LORONG
Si Icil Marucil es-em-es lagi untuk yang
ketujuh-juta-tujuh-ratus-tujuh-puluh-tujuh
kalinya. Lagi-lagi mengingatkan diri hamba yang hina dina ini untuk
segera mengirimkan tulisan tentang PDC. PDC.. Aduhai, sungguh kebingungan melanda
jiwa ini. Terlalu banyak cerita tentangnya. Buanyaaaaaaaaak banget. Saking
banyaknya, sampai-sampai aku bingung mau nulis yang mana (plak! #dilempar
sendal sama Mustaqin). Tapi biarlah kucoba. Kawan.. Kalau ia berhikmah,
ambillah.
******
“Bermula dari kosong, aku akan kembali menuju kosong. Maka biarlah aku
bertutur dari kekosonganku..”
Adzan subuh, 24 tahun yang lalu..
Setelah perjuangan berat
hidup dan mati, tepat ketika adzan subuh berkumandang, akhirnya bocah itu
berhasil menampakkan batang hidungnya. Lolongannya melengking memecah angkasa.
Ini detik pertamanya menjalani kehidupan di muka bumi setelah lebih dari
sembilan bulan merasakan kedamaian dalam rahim sang emak. Bocah kecil mungil nan lucu (serta ganteng) itu di
kemudian hari diberi nama yang diambil dari bahasa Brazil yang berarti ‘sungai’
dan dari bahasa Arab yang berarti ‘bunga’. Harapan emaknya, semoga anaknya yang ganteng itu bisa menjadi seindah
‘bunga di tepian sungai’.
Kawan.. Bocah mungil nan lucu itu aku.
Maka mulai detik itu,
dimulailah kisahku..
ES-DE#
Tak seperti Tom Sawyer,
Huckbelerry Finn atau Nobita, yang melalui masa kanak-kanak dengan
petualangan-petualangan seru, hari-hari kecilku hanya berkutat seputar kambing,
sapi, sungai, layangan, masjid, dan nyuri buah coklat. Itu saja. Paling-paling
yang bisa kubanggakan hanya ketika menang lomba adzan, MTQ, dan balap karung.
Itu pun tingkat RT. Tapi alhamdulillah
ya.. Meski tinggal di kampung nun jauh yang belum masuk listrik, emak sudah
menyalakan lampu agama di kepala dan di hatiku. Misal, kalau aku lalai sholat
karena asyik ngejar layangan, bersiaplah menerima sabetan lidi di paha
kerempeng ini.
EM-TE-ES#
Masih di sebuah sekolah
kampung. Disini aku cukup menjadi kesayangan Bapak Kepala Sekolah, karena
selalu menyabet juara umum, kesayangan Ibu Kantin, karena tukang jajan bakso
cucuknya, dan kesayangan para cewek-cewek, karena aku selalu memperbaiki rantai
sepeda mereka kalau rusak pas mau jalan
pulang. Kasihan ya..? Kasihan kasihan kasihan..
ES-EM-A#
Aku beranjak meninggalkan kampung halaman. Menyambung pencaharian ilmu di
kota. Di sana aku ngekos, di sebuah kos-kosan dimana tepat di sebelah dinding kanan
kamarku ada studio band, sedangkan tepat di sebelah dinding kiriku ada studio
band. Lho? Ya, aku dikepung. Hampir setiap malam, selama tiga tahun, aku selalu
dininabobokan sama Dream Theatre, SUM 41, Linkin Park, Simple Plan dan Korn.
