Dari Monoteisme Menjadi Politeisme

Beberapa tahun silam, Prebendary Rowe mengamati bahwa lebih masuk akal memulai dengan hal yang diketahui beserta pertimbangannya menuju hal yang tak diketahui ketimbang memulai dengan hal yang tak diketahui dengan harapan akan sanggup menjelaskan hal yang diketahui. Kita sekarang memiliki sekumpulan “hal diketahui” yang substansial, dan dalam beberapa hal, data paling terjamin akan ditemukan dalam banyak sekali literatur yang telah dilestarikan dari Tempat Lahir Peradaban, Meopotamia.
Ketika literatur tulisan paku mulai pertama kali menyingkap pesannya, ahli tulisan paku dan hieroglif Mesir segera mendapati diri mereka berhadapan dengan dahsyatnya jumlah dewa dan dewi, dan setan dan kekuatan spiritual lain yang lebih rendah, yang tampaknya selalu saling berperang dan kebanyakan amat destruktif. Namun, begitu lembaran-lembaran yang lebih purba digali dan diterangkan, dan ketrampilan dalam menguraikannya meningkat, gambaran pertama politeisme kasar mulai diganti oleh sesuatu yang lebih hampir mendekati hirarki makhluk-makhluk halus yang tersusun ke dalam semacam pengadilan dengan satu Entitas Tertinggi di atas mereka semua. Salah seorang ahli tulisan paku yang pertama kali mengakui signifikansi kecenderungan ini adalah Stephen Langdon dari Oxford, dan saat dia melaporkan kesimpulan ini dia melakukannya dengan kesadaran akan fakta bahwa dirinya tidak mungkin dipercaya. Jadi dia menulis pada 1931 [1]:
“Saya mungkin gagal meyakinkan dalam menyimpulkan bahwa dalam agama-agama Sumeria maupun Semit, monoteisme mendahului politeisme… Bukti dan alasan atas kesimpulan ini, yang begitu bertentangan dengan pandangan lazim terkini, dituliskan dengan cemas dan dengan persepsi kritik bermusuhan. Ini, saya percaya, merupakan kesimpulan pengetahuan dan bukan kesimpulan prakonsepsi nekad.”
Karena Langdon berpandangan bahwa bangsa Sumeria merepresentasikan peradaban sejarah tertua, dia menambahkan:
“Menurut pendapat saya, sejarah peradaban tertua manusia adalah kemerosotan pesat dari monoteisme menuju politeisme ekstrim dan keyakinan pada roh jahat. Ini sejatinya adalah sejarah kejatuhan manusia.”
Lima tahun kemudian dalam artikelnya yang muncul dalam The Scotsman, dia menulis[2]:
“Sejarah agama Sumeria, yang merupakan pengaruh budaya paling kuat di dunia kuno, bisa ditelusuri lewat prasasti fotografis hingga konsep keagamaan terawal manusia. Bukti-bukti tak salah lagi menunjuk pada sebuah monoteisme awal, prasasti dan peninggalan sastra bangsa-bangsa Semit tertua juga mengindikasikan monoteisme primitif, dan asal-usul patung agama Hebrew dan agama-agama Semit lainnya kini sama sekali tak dapat dipercaya.”
Sepengetahuan saya, hanya satu orang yang serius menentang kesimpulan Langdon sejak saat itu. Dan dia adalah profesor lama saya, T.J. Meek.[3] Argumen Langdon didasarkan pada kondisi berikut: Agama Sumeria dalam perkembangan terakhirnya sebelum bangsa tersebut lenyap sebagai sebuah entitas dan ditelan oleh bangsa Babilonia yang muncul kemudian, tampaknya memiliki sekitar 5000 dewa. Prasasti dari sekitar tahun 3000 SM atau barangkali semilenium lebih awal menunjukkan 750 dewa saja. 300 lembaran asal Jamdet Nasr pada 1928 ketika Langdon mempublikasikan teks-teks ini, hanya memuat tiga dewa: dewa langit Enlil, dewa bumi Enki, dan dewa matahari Babbar. 575 lembaran dari Uruk yang diterjemahkan pada 1936, yang menurut Langdon berasal dari sekitar tahun 4000 SM tapi kini dipercaya lebih tepatnya berasal dari tahun 3500 SM, memuat nama dua dewa saja: dewa langit An dan ibu dewi Innina. Kritik Meek terhadap esai Langdon adalah bahwa jumlah dewa yang dia sebutkan untuk lembaran Jamdet Nasr itu keliru. Dalam teks Jamdet Nasr terdapat sebanyaknya enam dewa, bukan tiga. Atas keterangan ini Meek merasa dirinya dapat menuduh Langdon membuat ketidakakuratan besar dan karenanya meruntuhkan kekuatan argumennya. Tapi pada waktu yang sama dia mengakui bahwa sekurangnya salah satu dari enam dewa ini meragukan. Lebih jauh, kita tak bisa selalu yakin bahwa sebuah nama yang muncul sebagai seseorang yang menjadi sasaran doa harus dianggap sebagai dewa. Berdoa kepada santo bahkan sudah dikenal di zaman modern! Bagaimanapun juga, ketika pandangan progresif sejarah membawa kita dari [jumlah] dua dewa menjadi sejumlah kecil dewa—entah tiga atau enam dewa 500 tahun kemudian, menjadi 750 dewa 1000 tahun kemudian, dan menjadi 5000 dewa sebelum gambaran menjadi kabur—argumen yang menentang interpretasi Langdon berlandaskan kekeliruan penghitungan proporsi sekecil itu tentu saja tak berbobot sama sekali. Itu tidak sungguh-sungguh menantang argumen dasarnya.
Bagaimanapun juga, penggalian berikutnya di Tell Asmar dari periode milenium ketiga SM telah sepenuhnya membenarkan temuannya. Karenanya Henry Frankfor menulis dalam laporan resminya[4]:
“Selain hasil yang lebih nyata, penggalian kami telah membuktikan sebuah fakta baru, yang akan harus dipertimbangkan oleh peneliti agama-agama Babilonia. Kami telah memperoleh, untuk pertama kalinya sepanjang pengetahuan kami, material keagamaan yang utuh dalam suasana sosialnya.
Kami memiliki banyak sekali bukti koheren, diperoleh dalam jumlah yang sama dari sebuah kuil dan dari rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan penyembahan di kuil tersebut. Jadi kami sanggup menarik kesimpulan, yang tak dimungkinkan oleh temuan itu sendiri.
Contoh, kami menemukan bahwa gambar-gambar pada sumbat silinder (cylinder seal), yang biasanya terkait dengan beragam dewa, semuanya bisa dicocokkan menjadi gambaran konsisten di mana satu tuhan yang disembah di kuil ini merupakan figur sentral. Tampaknya pada periode awal ini berbagai aspek-Nya tidak dianggap sebagai dewa-dewa terpisah di kuil Sumeria-Akkadia.”
