Pengertian Kecerdasan Adversitas
Ada beberapa pengertian kecerdasan adversitas
yang diberikan oleh para ahli. Dalam menjalankan tugas, apapun latar belakang
profesinya, termasuk siswa, seseorang sangat perlu menentukan dan melakukan
langkah-langkah yang memungkinkan yang bersangkutan mengambil jalan yang paling
taktis. Jalan taktis tersebut berguna untuk melakukan terobosan penting, agar
kesuksesan menjadi nyata. Menurut Stoltz, suksesnya pekerjaan dan hidup
terutama ditentukan oleh Adversity Quotient (AQ). Dikatakan juga bahwa AQ
berakar pada bagaimana merasakan dan menghubungkan dengan tantangan-tantangan.
Orang yang memiliki AQ lebih tinggi tidak menyalahkan pihak lain atas
kemunduran yang terjadi dan bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah.Stoltz
membagi tiga kelompok manusia yang diibaratkan sedang dalam perjalanan mendaki
gunung yaitu pertama, high-AQ dinamakan Climbers, kelompok yang suka mencari
tantangan. Yang kedua, low-AQ dinamakan Quitters, kelompok yang melarikan diri
dari tantangan. Yang ketiga, moderat-AQ dinamakan campers.
AQ
mempunyai tiga bentuk,4 yaitu:
- AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan
- AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan
- AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.
Agar kesuksesan menjadi nyata maka Stoltz
(1997) berpendapat bahwa gabungan dari ketiga unsur di atas yaitu pengetahuan
baru, tolok ukur, dan peralatan yang praktis merupakan sebuah kesatuan yang
lengkap untuk memahami dan memperbaiki komponen dasar meraih sukses.
Secara
umum ada indikator yang merupakan gejala dari kesulitan menurut Stoltz yang diungkapkan dalam bentuk pertanyaan:
Di saat yang krisis, apakah
Anda bangkit untuk menghadapi tantangan secara mendalam dan menunjukkan
kebesaran? Apakah Anda tidak merasa takut terhadap gangguan, tantangan dan
ketidakpastian harian? Atau, ketika kesulitan menggunung, apakah Anda terperosok dalam
keadaan yang kacau, semangat menurun, serta menyesuaikan nilai inti dan tujuan
yang sebelumnya demikian disanjung-sanjung? Menyalahkan orang lain, mengeluh,
mengelak tanggung jawab, menghindari risiko dan menolak untuk berubah?
Tidaklah cukup untuk mencapai kesuksesan
hanya dengan IQ tinggi, atau EQ tinggi. Sementara itu EQ sendiri tidak
mempunyai standar pengukuran yang sah dan metode yang jelas untuk
mempelajarinya. Maka, kecerdasan emosional tetap sulit untuk dipahami.
Pertanyaan yang mengusik Stoltz adalah, mengapa ada orang yang kecerdasan
intelektualnya (IQ-nya) tinggi serta kemampuan bergaul dan komunikasi yang
mengesankan (EQ-nya juga tinggi), namun ternyata gagal untuk meraih sukses? Jawabannya,
menurut Stoltz lagi, ada dalam kerangka berpikir yang disebutnya dengan
Adversity Quotient (kecerdasan menghadapi tantangan). Baginya, AQ mendasari
semua segi kesuksesan. Oleh Stoltz AQ diartikan sebagai, "..mampu bertahan
menghadapi serta kemampuan untuk mengatasi kesulitan...".
Dalam melakukan suatu kegiatan tidak
selamanya semuanya berjalan lancar, adakalanya dihadapkan pada kegagalan,
hambatan, dan kesulitan. Mortel (2000) mengemukakan kegagalan ialah suatu
proses yang perlu dihargai. Selain itu Mortel (2000) juga berpendapat bahwa
kegagalan hanyalah suatu pengalaman yang akan menghantar untuk mencoba berusaha
lagi dengan pendekatan yang berbeda. Seiring dengan itu Maxwell, mengungkapkan bahwa perbedaan antara orang
yang berprestasi biasa dengan orang yang prestasinya luar biasa adalah
persepsinya tentang kegagalan serta bagaimana responnya terhadap kegagalan.
Ternyata ketekunan membawa kepada daya tahan. Daya tahan tersebut akan
memberikan kesempatan untuk meraih sukses. Oulletle dalam Stoltz, mengemukakan bahwa orang yang tahan banting
tidak terlalu menderita terhadap akibat negatif yang berasal dari kesulitan.
Sifat tahan banting dalam diri manusia
merujuk pada kemampuan menghadapi kondisi-kondisi kehidupan yang keras, suatu
perasaan tentang komitmen, tantangan dan
pengendalian. Senada dengan itu Wetner yang dikutip Stoltz, mengatakan bahwa orang
yang ulet adalah orang yang mampu menyelesaikan masalahnya dan orang yang mampu
memanfaatkan peluang. Orang yang mengubah kegagalannya menjadi batu loncatan
mampu memandang kekeliruan atau pengalaman negatifnya sebagai bagian dari
hidupnya, belajar darinya dan kemudian maju terus. Sementara itu Martin
Seligmen, menyatakan seseorang yang punya gaya penjelasan atau atribusi lebih optimis
dalam meramal kesuksesannya. Dan Albert Bandura, juga mengungkapkan bahwa orang
yang memiliki rasa efektivitas diri bangkit kembali dari kegagalan. Mereka
mendekati segala sesuatu dengan melihat bagaimana menghadapinya, bukan mencemaskan
apa jadinya nanti bila keliru.
Menurut
Maxwell, ada tujuh kemampuan yang dibutuhkan untuk mengubah kegagalan menjadi
batu loncatan yaitu:
- Para peraih prestasi pantang menyerah dan tidak jemu-jemunya mencoba karena tidak mendasarkan harga dirinya pada prestasi
- Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai sementara sifatnya
- Para peraih prestasi memandang kegagalan sebagai insiden-insiden tersendiri
- Para peraih prestasi memiliki ekspektasi yang realistic
- Para peraih prestasi memfokuskan perhatian pada kekuatan-kekuatannya
- Para peraih prestasi menggunakan berbagai pendekatan dalam meraih prestasinya
- Para peraih prestasi mudah bangkit kembali.