Untungnya, emak sudah mewasiatkan, sholat dijaga ya, Nak! Jadi meskipun
sepanjang malam di’tilawahin’ sama “Chester Bennington”, vocalisnya Linkin Park
itu, aku tetap jadi anak soleh yang tidak sombong. J
KULIAH#
Cerita seru baru akan
mulai. Di awal-awal kuliah, aku mendapati diriku adalah seumpama seorang
pengembara di padang pasir yang tak tau kemana ia akan melangkah. Andai saat
itu aku sudah bertemu Ayu Ting-Ting, mungkin aku takkan sendiri. Tapi ketika
itu aku sendirian, di sebuah kota asing. Tanpa teman, tanpa sanak saudara,
tanpa kantong ajaib Doraemon. Beberapa aktivis senior dari berbagai organisasi
mulai ramai mendekatiku. Mungkin mereka melihat bahwa dalam diriku tersimpan
sejuta potensi yang akan melambungkan nama organisasi mereka bila aku aktif di
dalamnya. Itu perkiraanku. Meski kemungkinannya sangat kecil. Yang paling
mungkin adalah mereka berebut mencoba menarikku masuk ke organisasi mereka
karena aku punya tampang ‘bisa disuruh-suruh’. Dunia memang kejam..
Di masa-masa kebimbangan
itu, tuninut, ada es-em-es masuk..
ES-EM-ES DARI LANGIT!!
ES-EM-ES itu datang dari
seorang lelaki yang tak terlalu terkenal di Hongkong, tetapi cukup populer di
daerah Jl.Buluh Cina dan sekitarnya, namanya Bang Ghozali. Beliau adalah
seorang munsyid. Munsyid itu seorang
penyanyi nasyid. Kalau munsydut,
penyanyi dangdut. Munsrock, penyanyi
rock. Sedangkan kalau penyanyi yang suka menyanyi sambil menyelam sambil minum
air itu namanya munstahil.
Sampai mana tadi cerita
kita? Ah ya, sampai es-em-es. Jadi es-em-es itu adalah es-em-es undangan untuk
hadir di sebuah acara yang bernama “Launching PDC-Insight dan Bedah Film Aku
Judulnya Lupa”. Aku tertegun. PDC.. Hm, apakah kiranya ia? Apakah ia seperti
yang ada di poster-poster di tepi jalan itu, yang berbunyi : Perlu Dana Cepat?? Sediakan buku BPKB!”
Aku tahu bahwa ini acara
majlis ilmu. Disana pasti aku akan memperoleh banyak ilmu dan kawan baru. Maka
dengan semangat menggebu-gebu dari seorang mahasiswa baru yang haus akan
petualangan, segera kubalas es-em-es Bang Zali, : “Ada makan-makannya kan,
Bang?”
*******
PDC-Insight telah
dilaunching oleh Pak Mukhlis selaku dekan. Seraya beliau menitip nasehat semoga
kiranya PDC-Insight bisa menjadi counter
/filter pemikiran-pemikiran psikologi dari barat yang notabene melupakan keberadaan Tuhan, dan mencoba menformulasikan pemikiran-pemikiran psikologi dengan Islam. Amin..
/filter pemikiran-pemikiran psikologi dari barat yang notabene melupakan keberadaan Tuhan, dan mencoba menformulasikan pemikiran-pemikiran psikologi dengan Islam. Amin..
Film telah dibedah. Snack
pula telah dibagikan. Sampai sini aku belum mengerti banyak tentang
PDC-Insight. Yang jelas, es-em-es dari seorang lelaki yang paling hobi makan
ayam goreng (kalau ini aku sama Ipin Upin juga suka) yang bernama Bang Ghozali
itu telah “menjerumuskanku” ke dalam sebuah lorong panjang berliku. Yang
terkadang gelap pekat. Terkadang terang menyilaukan.
Tapi aku tak sendirian.
Ada Rudi, Dedek, Syafii, dan “korban-korban” lain yang sama-sama dijebloskan
Bang Gozali ke lorong panjang ini.
#Cerita pun bermula….
Lorong itu begitu gelap.
Begitu sunyi. Rasa canggung karena belum saling mengenal membuat kami lebih
memilih bercengkrama dengan alam pikiran kami masing-masing. Dalam keheningan
yang mencekam, kami terus melangkah. Tiba-tiba terdengar suara angin berdesir,
sayup membawa aura mistis. Lalu muncul sebuah suara, asing, awalnya lembut,
namun lama-kelamaan semakin memekik. Mengerikan.