Ini menimbulkan satu poin penting; yakni, kemungkinan bahwa politeisme tak pernah muncul lewat evolusi polidemonisme, tapi karena atribut-atribut Tuhan yang maha esa ditekankan secara berlainan oleh orang berlainan sampai beberapa tahun kemudian mereka jadi lupa bahwa mereka sedang membicarakan Sosok yang sama. Sehingga atribut-atribut dewa tunggal menjadi pluralitas dewa-dewa. Bukan saja masing-masing orang menekankan aspek berlainan sifat Tuhan tapi juga seluruh keluarga dan suku tampaknya telah mengembangkan pandangan tertentu bersama tentang apa yang penting dalam hidup dan apa yang tidak, dan karenanya, yang tak wajar, mengatributkan pada dewa mereka dan menekankan karakteristik-karakteristik istimewa itu yang bagi mereka penting sekali artinya. Contoh, bangsa penyuka perang sangat tak mungkin menekankan kelembutan Tuhan, demikian pula bangsa hukum sangat tidak mungkin menekankan keampunan Tuhan. Mereka akan lebih menekankan kekuatan-Nya [menurut bangsa penyuka perang] dan dan keadilan-Nya [menurut bangsa hukum]. Dalam tiga Doorway Paper lainnya[5], kita telah menjelajahi kemungkinan bahwa putera-putera Nuh (Sam, Ham, dan Yafits) masing-masing mengembangkan bakat menuju kehidupan yang membawa mereka ke penekanan berbeda-beda: Sam pada kualitas spiritual hidup, Ham pada urusan praktis hidup, dan Yafits pada aspek filosofis hidup. Karenanya tak mengherankan jika Tuhan bangsa Semit (keturunan Sam yang meliputi terutama Yahudi dan Arab—penj) adalah Tuhan ruh murni. Dewa-dewa bangsa Hamit, di sisi lain, adalah dewa-dewa kekuatan. Dan dewa-dewa bangsa Yafits atau Indo-Eropa adalah dewa-dewa cahaya, dalam arti dewa-dewa “kepahaman”. Saya pikir Injil Matius ditulis untuk keturunan Sam dan condong kepada cara berpikir mereka tentang Tuhan. Injil Markus ditulis untuk keturunan Ham dan penuh amal, perbuatan, pelayanan, otoritas—di mana frase khasnya adalah “segera” (immediately), “saat itu juga” (straightaway), dan istilah-istilah serupa. Injil Lukas tak diragukan lagi ditulis untuk keturunan Yafits; dan mungkin kebetulan saja, meski saya sangat ragu, bahwa nama penulisnya berarti “cahaya”.
Jauh sebelum Langdon membuat penerjemahannya, Friedrich Delitzsch membuat proposal yang agak mirip menyangkut kecenderungan berkelanjutan pada pelipatgandaan dewa-dewa.[6] Dia merujuk sebuah lembaran yang dilaporkan oleh T.G. Pinches yang, meski terlestarikan secara tak lengkap, memberitahu kita bahwa semua, bagaimanapun juga, dewa tertinggi di kuil Babilonia ditunjuk sebagai satu dengan dan satu dalam dewa Marduk.
Dewa Marduk dinyatakan dengan nama “Ninib” (sebagai “Pemilik Kekuatan”), “Nergal” atau “Zamama” (sebagai “Raja Pertempuran”), “Bel (sebagai “Pemilik Kerajaan”), “Nebo” (sebagai “Raja Nabi”), “Sin” (sebagai “Penerang Malam”), “Shamash” (sebagai “Raja segala sesuatu Yang Bersifat Adil”), “Addu” (sebagai “Tuhan Hujan”). Marduk, karenanya, adalah Ninib, juga Nergal, juga dewa Bulan, juga dewa Matahari, nama-nama yang sebetulnya merupakan cara berlainan untuk melukiskan atribut, kekuatan, atau tugasnya.
Proses sejarah yang sama dapat ditelusuri di Mesir. Renouf dalam Hibbert Lectures-nya selama 1879 mengutip M. de Rouge yang mengatakan bahwa sejak, atau sebelum, permulaan periode sejarah, agama monoteistis murni Mesir melewati fase Sabeisme; matahari, bukan dianggap sebagai simbol kehidupan, diambil sebagai perwujudan Tuhan Sendiri. Rouge mengamati[7]:
“Tak diragukan lagi benar bahwa bagian-bagian luhur agama Mesir bukanlah termasuk hasil belakangan sebuah proses perkembangan atau penyisihan dari bagian kotor. Bagian-bagian luhur itu terang sekali [berasal dari] masa kuno; dan tahap terakhir agama Mesir, yang diketahui oleh para penulis Yunani dan Latin, baik yang beragama Kristen ataupun penyembah berhala, jelas merupakan yang paling kotor dan paling korup.”
Renouf mengamati:
“M. de Rouge tak diragukan lagi tepat dalam penegasannya bahwa di beberapa tempat (pusat) pemujaan, satu dewa yang sama muncul berulang kali dengan nama dan simbol berbeda-beda…
Dia menyimpulkan dari perjalanan sejarah bahwa karena politeisme terus-menerus bertambah [dalam jumlah dewa], maka doktrin monoteistis pasti telah mendahuluinya.”
Sungguh argumen yang amat masuk akal.
Lagi-lagi, sebagaimana di Sumeria dan Babilonia, bangsa Mesir juga seiring waktu berkembangbiak dan pecah menjadi faksi-faksi dengan loyalitas kesukuan dan pilihan keagamaan kedaerahan, dari konsep murni satu Tuhan yang pernah mereka miliki bersama di awal dan yang melibatkan beberapa pengetahuan akan atribut-Nya. Ini menimbulkan kekacauan atribut terhadap orang-orang, lalu istilah-istilah deskriptif menjadi nama-nama dewa. Rawlinson menulis bertahun-tahun berkenaan dengan ini[8]:
“Dewa, sekali dibagi-bagi, tak ada batasan pada jumlah atribut-Nya yang beragam jenis dan beragam tingkat; dan di Mesir segala sesuatu yang ambil bagian dalam esensi ilahi menjadi satu dewa. Emblem-emblem ditambahkan pada katalog itu, dan meski sebetulnya bukan dewa, mereka membangkitkan perasaan hormat yang oleh orang bodoh tak bisa dibedakan dari pemujaan sungguhan.”
Barangkali wajar jika dalam rangka melambangkan berbagai kekuatan Tuhan, diajarkan bahwa penglihatan-Nya setajam elang, atau Dia sekuat banteng, atau bahwa Dia melihat apa yang tak terlihat, seperti buaya yang matanya sendiri tak terlihat. Seiring waktu, lambang-lambang ini disalahpahami oleh masyarakat umum sebagai dewa itu sendiri; jadi terpenuhilah apa yang ditulis Paulus dalam Roma 1: 18-23, bahwa manusia beralih dari penyembahan Tuhan Sendiri menuju penyembahan makhluk-makhluk-Nya dan pada waktunya menjadi sia-sia dalam khayalan mereka, dan pemahaman mereka menjadi gelap. Dalam bagian kedua paper ini, kita akan kembali ke subjek ini lagi, sebab penting bagi kita untuk memahami mengapa aspek-aspek kotor keyakinan keagamaan ini menenggelamkan aspek-aspek mulia yang dahulunya sungguh murni sebagaimana ditunjukkan dengan jelas oleh teks-teks kuno Mesir.
Mungkin ada anggapan bahwa gambaran ini telah berubah radikal sejak zaman Renouf dan Hibbert Lectures-nya. Tidak demikian. Sir Flinders Petrie, dalam sebuah buku kecil luar biasa mengenai subjek agama Mesir, menulis sebagai berikut[9]:
“Dalam agama-agama dan teologi-teologi kuno terdapat golongan-golongan dewa yang sangat berlainan. Beberapa ras, sebagaimana Hindu modern, bersukaria dengan keberlimpahan dewa dan dewi yang terus-menerus bertambah, dan betul-betul berjumlah jutaan. Yang lain…tidak berupaya menyembah dewa-dewa agung, tapi berurusan dengan sekumpulan besar roh animistis, setan, atau apapun kita menyebutnya… Tapi semua pengetahuan kita tentang kedudukan dan sifat awal dewa-dewa agung itu menunjukkan bahwa mereka berdiri di atas pijakan yang sama sekali berbeda dengan bermacam-macam roh ini.
