjadikan daripadanya
sepasang laki-laki dan perempuan.” (QS al-Qiyâmah, 75: 37-38).
Kedua,
anak-anak produk kloning dari perempuan-tanpa adanya laki-laki-tidak akan
memunyai ayah. Anak produk kloning tersebut jika dihasilkan dari proses pemindahan
sel telur-yang telah digabungkan dengan inti sel tubuh-ke dalam rahim perempuan
yang bukan pemilik sel telur, tidak pula akan memunyai ibu sebab rahim
perempuan yang menjadi tempat pemindahan sel telur tersebut hanya menjadi
penampung (mediator). Oleh karena itu, kondisi ini sesungguhnya telah bertentangan
dengan firman Allah SWT:.
يا
أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْناكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَ أُنْثى وَ جَعَلْناكُمْ شُعُوباً
وَ قَبائِلَ لِتَعارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقاكُمْ إِنَّ اللَّهَ
عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya
kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan
menjadikan kamu berbangsa–bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal.” (QS al-Hujurât, 49: 13)
Juga
bertentangan dengan firman-Nya yang lain,
ادْعُوهُمْ
لآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ
فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ
وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Panggilah mereka (anak-anak angkat itu)
dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi
Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah
mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [Maula-maula ialah:
seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak
angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah] dan tidak
ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada
dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang. (QS al-Ahzâb. 33: 5).
Ketiga,
kloning manusia akan menghilangkan nasab (garis keturunan). Padahal Islam telah
mewajibkan pemeliharaan nasab. Ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari
Ibnu Abbas r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. telah bersabda, “Siapa saja
yang menghubungkan nasab kepada orang yang bukan ayahnya, atau (seorang budak)
bertuan (loyal/taat) kepada selain tuannya, maka dia akan mendapat laknat dari
Allah, para malaikat dan seluruh manusia.” (H.R. Ibnu Majah) Diriwayatkan pula
dari Abu ‘Utsman An Nahri r.a. yang berkata, “Aku mendengar Sa’ad dan Abu
Bakrah masing-masing berkata, ‘Kedua telingaku telah mendengar dan hatiku telah
menghayati sabda Muhammad s.a.w., “siapa saja yang mengaku-ngaku (sebagai anak)
kepada orang yang bukan bapaknya, padahal dia tahu bahwa orang itu bukan
bapaknya, maka surga baginya haram.” (H.R. Ibnu Majah) Diriwayatkan pula dari
Abu Hurairah r.a. bahwasannya tatkala turun ayat li’an dia mendengar Rasulullah
saw. bersabda: “Siapa saja perempuan yang memasukkan kepada suatu kaum nasab
(seseorang) yang bukan dari kalangan kaum itu, maka dia tidak akan mendapat
apapun dari Allah dan Allah tidak akan pernah memasukkannya ke dalam surga. Dan
siapa saja laki-laki yang mengingkari anaknya sendiri padahal dia melihat
(kemiripan)nya, maka Allah akan akan tertutup darinya dan Allah akan
membeberkan perbuatannya itu dihadapan orang-orang yang terdahulu dan kemudian
(pada Hari Kiamat)” (H.R. Ad-Darimi).
Kloning manusia yang bermotif memproduksi
manusia-manusia unggul dalam hal kecerdasan, kekuatan fisik, kesehatan,
kerupawanan-jelas mengharuskan seleksi terhadap orang-orang yang akan
dikloning, tanpa memperhatikan apakah mereka suami-isteri atau bukan, sudah
menikah atau belum. Sel-sel tubuh itu akan diambil dari perempuan atau laki-laki
yang terpilih. Semua ini akan mengacaukan, menghilangkan dan membuat bercampur
aduk nasab.
Keempat,
memproduksi anak melalui proses kloning akan mencegah (baca: mengacaukan)
pelaksanaan banyak hukum-hukum syara’ seperti hukum tentang perkawinan, nasab,
nafkah, hak dan kewajiban antara bapak dan anak, waris, perawatan anak,
hubungan kemahraman, hubungan ‘ashabah, dan banyak lagi. Di samping itu,
kloning akan mencampur-adukkan dan menghilangkan nasab serta menyalahi fitrah
yang telah diciptakan Allah untuk manusia dalam masalah kelahiran anak.
Konsekuensi kloning ini akan menjungkirbalikkan struktur kehidupan masyarakat.
Pengharaman ini hanya berlaku untuk kasus
kloning pada manusia a.n. sich. Kloning bagi hewan dan tumbuhan, apalagi
bertujuan untuk mencari obat, justru dibolehkan bahkan disunahkan. Ini dapat
dilihat dari dua hadis di bawah ini, “Sesungguhnya Allah Azza Wa Jalla setiap
kali menciptakan penyakit, Dia menciptakan pula obatnya. Maka berobatlah
kalian!.” (H.R. Imam Ahmad) Imam Abu Dawud dan Ibnu Majah meriwayatkan dari
Usamah bin Syuraik r.a. yang berkata, “Aku pernah bersama Nabi, lalu datanglah
orang-orang Arab Badui. Mereka berkata, ‘Wahai Rasulullah, bolehkah kami
berobat?’ Maka Nabi saw. menjawab, “Ya. Hai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian
sebab sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidaklah menciptakan penyakit kecuali
menciptakan pula obat baginya….” Maka, berdasarkan nash (teks) ini
diperbolehkan memanfaatkan proses kloning untuk memperbaiki kualitas tanaman
dan hewan untuk mempertinggi produktivitasnya.