Tapi, lambat-laun suara
itu begitu menggoda. Apalagi ternyata suara itu keluar dari mulut seorang
lelaki yang suka menolong sesama.. Yup! Seratus untuk kalian! Benar. Lelaki itu
abang kalian yang ganteng ini.
Pemirsa.. Lelaki itu aku
J..
Suara laguku kini lembut
mengayun. Memancing. Menggoda. Seperti cacing di mata pancing yang elok gemulai
menari-nari di sungai Siak, menanti ikan lele dumbo memakannya.
Akhirnya, Dedek tak
kuasa lagi menahankan diri. Dia menerkam cacing itu. Mengikuti laguku. Tak lama
berselang, Rudi dan Syafi’i juga menerkam cacing, bersama-sama teriak-teriak (hei,
ternyata kalian juga doyan makan cacing ya?).
Lorong itu sekarang ramai oleh suara-suara kami.
“Yeaaaaah… Cari-cari-carilah..
Pasangan betul-betul hidup hei kawan, amatlah berguna, agar hidup aman
bahgia..”
Maka, sejak saat itu,
resmilah sebuah grup nasyid yang digawangi olehku, Syafii, Rudi dan Dedek
terbentuk. Grup nasyid itu bernama La Tahzan (awalnya kuusulkan agar nasyid itu
bernama Senandung Anak Manusia Pencari Arti Hidup,
disingkat biar tidak kepanjangan. Tapi tak ada yang setuju. Entahlah kenapa.
Padahal kalau disingkat kan jadinya keren kan? Mereka memang gak punya seni)
Tapi tak apa.. Yang
pasti, lorong itu tak lagi sunyi kini. Ada La Tahzan menemani.
#Lorong itu bernama PDC..
5 tahun bukanlah
sebentar. Kebersamaan kami dalam PDC-I sungguhlah tak kan terlukiskan dengan
kata-kata. Mulai dari mading PDC yang dah
kami buat sampai bertungkus-lumus tapi tiba-tiba ditemukan keesokan harinya
dalam kondisi tragis, hancur berkeping-keping di halaman belakang fakultas (hingga
kini penyebabnya masih menjadi misteri. Ada yang bilang karena tertiup angin
kencang, lalu tumbang. Ada yang bilang disamber geledek, lalu meledak.. Wallalhul musta’an.
Ada pula cerita ketika terjadi duet maut Syafii vs
Syafaat (Syafii Ketum PDC-I, Syafaat Ketum FK-Massya) yang sepakat melakukan
kerjasama untuk membuat acara besar-besaran bertema Bedah Film dan Bedah Buku
Ayat-Ayat Cinta. Untuk ketua panitia dipilih Rudi Hartono. Persiapan panitia
benar-benar kacau waktu itu. Selain tidak menjalankan fungsinya dengan baik,
koordinasi antar-panitia juga tidak efektif. Mungkin karena panitia tersusun
dari dua fakultas sehingga susah ketemu. Mungkin juga karena kami masih amat
imut-imut, baru semester dua. Tapi kami tak menyerah, sambil tertatih kami
terus berusaha. Alhasil, acara yang dilaksanakan di PKM itu berhasil menarik
minat peserta lebih dari 800 orang. So amazing untuk sebuah acara yang
dihela oleh sebuah organisasi yang bernama Rohis di waktu itu. Sampai
sekarang, tanyakanlah pada Rudi H. S.Psi siapa yang menjadi ketua panitia di
acara itu, pasti dia menjawab : ‘Siapa dulu donk.. Ehem-ehem..” Lalu pasti dia akan batuk-batuk. Muntah-muntah.
(???)
#PDC oh PDC..