Seandainya konsepsi satu tuhan hanyalah evolusi dari penyembahan roh, semestinya kita menemukan penyembahan banyak tuhan yang mendahului penyembahan satu Tuhan… Apa yang kita temukan adalah sebaliknya, monoteisme merupakan taraf pertama yang tertelusuri dalam teologi…
Ke manapun kita menelusuri politeisme sampai taraf terawalnya, kita menemukan bahwa itu dihasilkan dari kombinasi monoteisme. Di Mesir, bahkan Osiris, Isis, dan Horus, yang begitu familiar sebagai tiga serangkai, mulanya didapati sebagai unit terpisah dalam kedudukan berlainan: Isis sebagai dewi perawan, dan Horus sebagai Tuhan yang eksis dengan sendirinya.
Tiap-tiap kota kelihatannya memiliki satu dewa, dan kemudian [dewa-dewa] lainnya ditambahkan. Demikian halnya, kota-kota Babilonia masing-masing memiliki dewa tertinggi, dan kombinasi ini serta transformasi mereka menjadi kelompok-kelompok saat kampung halaman mereka menyatu secara politik menunjukkan bagaimana pada dasarnya mereka mulanya adalah dewa-dewa tersendiri.”
Di setiap tempat, pola tersebut terlihat sama, ke manapun kita memiliki riwayat memadai untuk menyusun urutan sejarah. Tidak aneh jika bangsa penakluk pasti memasang dewa mereka sendiri di puncak kuil, tapi tidak aneh pula bahwa demi kedamaian dan harmoni, mereka mesti berpura-pura terhadap dewa-dewa bangsa yang ditaklukkan; meski jatahnya adalah kedudukan yang rendah. Kelapangan hati ini cenderung kita puji hari ini dengan tajuk umum “kebebasan beragama”. Tapi akibat dari kelapangan hati ini adalah bahwa kebenaran sangat cepat terkaburkan. Solusinya tidak sederhana: pengikut Jesuit, contohnya, secara tradisional mengambil pendirian bahwa hanya kebenaran yang boleh diberi kebebasan berekspresi utuh dan karenanya toleransi beragama disamakan dengan kurangnya keyakinan. Orang manapun yang sependapat bahwa masyarakat boleh menyembah apapun yang mereka kehendaki sebetulnya sedang mengaku, demikian argumen Jesuit, bahwa dia tidak yakin betul bahwa dirinya memeluk kebenaran dan karenanya bersedia berlapang hati. Pendapat mereka benar. Monarki-monarki purbakala, seperti Cyrus misalnya, memberikan kebebasan utuh kepada bangsa-bangsa taklukannya untuk membangun kuil dan mendirikan kependetaan sendiri yang sesuai dengan mereka masing-masing. Konsekuensinya adalah bahwa orang-orang semacam itu, lewat kebijakan “tercerahkan” mereka, berkontribusi terhadap perkembangbiakan dewa secara dahsyat. Sebagaimana sudah saya katakan, persoalan ini sulit: tapi ekumenisme mungkin merupakan ancaman yang lebih buruk dengan arah berlawanan dengan bersikeras bahwa setiap orang harus sepakat untuk menyembah “Tuhan” yang sama yang mungkin bukan Tuhan sama sekali.
Begitu kita beranjak dari peradaban-peradaban kuno ini menuju Timur, kita sampai ke India. Dan walaupun literatur dari tanah ini amat kuno, penelusuran sejarah awal-mula keyakinan keagamaannya tidak sesederhana itu. Namun demikian, ada kadar persesuaian bahwa di sini juga telah terjadi perkembangbiakan dewa terus-menerus sepanjang berabad-abad, sampai jumlah mereka kini seperti bintang di langit. Salah satu ahli paling dikenal dalam bidang ini adalah Max Muller, yang, walaupun tidak memiliki keyakinan Kristen yang dipeluk banyak cendekiawan kontemporer, mencapai kesimpulan tertentu yang mesti dikemukakan. Max Muller, lahir di Jerman pada 1823, belajar di Paris dan kemudian mengajar di London. Dia menulis banyak volume, di antaranya Chips from a German Workshop yang barangkali paling dikenal. Dia juga menulis Lectures on the Origin and Growth of Religion, as Illustrated by the Religions of India. Terakhir, dia menyunting karya monumental seumur hidupnya, sebuah seri berjudul The Sacred Books of the East. Dia tidak percaya bahwa India kuno berkeyakinan monoteistis, tapi dia juga tak percaya mereka politeis—politeisme adalah tahap terkemudian yang melibatkan proses degenerasi. Dalam The Science of Language-nya dia menulis[10]:
“Mitologi, yang merupakan kutukan dunia kuno, sesungguhnya adalah penyakit bahasa. Sebuah mitos artinya sebuah kata, tapi kata yang, dari sebagai nama atau atribut, telah diperkenankan memangku eksistensi yang lebih substansial. Kebanyakan dewa-dewa Yunani, Romawi, India, dan bangsa penyembah berhala lainnya tak lain adalah nama-nama puitis belaka, yang lambat-laun diperkenankan memangku kepribadian ilahi yang tak pernah terpikirkan oleh penemu aslinya. Eos adalah nama pertama sebelum dia menjadi dewi, isteri Tithonos, atau ‘hari yang hampir lenyap’. Fatum, atau Fate, mulanya berarti ‘yang telah diucapkan’, dan sebelum Fate menjadi sebuah kekuatan, bahkan lebih besar dari Yupiter, ia berarti ‘yang pernah diucapkan oleh Yupiter’, dan tak pernah bisa diubah – bahkan oleh Yupiter sendiri. Zeus mulanya berarti ‘surga yang terang’, dalam Sanskrit Dyaus; dan banyak kisah menunjukkan dia sebagai dewa tertinggi, hanya memiliki arti sebagai ‘surga yang terang’, yang sinarnya, layaknya hujan emas, turun ke pangkuan bumi, Danae lampau, yang ditahan oleh ayahnya itu di penjara gelap musim dingin. Tak ada yang ragu bahwa Luna sebetulnya adalah nama bulan; begitu pula dengan Lucina, keduanya berasal dari kata lucere, artinya bersinar. Hecate juga merupakan nama lama untuk bulan, feminin untuk Hekatos dan Hekatebolos, matahari yang bersinar jauh; dan Pyrrha, Hawa-nya bangsa Yunani, tak lain adalah nama tanah merah, dan khususnya Thessaly. Penyakit mitologi ini, meski kurang mematikan dalam bahasa modern, sama sekali belum punah.”
Jadi sekali lagi kita melihat bagaimana politeisme berkembang sesudah itu. Kembali lagi pada pengamatan Rowe tentang berargumen dari hal yang diketahui menuju hal yang tak diketahui, mungkin tak salah kalau kita mengatakan tanpa ragu sedikitpun bahwa monoteisme tak pernah berevolusi dari politeisme dalam bagian sejarah purba dunia manapun, sebab kita punya bukti dokumenternya. Sebagaimana akan kita simak, ini juga terjadi di China.
