FILM DARI NOVEL TENGGELAMNYA KAPAL VAN DER WIJCK, SEGERA TAYANG
Film dari Tenggelamnya Kapal Novel
Van Der Wijck karangan Buya HAMKA (Haji Abdul Malik Karim Amrullah), akan
segera tayang di bioskop-bioskop 19 Desember 2013, setelah sekitar lima tahun digarap Soraya Intercine Films. Film ini diangkat dari
novel yang terbit tahun 1939, hasil buah tangan ulama brilian, Buya HAMKA.
Roman ini mengisahkan persoalan adat yang berlaku di Minangkabau dan Makassar
yang menghalangi hubungan cinta sepasang kekasih. Zainudin yang besar di
Makassar dan Nur Hajati yang beradat Minang. Kedua adat inilah yang dianggap
oleh Buya HAMKA menjadi alasan terjadinya konflik dalam novel ini.
Berikut resensi novel Tenggelamnya
Kapal Novel Van Der Wijck
Di wilayah Mengkasar, di tepi
pantai, di antara Kampung Baru dan Kampung Mariso berdiri sebuah rumah bentuk
Mengkasar. Di sanalah hidup seorang pemuda berumur 19 tahun. Pemuda itu bernama
Zainuddin. Saat ia termenung, ia teringat pesan ayahnya ketika akan meninggal.
Ayahnya mengatakan bahwa negeri aslinya bukanlah Mengkasar.
Di Negeri Batipuh Sapuluh Koto (Padang panjang) 30 tahun lampau, seorang
pemuda bergelar Pendekar Sutan, kemenakan Datuk Mantari Labih, yang merupakan
pewaris tunggal harta peninggalan ibunya. Karena tak bersaudara perempuan, maka
harta bendanya diurus oleh mamaknya.
Datuk Mantari labih hanya bisa menghabiskan harta tersebut, sedangkan untuk
kemenakannya tak boleh menggunakannya. Hingga suatu hari, ketika Pendekar Sutan
ingin menikah namun tak diizinkan menggunakan hartanya tersebut, terjadilah
pertengkaran yang membuat Datuk Mantari labih menemui ajalnya. Pendekar Sutan
ditangkap, saat itu ia baru berusia 15 tahun. Ia dibuang ke Cilacap, kemudian
dibawa ke Tanah Bugis. Karena Perang Bone, akhirnya ia sampai di Tanah
Mengkasar. Beberapa tahun berjalan, Pendekar Sutan bebas dan menikah dengan
Daeng Habibah, putri seorang penyebar agama islam keturunan Melayu. Empat tahun
kemudian, lahirlah Zainuddin.
Saat Zainuddin masih kecil, ibunya meninggal. Beberapa bulan kemudian
ayahnya menyusul ibunya. Ia diasuh Mak Base. Pada suatu hari, Zainuddin meminta
izin Mak Base untuk pergi ke Padang Panjang, negeri asli ayahnya. Dengan berat
hati, Mak Base melepas Zainuddin pergi.
Sampai di Padang Panjang, Zainuddin langsung menuju Negeri Batipuh.
Sesampai di sanan, ia begitu gembira, namun lama-lama kabahagiaannya itu hilang
karena semuanya ternyata tak seperti yang ia harapkan. Ia masih dianggap orang
asing, dianggap orang Bugis, orang Mengkasar. Betapa malang dirinya, karena di
negeri ibunya ia juga dianggap orang asing, orang Padang. Ia pun jenuh hidup di
padang, dan saat itulah ia bertemu Hayati, seorang gadis Minang yang membuat
hatinya gelisah, menjadikannya alasan untuk tetap hidup di sana. Berawal dari
surat-menyurat, mereka pun menjadi semakin dekat dan akhirnya saling cinta.
Kabar kedekatan mereka tersiar luas dan menjadi bahan gunjingan semua
orang Minang. Karena keluarga Hayati merupakan keturunan terpandang, maka hal
itu menjadi aib bagi keluarganya. Zainuddin dipanggil oleh mamak Hayati, dengan
alasan demi kemaslahatan Hayati, mamak Hayati menyuruh Zainuddin pergi
meninggalkan Batipuh.