PDC itu… Penuh Dengan Canda.. Penuh Dengan Cerita. Disana
kami berantem, tertawa, tersenyum, ngaji, latihan nasyid sambil bikin spanduk
sampai jam dua pagi, makan-makan, cemberut, tahajjud bareng, nyeritain orang,
marah-marahan, konser-konseran, masak Indomie, jalan ke mall, ke hutan, latihan
teater, drama, puisi, berdebat sampai hampir baku hantam dengan “mereka”,
berdialog dengan dekan, saling mengejek di antara kami, saling mengingatkan
pula, aduhai komplekslah sudah.
Pada zaman awal-awal
terbentuk, taklah banyak-banyak betul anggotanya. Apalagi yang ikhwan, aih,
paling banyak lima sampai tujuh orang. Tapi kekompakan membuat kami tetap
bersatu dalam kepedulian. Karena, hanya ada satu kunci agar sebuah organisasi
itu tetap berjalan : KEKOMPAKAN. Apapun masalahnya, asal minumnya The Botol
Sosro, tidak, maksudku asal masih ada kekompakan dari anggota organisasi tersebut,
percayalah, takkan ada rintangan yang
mampu menahan.
Ingatlah bahwa selama
ini PDC-I sudah cukup menunjukkan kualitasnya sebagai sebuah organisasi dengan
tingkat keaktifan tertinggi di fakultas, padahal kita tak mendapat kucuran
dana. Dimana letak kelebihan kita? Ianya ada di kekompakan itu.
Haruskah kusebutkan berapa kali kami berantem karena
saling silang pendapat? Buanyak. Tapi itu cuma sekejap. Sore tak kawan, malam
kami makan goreng rame-rame. Insya Allah kami selalu kompak, meski tak sepaham.
Kemana selalu bersama, dalam suka dan duka, sehidup-semati, hingga ke anak cucu
(lebay deeeh…) Padahal dalam banyak hal, kami sering saling berseberangan.
Saat bernasyid misalnya,
aku lebih suka kalau kami sedikit lebih gaul dengan aliran rock. Rudi pula
lebih berat ke yang agak-agak Bollywood.
Syafii, mana lagu yang be’cengkok’ melayu, jadilah sama dia. Dedek, tak banyak
cerita. Walhasil, untuk memilih lagu saja kami bisa sampai menghabiskan
berhari-hari. Seseorang secara jujur pernah berkata, bahwa sebenarnya daripada
menjadi tim nasyid, kami lebih pantas menjadi tim lawak. Memang, di antara
kami, paling cuma Syafii aja yang suaranya mumpuni. Yang lain? Alamak, bukan
nyanyi tapi nya-nyah, cempreng nan
tak terperikan. Tapi, ala kulli hal wa fi kulli hal kami
selalu kompak. Aku percaya bahwa kalian pula akan seperti itu.
Kemudian.. Ingatlah,
kita tidak berjuang untuk diri kita sendiri. Kita tidak berjuang untuk hal
remeh-temeh. Kita berjuang untuk Dia, Yang Menguasai Kita. Segala apa yang kita
lakukan akan dihitung sebagai ibadah. Bahkan sampai ketika kau terpaksa harus
mendorong motor di tengah malam buta karena kehabisan bensin sepulang dari
membuat mading PDC. Kau pikir langkah kakimu adalah kelelahan? Kau pikir engah
nafasmu adalah kepayahan? Tidak. Semua itu akan dihitung sebagai goresan
perjuanganmu.
Aku, kakak kalian yang dah sepuh (tapi masih ganteng) ini
bukanlah seorang ikhwan militan seperti ikhwan-ikhwan yang lain. Seseorang
malah lebih senang memanggilku bakwan daripada ikhwan. Karena aku memang bukan benar-benar ikhwan secara
maknawiah. Aku masih begini masih begitu. Masih tralala masih trilili. Tapi
disitulah asyiknya PDC. Menampung semua karakter kepribadian. Aku, yang masih
suka tereak-tereak ngikutin Linkin Park (meski nada yang harusnya nge-rock
malah lebih mirip ngaji), Rudi yang hafal hampir semua lagu India, Syafii yang
cengkok melayunya bikin kagak nahan, dan Dedek yang tak jelas suaranya masuk kemana,
semuanya ditampung di PDC.