Banyak rekan sezamannya tidak sependapat dengan interpretasi Muller atas bukti tersebut, Andrew Lang adalah salah satunya. Dan sejak masanya, sudah ada penerimaan luas terhadap ide bahwa sejarah keyakinan keagamaan di India dicirikan oleh personifikasi, seringkali dalam wujud fisik kasar dan perkembangbiakan meningkat, beberapa konsep sifat Tuhan yang mulanya memandang Diri-Nya tak bisa dilihat dan menjadikan-Nya begitu jauh sehingga Dia menjadi benar-benar tidak personal. Konsep mulia semacam itu tidak menarik orang awam dan yang terjadi di Timur Tengah tampaknya terulang di India, kecuali bahwa proses ini berlangsung lebih jauh gara-gara kelestarian budaya yang dimungkinkan oleh keadaan di negeri tersebut. Dalam perjalanan [proses] ini, mereka mencapai titik di mana dewa-dewa mereka bukan berjumlah ribuan seperti di Sumeria melainkan puluhan ribu. Tak diragukan lagi seandainya Mesir memelihara kebudayaan aslinya juga, ia pun mungkin telah menyembah 50.000 dewa padahal dahulunya barangkali menyembah satu dewa saja. Edward McCrady, menulis tentang keyakinan keagamaan India, mengamati bahwa bahkan Rig Weda (Kitab 1, hal. 164) menunjukkan kepada kita bahwa di masa-masa awal, dewa-dewa mereka sebetulnya dipandang sebagai anekaragam perwujudan satu Entitas Ilahi. Dia mengutip[11]:
“Mereka memanggil dia Indra, Mythra, Varunna, Agni—Yang Maha Esa, nama Yang Maha Bijak dengan istilah berbeda-beda.”
Para cendekiawan di Barat cenderung berpendapat bahwa himne terawal dalam Rig Weda berasal dari antara tahun 1500 sampai 1200 SM.[12] Tradisi India, di sisi lain, mengklaim masa yang jauh lebih purba. Berapapun masanya dan betapapun sedikit Muller membagi pandangan Kristen tentang sejarah spiritual manusia, dia mengakui[13]:
“Terdapat monoteisme yang mendahului politeisme Weda; dan bahkan dalam pemanggilan tak terkira banyaknya dewa, ingatan tentang Tuhan, yang maha esa dan maha kuasa, menerobos kabut fraseologi musyrik layaknya langit biru yang tersembunyi oleh awan yang melintas.”
Saat kita sampai pada China, situasinya lebih kacau lagi, sebab bangsa China sepertinya memiliki keengganan aneh terhadap penyembahan dewa-dewa personal. Namun demikian beberapa penulis lama yakin bahwa mereka dapat melihat bukti keyakinan monoteistis yang dahulu murni, yang hampir tak terlihat gara-gara praktek ekstrim bangsa China. Keyakinan murni semacam itu, sebagaimana telah kita simak, tidaklah “berguna”, sebab seseorang tidak bisa demi keuntungannya sendiri menyuap, membujuk, atau merayu Entitas Tertinggi yang mutlak suci dan bebas dari penyuapan dan bujukan. Dan karenanya dari sudut pandang praktis, seseorang mencari perhatian penguasa-penguasa yang lebih rendah dan melupakan Yang Maha Tinggi. Karya menonjol terkait hal ini ditulis oleh John Ross dari United Free Church Skotlandia yang berjudul The Original Religion of China [15] (diterbitkan di New York, tanpa tahun), di mana penulis memeriksa konsep-konsep pokok agama awal China dinilai dari nama-nama atau istilah-istilah untuk “Tuhan” khususnya berkenaan dengan gelar yang memiliki garis penghubung, Shang-Ti. Dia menafsirkan dua kata ini dengan arti “di atas” (“above”) atau “tinggi” (“superior to”) dan “penguasa” (“ruler”), yakni “Penguasa Tertinggi” (“Supreme Ruler”). Dia mengatakan bahwa nama tersebut “tiba-tiba menyembur kepada kita tanpa nada peringatan…dengan kesempurnaan Minerva.” Baru-baru ini, keterangan segar mengenai keyakinan awal bangsa China dihasilkan oleh penemuan apa yang disebut “Oracle Bones”. Cendekiawan China membagi masa kuno mereka ke dalam tiga periode terpisah: pertama, kuno-awal; kedua, kuno-pertengahan; dan ketiga, kuno-dekat. Periode pertama membentang kira-kira dari abad 21 SM sampai 12 SM. Menurut Ron Williams, yang dapat membaca tulisan China secara fasih, masing-masing periode ini memiliki karakteristik keagamaannya sendiri. Periode pertama [bersifat] murni monoteistis. Periode kedua [bersifat] dualistis dengan kecenderungan kepada materialisme tapi masih memelihara citarasa monoteisme kuno. Periode ketiga [bersifat] materialistis. Profesor Williams mengamati[15]:
“Barangkali sangat diperlukan pada poin ini untuk memeriksa istilah-istilah yang dipakai untuk “Tuhan”. Tulisan China, seperti hieroglif bangsa Mesir atau daftar suku-kata tulisan paku Mesopotamia, mulanya adalah huruf-gambar (pictographic). Dengan kata lain, tiap-tiap karakter merupakan gambar atau diagram yang melukiskan objek atau ide yang hendak disampaikan.
Dan hari ini di China terdapat kebiasaan kuno pada tahun baru berupa pertama-tama mengikat seikat batang wijén atau dahan cedar dengan tali merah dan kemudian menegakkannya di tengah-tengah halaman terbuka berkeliling tembok dan membakarnya sebagai amal pemujaan. Ini adalah pengorbanan seikat kayu bakar panas kepada Tuhan Di Atas, walaupun sekarang mereka sering menyebutnya sebagai pengorbanan kepada kayangan saja.
Istilah Ti’en dan Shang Ti dapat disamakan dengan kata “God” dan “Jehovah” dalam Perjanjian Lama. Dalam kata-kata Profesor Gile, “Shang Ti adalah Tuhan yang berjalan di taman dalam kesejukan siang, Tuhan yang mencium bau sedap pengorbanan Nuh, dan Tuhan yang mengizinkan Musa melihat punggung-Nya. Ti’en adalah Tuhan para Dewa kitab Mazmur/Zabur, yang kemurahan-Nya berlangsung selamanya.””
Williams menguraikan dalam paper-nya bahwa Book of History dalam kalimat pembukanya menyatakan bahwa penguasa, Shun, dalam kenaikan [takhta] pada tahun 2255 SM “mempersembahkan pengorbanan adat kepada Tuhan”. Pernyataan ini, dibuat tanpa pendahuluan atau penjelasan, mengimplikasikan serangkaian peristiwa terdahulu tak dikenal yang berlangsung sejak masa purbakala. Praktek kebiasaan telah membuat mereka begitu akrab sehingga tidak memerlukan rincian upacara. Sumber mereka tidak begitu dipertanyakan sehingga tak ada tempat untuk kalimat pengantar. Williams melanjutkan:
“Pada periode sejarah China ini, Tuhan Penguasa Tertinggi adalah maha esa dan tak dapat dibagi, tidak berubah, tak ada yang setara dengan-Nya, berkuasa mutlak dan sendirian atas segala sesuatu di kayangan atas dan di bumi bawah. Dia berbuat apa yang Dia kehendaki dan tak ada kekuatan yang mampu menghalangi-Nya, dan kehendak-Nya selalu benar. Tapi Dia tidak jarang mengizinkan orang jahat tumbuh subur dan dalam Odes kita sering mendengar suara arwah yang mengeluh yang memberi kesempatan kepada kitab Job.”