Zainuddin pindah ke Padang Panjang dengan berat hati. Hayati dan
Zainuddin berjanji untuk saling setia dan terus berkiriman surat. Suatu hari,
Hayati datang ke Padang Panjang. Ia menginap di rumah temannya bernama
Khadijah. Satu peluang untuk melepas rasa rindu pun terbayang di benak Hayati
dan Zainuddin. Namun hal itu terhalang oleh adanya pihak ketiga, yaitu Aziz,
kakak Khadijah yang juga tertarik oleh kecantikan Hayati.
Mak Base meninggal, dan mewariskan banyak harta kepada Zainuddin. Karena
itu ia akhirnya mengirim surat lamaran kepada Hayati di Batipuh. Hal itu
bersamaan pula dengan datangnyarombongan dari pihak Aziz yang juga hendak
melamar Hayati. Zainuddin tanpa menyebutkan harta kekayaan yang dimilikinya,
akhirnya ditolak oleh ninik mamak Hayati dan menerima pinangan Aziz yang di
mata mereka lebih beradab.
Zainuddin tak kuasa menerima penolakan tersebut. Apalagi kata sahabatnya,
Muluk, Aziz adalah seorang yang bejat moralnya. Hayati juga merasakan
kegetiran. Namun apalah dayanya di hadapan ninik mamaknya. Setelah pernikahan
Hayati, Zainuddin jatuh sakit.
Untuk melupakan masa lalunya, Zainuddin dan Muluk pindah ke Jakarta. Di
sana Zainuddin mulai menunjukkan kepandaiannya menulis. Karyanya dikenal
masyarakat dengan nama letter “Z”. Zainuddin dan Muluk pindah ke Surabaya, dan
ia pun akhirnya menjadi pengarang terkenal yang dikenal sebagai hartawan yang
dermawan.
Hayati dan Aziz hijrah ke Surabaya. Semakin lama watak asli Aziz semakin
terlihat juga. Ia suka berjudi dan main perempuan. Kehidupan perekonomian
mereka makin memprihatinkan dan terlilit banyak hutang. Mereka diusir dari
kontrakan, dan secara kebetulan mereka bertemu dengan Zainuddin. Mereka singgah
di rumah Zainuddin. Karena tak kuasa menanggung malu atas kebaikan Zainuddin,
Aziz meninggalkan istrinya untuk mencari pekerjaan ke Banyuwangi.
Beberapa hari kemudian, datang dua surat dari Aziz. Yang pertama berisi
surat perceraian untuk Hayati, yang kedua berisi surat permintaan maaf dan
permintaan agar Zainuddin mau menerima Hayati kembali. Setelah itu datang
berita bahwa Aziz ditemukan bunuh diri di kamarnya. Hayati juga meminta maaf
kepada Zainuddin dan rela mengabdi kepadanya. Namun karena masih merasa sakit
hati, Zainuddin menyuruh Hayati pulang ke kampung halamannya saja. Esok
harinya, Hayati pulang dengan menumpang Kapal Van Der Wijck.
Setelah Hayati pergi, barulah Zainuddin menyadari bahwa ia tak bisa hidup
tanpa Hayati. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta
engkau, dan kalau kumati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau.” Maka
segeralah ia hendak menyusul Hayati ke Jakarta. Saat sedang bersiap-siap, tersiar
kabar bahwa kapal Van Der Wijck tenggelam. Seketika Zainuddin langsung syok,
dan langsung pergi ke Tuban bersama Muluk untuk mencari Hayati.
Di sebuah rumah sakit di daerah Lamongan, Zainuddin menemukan Hayati yang
terbaring lemah sambil memegangi foto Zainuddin. Dan hari itu adalah pertemuan
terakhir mereka, karena setelah Hayati berpesan kepada Zainuddin, Hayati
meninggal dalam dekapan Zainuddin.
Sejak saat itu, Zainuddin menjadi pemenung. Dan tanpa disadari siapapun
ia meninggal dunia. Kata Muluk, Zainuddin meninggal karena sakit. Ia dikubur
bersebelahan dengan pusara Hayati.