Atau Katte Ardi,
perantauan asal Makassar (aku curiga kalau ini anak diusir dari kampung
halamannyaJ)
yang sama sekali tak hafal satupun lagu
di muka bumi kecuali Indonesia Raya, itupun terpaksa karena diwajibkan dulu
waktu di sekolah, juga nyemplung ke
PDC.
Atau Rio Desra, Si Guru
MDA yang jeniusnya luar biasa dalam ilmu agama (beliau salah seorang mahasiswa
lulusan pesantren yang tidak mengecewakanku). Satu-satunya yang agaknya bisa
menyaingin ilmunya di PDC ini hanya Si Katte Ardi. Dua ikhwan ini memang
pentolan intelektualitas keagamaan PDC di zaman ku dan satu angkatan di
bawahku. Tapi jangan tanyakan pada mereka tentang siapa yang menyanyikan I’m Yours, lagu yang lagi beken itu, percayalah, sampai
kiamat kodok pun mereka nggak akan bisa menjawabnya.
Dengan kapasitas ilmu agamanya yang begitu melimpah, beliau memilih PDC sebagai
jalan dakwahnya. Subhanallah..
Atau, Si Mustaqin,
Umarnya PDC. “Orang kayak gini” juga ditampung di PDC. Bayangkan! J
Andai beliau mau, tentu jiwa kegarangannya lebih masuk ke Menwa, atau silat,
atau jadi security parkir (Ha ha ha.. Ampun Qin.. Ane khilaf..) , tapi beliau
lebih memilih mengabdikan jiwa-raganya di PDC. MasyaAllah.. Mereka ini semua
orang-orang luar biasa.
Orang yang
awut-awutannya nggak terselamatkan lagi, yang masih suka teriak-teriak di atas
motor seperti aku saja, masih rindu dengan PDC. Rindu sekali. Bagaimana dengan kalian, yang sudah begitu
hanif, begitu militan, kawan-kawanku,
adik-adikku?
Aku beritahukan pada
kalian.. PDC itu bukan kumpulan orang-orang soleh. Bukan pula kumpulan
orang-orang suci. PDC itu kumpulan orang-orang yang ingin menjadikan dirinya
dan orang lain menjadi berubah lebih baik. Kita tidak mengajak orang untuk
bergabung dengan PDC, tidak. Kita mengajak orang ilaa sabiili Robbik, menuju ke
jalan Rabb. Kita mengajak diri dan kawan-kawan untuk shalat Zuhur
jama’ah, untuk shalat dhuha, untuk tilawah, untuk terus-menerus mencoba memperbaiki diri.
Aku tidak begitu
mengenal kalian, adik-adikku.. Tapi dari selentingan yang kudengar aku tahu
bahwa kalian jauh lebih luar biasa dibandingkan kami. Kalian tak gaptek, tak
suka konser di depan cermin di kamar mandi fakultas, secara kuantitatif kalian
lebih unggul, IP kalian setinggi pohon pinang, kalian jauh lebih dahsyat.
Karena itu, aku, kami, para pendahulu, para assabiqunal
awwalun, dengan amat bangga menitipkan PDC-I ini ke tangan kalian.
Ingatlah bahwa kalian
takkan pernah sendiri. Kalian, para pejuang PDC-I, Rohis Fakultas Psikologi ini
takkan pernah menjadi Lonely Rangers, Pejuang-Pejuang
Kesepian. Kalian berjuang bersama pejuang-pejuang lain di belahan lain bumi
ini. Bersama kami, walau dengan cara
yang berbeda.
#Lorong berikutnya
Aku terhenyak. Sudah
hampir enam tahun aku menelusuri lorong ini. Tinggal beberapa langkah hingga
aku menemui jalan keluar… Dan… Mulai memasuki lorong berikutnya….
Oleh : Ryu Hirata