Berikutnya Williams mencatat bahwa dalam Book of History ataupun Odes tak ada penyebutan berhala yang bisa ditelusuri. Tak ada perlambangan yang pernah dibuat di China untuk apapun di kayangan atas atau di bumi bawah untuk melambangkan Tuhan. Dan Dia boleh disembah di manapun kapanpun, sebab Dia hadir di mana-mana.
Sejauh ini, informasi kita dikumpulkan sedikit demi sedikit semata-mata dari halaman-halaman teks Klasik China. Masih ada satu sumber informasi lain yang sudah disinggung, Oracle Bones. Sebagaimana Williams amati, tulang-belulang yang diukiri karakter-karakter China kuno ditemukan oleh J.N. Menzies dari Universitas Cheeloo (Tsinan), yang dianggap oleh para Sinolog sebagai pakar terhebat yang masih hidup dalam masalah naskah China Kuno. Lebih 20.000 fragmen tulang-belulang ini ditemukan dekat An-yant di Honan Utara, situs ibukota kuno dinasti Shang. Tulang-belulang itu diukiri pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh raja pendeta di satu sisi dan jawaban yang diterima pendeta melalui ramalan di sisi lain. Mereka memuat nama Tuhan, Shang Ti, dan meski jumlahnya banyak, tak ada sama sekali penyebutan dewa-dewa lain.
Seiring waktu, keyakinan murni ini mulai memudar sebagaimana diungkap oleh dokumen-dokumen serupa berikutnya bahwa doa-doa kini dipanjatkan terlebih dahulu melalui leluhur [terus] kepada Tuhan yang tidak dimohoni langsung, dan kemudian seiring waktu [dipanjatkan] kepada leluhur saja. Kemudian lagi, permohonan kepada Tuhan personal digantikan dengan permohonan kepada kayangan, dan pada waktunya kepada bumi juga. Pada periode kuno-pertengahan, filsuf besar Chu, pencatat terkenal teks Klasik, mendefinisikan kayangan sebagai “the blue vault above” (“kubah biru di atas”), atau, kemungkinan lain, melalui suatu proses evolusi mental [didefinisikan] sebagai “the abstract right” (“kebenaran abstrak”).
Baru-baru ini, sebuah volume mengenai China kuno dalam seri The great Ages of Man diterbitkan. Penulisnya adalah Edward H. Schafer. Dia menelusuri devolusi ini sebagai berikut[16]:
“Salah satu dewa tertua dan tentu saja teragung adalah Dewa Langit Ti’en. Pada masa-masa amat awal, Ti’en dianggap sebagai raja agung di langit, lebih mulia daripada raja bumi manapun, lebih brilian, dan lebih menakutkan. Kemudian, banyak orang memandang dia sebagai dinamo impersonal, sumber energi yang menggerakkan dunia.”
Jadi sekali lagi, di manapun kita bisa bekerja menurut riwayat tertulis, kita punya bukti degenerasi keyakinan keagamaan, bukan evolusi naik.
Jika kita beranjak dari Timur Tengah ke Eropa, cerita ini terulang sekali lagi. Karenanya, Axel W. Persson, dalam karyanya, The Religious Beliefs of Prehistorics Greece, berkata[17]:
“Dari dua dewa, Dewi agung dan Dewa Bocah, kemudian berkembang jumlah sosok yang lebih atau kurang signifikan yang kita jumpai dalam mitos-mitos keagamaan Yunani.
Menurut pendapat saya, perkembangbiakan keanekaragaman mereka tergantung pada derajat berbagai nama dewa yang awalnya satu dan sama dalam berdoa.”
Proses dasar yang sama terlihat di Italia kuno. Rosenzweig[18], yang menulis tentang Iguvine Tablets (yang penanggalannya tak pasti tapi barangkali merupakan peninggalan dari zaman Etruria awal), berkata soal “fleksibilitas kuil yang mengherankan yang terungkap dalam lembaran-lembaran ini, di mana ‘dewa-dewa dibedakan berdasarkan kata sifat, yang pada gilirannya muncul sebagai kekuatan ilahi tersendiri….’” Sang penulis menganggap bahwa ini barangkali merupakan fitur paling mencolok dari lembaran tersebut.
Bagi saya, berdasarkan semua hal yang telah ketahuan selama seratus tahun terakhir dari studi dokumen kuno, yakni, dari riwayat tertulis peradaban kuno, gambaran sejarah spiritual manusia, sepanjang menyangkut rumusan keyakinannya, memperkenankan kita cukup menyimpulkan bahwa manusia memulai dengan keyakinan murni terhadap Tuhan keadilan dan kepengasihan, yang maha ada, maha kuasa, dan maha tahu, yang bisa disembah tanpa memerlukan gambar-gambar atau perlengkapan lain semacam itu. Konsep ini, nyatanya, terlampau tinggi untuk bertahan di kalangan orang biasa yang pengetahuannya tidak diperkuat secara mukjizat atau ditambah secara terus-menerus melalui wahyu. Politeisme kasar paganisme di dunia klasik Roma dan Yunani bisa diterangkan bukan sebagai [kondisi] manusia yang berusaha memurnikan keyakinannya melainkan kehilangan pesat atas keyakinan yang pernah dimilikinya. Taraf kesamaan kemerosotan keyakinan dunia klasik Roma dan Yunani dengan Timur Tengah ini dibuktikan secara luas dalam studi mahsyur Hislop, The Two Babylons.[19]
Kita tak punya riwayat tertulis untuk membahas keyakinan awal bangsa primitif, tapi banyak studi rinci dan penuh perhatian mengenai keyakinan mereka telah dijalankan selama seratus tahun terakhir dan dikumpulkan khususnya oleh Wilhelm Schmidt. Bukti-bukti, menurut kesimpulan, memperkenankan kita untuk mengatakan dengan yakin bahwa perjalanan sejarah keagamaan mereka persis sama dengan peradaban purba yang lebih tinggi dengan perbedaan berikut: di negeri-negeri beradab tersebut, keyakinan murni terkorupsi oleh argumentasi cacat akibat kebobrokan sifat manusia, sedangkan di kalangan bangsa primitif, keyakinan murni terkorupsi akibat kebodohan dan ketakhayulan, dan diperkuat lagi-lagi oleh kebobrokan sifat manusia. Seandainya kita mengikuti prinsip Lyell dalam menafsirkan masa lampau cukup dari segi hal-hal yang terjadi selama masa sejarah, maka kita tak punya hak apapun untuk membuat asumsi bahwa manusia berawal dengan meraba-raba di kegelapan dan baru sekarang mulai menghampiri Cahaya. Bukti-bukti menunjukkan bahwa dia memulai dengan Cahaya sejati dan kini pemahamannya semakin gelap. Bukti atas hal ini di kalangan bangsa primitif ditemukan di setiap pelosok dunia di mana bangsa semacam itu kini eksis atau pernah eksis pada masa-masa belakangan. Dan paradoksnya, semakin primitif mereka, semakin sederhana dan semakin murni keyakinan mereka. Kita akan memeriksa secara singkat beberapa keping bukti, yang sebetulnya cuma merupakan perwakilan dari ikhtisar luas informasi yang kini tersedia dalam volume-volume buku semisal yang terdaftar dalam bibliografi paper ini.
Tak diragukan lagi, karya paling informatif mengenai monoteisme bangsa primitif adalah karangan Wilhelm Schmidt, yang, meski mulanya terdiri dari banyak volume di Jerman, diterbitkan sebagai satu volume dalam versi ringkas terjemahan bahasa Inggris pada 1930.[20] Ini studi hebat, ditulis dengan keahlian dan kefasihan, tidak memuat kekakuan yang Anda sangka jumpai pada penulis seterpelajar itu, dan paling informatif.
Schmidt pertama-tama menelusuri sejarah pemikiran tentang subjek asal-usul agama saat berkembang pada abad yang lalu. Dia menguraikan, secara singkat, bahwa Herbert Spencer sebagian besar bertanggung jawab atas interpretasi pertama evolusi agama, mengingat dia mendahului Darwin tujuh tahun, sebagaimana ditunjukkan oleh artikelnya, The Development Hypothesis, yang muncul dalam the Leader bertanggal 20 Maret 1852. Mungkin patut pula dicatat, sepintas lalu, bahwa Tennyson menulis In Memoriam, dengan deskripsi kelirunya tentang Alam sebagai “merah di gigi dan cakar”, sepuluh tahun sebelum Origin-nya Darwin muncul. Schmidt mengamati bahwa Spencer sama sekali tak berusaha mempergunakan metode sejarah secara sungguh-sungguh untuk menyusun tesisnya.[21] Atas dasar bukti terkini, jelaslah sekarang bahwa Spencer sama sekali salah. Spencer berpandangan bahwa bangsa primitif memulai dengan menyembah leluhur dan bahwa begitu peradaban berkembang, leluhur “tentu saja” disusun ke dalam hirarki, dan hirarki-hirarki pada gilirannya menghasilkan pangkat, dan pangkat tertinggi menjadi dewa.
Yang mampu Schmidt buktikan secara meyakinkan adalah bahwa jika kebudayaan-kebudayaan primitif berkelompok atas dasar tingkat kebudayaan mereka dan kemudian kelompok-kelompok ini ditempatkan dalam urutan menaik, ditemukan bahwa kelompok terendah memiliki konsep Tuhan paling murni dan bahwa begitu sebuah kelompok berkembang dari pemburu menjadi pengumpul dan penyimpan makanan, menjadi penanam makanan dalam bentuk nomaden penggembala yang memelihara sekawanan binatang, menjadi penanam makanan dalam hal penggunaan tanah yang didiami, dan naik derajat menjadi komunitas semi-urban, kita pertama-tama menemukan keyakinan sederhana kepada Entitas Tertinggi yang tak mempunyai isteri ataupun keluarga. Di bawah-Nya dan diciptakan oleh-Nya adalah pasangan pertama yang darinya suku diturunkan. Menurut Schmidt, kita menemukan bentuk keyakinan ini di kalangan Pigmi Afrika Tengah, penghuni Australia Tenggara, penghuni utara California tengah, Algonkin primitif, dan, hingga taraf tertentu, Koryaka dan Ainu.
Segera begitu kita sampai pada tatanan kebudayaan primitif berikutnya, menurut perkataan Schmidt, “kondisi berubah sama sekali.” Bukan hanya pasangan pertama atau ayah pertama yang mendapat penyembahan, tapi juga sejumlah besar atau kecil leluhur mati lainnya. Naik ke kompleksitas budaya, penyembahan leluhur dan orang mati lainnya menggantikan penyembahan Entitas Tertinggi sepenuhnya, dan antropomorfisasi dewa-dewa yang diakibatkan oleh penyamaan ini melahirkan pembuatan berbagai macam “gambar”. Esensi murni Entitas Tertinggi direduksi menjadi karikatur kasar orang mati. Perkembangan pemahaman spiritual manusia sebetulnya merupakan kemunduran, terkadang langkah pertamanya adalah peralihan dari penyembahan Pencipta manusia pertama ke penyembahan manusia yang pertama kali diciptakan sebagai pemimpin ras manusia. Leluhur ras ini kemudian muncul sebagai perantara antara Tuhan dan manusia, tapi karena lebih mudah dibayangkan oleh mata pikiran, dia segera menggantikan Tuhan sama sekali. Jadi, mengutip Schmidt[22]:
“Kepalsuan teori Spencer ditunjukkan oleh fakta bahwa penyembahan leluhur berkembang dengan sangat lemah dalam kebudayaan-kebudayaan tertua sedangkan agama monoteistis jelas dan tak salah lagi sudah ditemukan di sana…
Juga patut disayangkan bagi teori Spencer bahwa perkembangan tertinggi penyembahan leluhur tidak timbul sampai masa-masa belakangan…”
Schmidt lalu membicarakan pandangan alternatif kedua mengenai asal-usul agama, konsep animistis yang diajukan oleh E.B. Tylor. Pandangan Tylor mengasumsikan bahwa manusia primitif menggunakan eksistensinya sendiri sebagai ukuran semua eksistensi lain dan kemudian menganggap segala sesuatu, mulanya binatang dan tumbuhan tapi akhirnya benda mati sekalipun, terdiri dari raga dan jiwa seperti dirinya. Diasumsikan bahwa manusia primitif segera, melalui introspeksi, menilai bahwa dirinya memiliki jiwa, suatu jenis realitas spiritual internal yang dapat, misalnya, berjalan dalam mimpi, atau berekstase, atau berhalusinasi. Dia mengatributkan kehidupan jiwa yang mirip dengan miliknya, yang tak bisa dilihat tapi dianggap [ada], pada semua kekuatan alam. Dari konsep animistis ini dia “secara alami” melangkah menuju pandangan bahwa dunia roh ini bersifat personal. Sehingga muncullah polidemonisme. Pada waktunya, ketika masyarakat menjadi terstratifikasi secara sosial, begitu pula halnya dengan dunia “setan”, sampai kita tiba di tahap politeisme di mana banyak setan diangkat menjadi dewa. Tahap terakhir adalah pengakuan atas satu entitas spiritual yang menjadi Pemimpin, yakni Tuhan, dan yang kepadanya semua setan lain dan dewa-dewa lebih rendah tunduk dan duduk di kategori rendah. Bahkan setelah rasionalisasi ini diduga telah melahirkan keyakinan monoteistis, Tylor tetap berpendapat bahwa Entitas semacam itu terlampau tinggi, terlampau dimuliakan, terlampau jauh, untuk membutuhkan penyembahan dari manusia, “terlampau tidak tertarik untuk mengurus ras remeh manusia”.[23] Sehingga Dia diabaikan. Jadi keyakinan monoteistis yang dihasilkan dari proses rasionalisasi menjadi, lewat proses rasionalisasi lebih lanjut, sebuah keyakinan yang tergeser dari urgensi hidup sehingga jadi tak relevan.
Karya masif Schmidt menunjukkan bahwa terlepas dari kelogisan rekonstruksi Tylor yang, secara kebetulan, menyapu dunia terpelajar dengan cara sepersuasif Origin¬-nya Darwin, itu sama sekali tak ditopang oleh bukti, sebagaimana dia katakan.[24]:
“Teori Tylor, seperti teori Spencer, dihasilkan pada masa gemilang Evolusionisme, dan memuat semua isyarat sumbernya, terutama asumsi apriorinya mengenai perkembangan naik manusia sepanjang satu garis, dan ketiadaan bukti apapun bahwa tahap-tahap proses tersebut memiliki hubungan historis apapun dengan satu sama lain. Sebab memang tak ditemukan bukti demikian untuk setiap langkah dalam jalur evolusi Tylor yang panjang. Urutan langkah-langkah dan hubungannya dengan satu sama lain didasarkan murni dan semata pada keprobabelan psikologis hubungan ini, dan keprobabelan tersebut tergantung pada asumsi bahwa kesederhanaan selalu mendahului kerumitan.”
Schmidt mempertimbangkan satu pandangan lebih lanjut, yakni pandangan Max Muller, yang mengembangkan teori kompleks yang berargumen bahwa upaya untuk merasionalisasi kekuatan-kekuatan alam yang bekerja di dunia, [berupa] matahari, bulan, hujan, guntur, bumi, langit, api, air, membawa pada cerita-cerita yang berusaha menjelaskan kekuatan-kekuatan ini dalam bentuk mitos alam. Istilah-istilah yang terpenting dalam mitos-mitos ini, kata untuk api atau langit misalnya, jadi dianggap oleh orang yang kurang berakal sebagai nama-nama dewa dan ini melahirkan kuil purbakala klasik. Namun sebagaimana Schmidt uraikan, terlepas dari kemahsyuran dan pengetahuan hebatnya, Max Muller hidup sangat lama, cukup lama nyatanya, untuk melihat ide-idenya perlahan-lahan ditinggalkan sama sekali.
Dalam bab penutup Schmidt, terdapat beberapa bagian mengharukan di mana dia menyimpulkan apa yang diketahui tentang awal-mula ide Entitas Teringgi di kebudayaan-kebudayaan primitif. Dia berkata bahwa manusia punya kebutuhan sosial, moral, dan emosional. Yang pertama, atau kebutuhan sosial, dipenuhi oleh keyakinan awal dia terhadap Entitas Tertinggi yang juga merupakan Bapak manusia. Yang kedua, atau kebutuhan moral, mendapat sandaran dalam keyakinan terhadap Entitas Tertinggi yang juga merupakan Hakim kebaikan dan keburukan dan Dia bebas dari semua noda moral. Kelompok kebutuhan yang ketiga, atau emosional, dipenuhi oleh keyakinan dia terhadap Entitas Tertinggi Pemurah yang dari-Nya tak ada yang keluar selain kebaikan. Manusia memiliki kebutuhan lain pula. Dia mencari sebab rasional dan ini dipenuhi oleh konsep Entitas Tertinggi yang menciptakan dunia dan yang memerintahnya sedemikian rupa sehingga masuk akal, sedemikian rupa sehingga dapat dipercaya. Manusia juga membutuhkan pelindung dan menemukannya pada Entitas ini yang maha kuasa. Jadi dalam semua atribut ini, sosok dimuliakan ini melengkapi manusia primitif dengan kemampuan dan kekuatan untuk hidup dan mencintai, untuk percaya dan bekerja, dan untuk mengorbankan tujuan tak bernilai demi tujuan yang lebih bernilai. Schmidt mengatakan, “Jadi kita menemukan, di antara seluruh rangkaian ras-ras primitif, sebuah agama mencolok, yang bercabang banyak dan sepenuhnya efektif.”[25]
Dalam hampir 300 halaman berselang, dia menunjukkan bahwa semakin primitif sebuah kebudayaan, semakin jelas atribut-atribut Entitas Tertinggi ini tampak, dan diakui secara lumrah sehingga atribut-atribut tersebut acapkali hampir tidak diungkapkan, sebuah kondisi yang menuntun banyak penyelidik berasumsi bahwa mereka bahkan tidak eksis. Untuk menyimpulkan temuannya secara ringkas, maka, dalam kata-katanya[26]:
“Kembali ke bangsa paling primitif, Pigmi Afrika atau penghuni Australia tengah atau Indian California tengah—semuanya memiliki satu Dewa Langit Tertinggi yang kepada-Nya mereka memberi persembahan darah mereka dan buah pertama mereka yang diperoleh dalam perburuan atau dari tanah. Semua bangsa ini juga memiliki doa-doa singkat dengan upacara di sana sini kepada Tuhan Pencipta Tertinggi yang sebelum-Nya tak ada satupun yang eksis.”
Banyak penulis subjek ini telah memilih suku-suku primitif yang satu ini karena alasan bagus. Mereka semua adalah bangsa yang dalam beberapa hal terisolasi, baik karena bertempat tinggal di pulau [terpisah] (semisal bangsa Andaman atau Madagaskar), di hutan tak ramah (semisal penghuni Tierra del Guegian), di kawasan gurun (semisal aborigin Australia atau Bushmen), di iklim tak ramah (semisal Eskimo atau bangsa Arktik lainnya), ataupun karena permusuhan terang-terangan mereka terhadap orang kulit putih (semisal Zulu di Afrika atau banyak suku Indian Amerika).
Andrew Lang, setelah menguraikan bahwa aborigin Australia mempunyai kebudayaan yang barangkali paling sederhana di antara bangsa-bangsa yang kita kenal, menyatakan bahwa mereka memiliki konsepsi keagamaan yang “begitu mulia sehingga wajar menjelaskannya sebagai hasil pengaruh Eropa”.[27] tapi pada waktu penulisan, dia merasa penjelasan ini sungguh tak dibenarkan. Tuhan adalah serbatahu, tinggal di langit, Pencipta dan Raja segala sesuatu, mengganjar perilaku baik manusia dan, lewat “pelajaran”-Nya, melembutkan hati. Begitulah keyakinan mereka.
Penulis yang sama, berbicara tentang bangsa Andaman yang dia anggap hidup di level budaya yang kurang-lebih sama meski dalam kondisi lebih menyenangkan, menyatakan bahwa Tuhan mereka tidak bisa dilihat, kekal, Pencipta segala sesuatu kecuali kekuatan jahat, mengetahui pikiran hati, murka terhadap segala jenis kepalsuan dan perbuatan salah, mengasihani mereka yang susah dan menderita dan terkadang memberi mereka pertolongan secara personal. Dia adalah Hakim jiwa dan pada suatu waktu di masa depan akan memimpin pengadilan besar. Informasi yang disampaikan kepada Lang ini berasal dari para anggota sepuh komunitas tersebut yang tidak bersentuhan dengan ras-ras lain pada waktu itu. Sebagaimana Lang katakan, pengaruh asing telah tercegah daripada biasanya.[28]
Samuel Zwemer membicarakan karakter monolitis Entitas Tertinggi Pigmi Afrika, penghuni Tierra del Fuegian, Indian Amerika Utara, suku Australia Tengah, dan Bushmen primitif, serta banyak bangsa-bangsa kebudayaan Arktik, yang menurutnya “sangat jelas dengan pemeriksaan sepintas sekalipun”.[29] Dalam paper-nya, dia tak sekadar mengulang apa yang telah diamati [peneliti] lain, yakni, bahwa semua bangsa primitif ini memiliki pengetahuan tentang Dewa Tertinggi, tapi juga bahwa Dewa Tertinggi yang mereka akui pada esensinya adalah sosok sama beratribut sama di mana-mana.
Pendeta Titcombe[30], berbicara tentang suku Zulu penyuka perang yang membuktikan reputasi demikian saat pasukan Inggris bertempur dengan mereka, mengutip mantan Uskup natal yang bersentuhan langsung dengan mereka saat masih utuh secara budaya, yang menyatakan bahwa mereka tak punya berhala (sebuah pengamatan yang luar biasa di Afrika), melainkan mengakui Entitas Tertinggi yang dikenal sebagai Great-Great One (ekuivalen dengan “Yang Maha Kuasa”) ataupun sebagai First Outcomer (ekuivalen dengan “Esensi Pertama”). Sang uskup berkata bahwa terlepas dari reputasi mereka sebagai suku tanpa konsep Tuhan, suku Zulu berulangkali menyebut-Nya, dan sungguh atas kemauan sendiri, sebagai Pencipta segala sesuatu dan seluruh manusia.
Penulis yang sama membuat pernyataan menarik mengenai keyakinan asli bangsa Madagaskar, yang menurutnya acapkali diungkapkan dalam bentuk peribahasa.[31] Mereka memiliki pepatah seperti berikut: “Do not consider the secret valley, for God is overhead” (“Jangan pikirkan lembah rahasia, sebab Tuhan ada di atas”)—di mana kebenaran kemahaadaan ilahi diakui secara gamblang. Berikutnya adalah, “The willfulness of man can be borne by the Creator, for God alone bears rule” (“Kehendak manusia bisa dihasilkan oleh Pencipta, sebab Tuhan sendirian menghasilkan aturan”)—yang jelas-jelas mengakui kemahakuasaan Tuhan. Peribahasa ketiga semacam itu berbunyi, “Better be guilty with man than guilty before God” (“Lebih baik bersalah terhadap manusia daripada bersalah di hadapan Tuhan”), yang jelas-jelas mengimplikasikan keyakinan terhadap kesucian dan keadilan ilahi.
Berbicara tentang Indian Amerika, Paul Radin menulis[32]:
“Kebanyakan kita dibesarkan dalam ajaran etnologi ortodoks, dan ini sebagian besar merupakan upaya bersemangat dan tanpa kritik untuk menerapkan Teori Evolusi Darwin pada fakta-fakta pengalaman sosial. Banyak etonolog, sosiolog, dan psikolog masih bertahan dalam usaha keras tersebut. Namun tak ada kemajuan yang akan dicapai sampai para cendekiawan membuang untuk penghabisan kalinya gagasan aneh bahwa segala sesuatu memiliki sejarah evolusi.”
Penulis yang sama berkata beberapa tahun kemudian, berbicara tentang pandangan Lang bahwa politeisme tidak mendahului dan melahirkan monoteisme, “pemahaman intuitifnya telah diperkuat secara berlimpah.”[33]
Sebagai kesimpulan, bolehlah kita mencatat bahwa Journal of the Royal Anthropological Institute pada 1950 dipersiapkan untuk mempublikasikan sebuah paper karya E.O. James yang di dalamnya sang penulis berkata sebagai berikut[34]:
“Jadi, mustahil mempertahankan evolusi sepihak dalam pemikiran dan praktek keagamaan dengan gaya yang ditunjukkan oleh klasifikasi rasionalistis Tylor dan Frazer sepanjang garis “Hukum Tiga Tahap” yang diumumkan oleh Comte. Sekalipun demikian, spekulasi Euhemeran bahwa ide tentang Tuhan timbul dalam penyembahan leluhur, yang digiatkan kembali oleh Herbert Spencer, ataupun evolusi monoteisme dari politeisme dan animisme ala Frazer sebagai hasil proses unifikasi ide-ide, tidak bisa direkonsiliasikan dengan sosok bayangan Entitas Tertinggi kesukuan yang kini diketahui merupakan fitur berulang konsepsi primitif tentang Dewa.”
Dari kebudayaan tinggi dan kebudayaan rendah muncul gambaran yang sama. Ini adalah gambaran konsep luar biasa murni tentang sifat Tuhan dan hubungan-Nya dengan manusia yang lambat-laun terkorupsi, di satu sisi lewat rasionalisasi yang dihasilkan dari penggantian wahyu dengan pemikiran manusia sendiri secara bertahap dan di sisi lain lewat ketakhayulan yang berakar dari kebodohan dan kelupaan akan wahyu asli. Sebagaimana akan kita simak, secara ringkas, dalam bagian berikut paper ini, ada sedikit kelebihan antara rasionalisasi dan ketakhayulan. Hasil akhir keduanya sama—hati bodoh manusia kian gelap.
Catatan Akhir:
[1] Langdon, Stephen H., Semitic Mythology, Mythology of All Races, Vol. V, Archaeol. Instit. Amer., 1931, p. xviii.
[2] Langdon, Stephen H., The Scotsman, November 18, 1936.
[3] Meek, T. J., Primitive Monotheism and the Religion of Moses, U. of Toronto Quarterly 8 (January 1939):189-197.
[4] Frankfort, H ., Third Preliminary Report on Excavations at Tell Asmar (Eshnunna): quoted by P. J. Wiseman in New Discoveries in Babylonia about Genesis, Marshall, Morgan and Scott, London, 1936, p. 24.
[5] Part I, The Part Played by Shem, Ham, and Japheth in Subsequent World History; Part IV, The Technology of Hamitic People; and Part V, A Christian World View: The Framework of History, all in Doorway Papers, Vol. 1.
[6] Delitzsch, Friedrich, Babel and Bible, Williams and Norgate, London, 1903, pp. 144f.
[7] Renouf, P. Le Page, Lectures on the Origin and Growth of Religion as Illustrated by the Religion of Ancient Egypt, Williams and Norgate, London, 1897, p. 90.
[8] Rawlinson, George, ed., Herodotus, appendix to Book 11, p. 250.
[9] Petrie, Sir Flinders, The Religion of Ancient Egypt, Constable, London, 1908, pp. 3, 4.
[10] Muller, Max, Lectures on the Science of Language, 1st series, Scribner’s, Armstrong, N.Y., 1875, pp. 21, 22.
[11] McCrady, Edward, Genesis and Pagan Cosmogonies, Trans. Vict. Instit. 72 (1940):55.
[12] MacNicol, Nicol, ed., The Hindu Scriptures, Everyman’s Library, Dent, London, 1938, p. xiv.
[13] Muller, Max, History of Sanskrit Literature: quoted by Samuel Zwemer as in ref. 1., p. 87.
[14] Ross, John, The Original Religion of China: p. 25: quoted by Samuel Zwemer, ref. 1, p. 86.
[15] Williams, R., Early Chinese Monotheism, a paper presented before the Kelvin Instit., Toronto, 1938.
[16] Schafer, Edward H., Ancient China, in The Great Ages of Man, Time-Life Inc., New York, 1967, p. 58.
[17] Persson, Axel, The Religion of Greece in Prehistoric Times, U. of California Press, 1942, p. 124.
[18] Book review, Amer. Jour. Archaeol. 43 (1939):170,171.
[19] Hislop, A., The Two Babylons, Partridge, London, 1903.
[20] Schmidt, Wilhelm, The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories, tr. H. J. Rose, Methuen, London, 1931, xvi and 302 pp.
[21] Ibid., p. 63.
[22] Ibid., p. 71 .
[23] Ibid., p. 77.
[24] Ibid., p. 81.
[25] Ibid., p. 284.
[26] Ibid., p. 191.
[27] Lang, Andrew, The Making of Religion, Longmans Green, London, 1909, pp. 175-182, 196.
[28] Ibid., p. 196.
[29] Zwemer, Samuel, The Origin of Religion: By Evolution or by Revelation, Trans. Vict. Instit. 67 (1935):189.
[30] Titcombe, J. H., Prehistoric Monotheism, Trans. Vict. Instit. 8 (1873): 145.
[31] Ibid., p. 144.
[32] Radin, Paul, Monotheism Among Primitive Peoples, n.p., London, 1924, pp. 65ff.
[33] Radin, Paul, Primitive Men as Philosophers, Dover, New York, rev. ed. 1956, p. 346.
[34] James, E. O., Religion and Reality, Jour. Royal Archaeol. Instit. 70 (1950):28.
Oleh: Dr. Arthur C. Custance (Sumber: www.custance.org)

Artikel Terkait :