Kata Jamak Dalam Bahasa Indonesia
Bahasa
Indonesia tidak mengenal bentuk kata jamak. Jumlah benda atau orang yang
melakukan kata kerja tidak memengaruhi bentuk kata benda atau kata kerja yang
digunakan dalam bahasa Indonesia. Sebuah disebut buku, dua buah disebut buku,
banyak disebut buku juga. Seorang disebut manusia, dua orang disebut manusia,
dan banyak orang juga disebut manusia.
Berlainan
misalnya dengan bahasa Inggris yang membedakan kata bendanya kalau jumlahnya
satu dengan yang lebih dari satu (banyak). One book, many books. A man, many
men. Secara umum bentuk jamak dalam bahasa Inggris ditambah dengan huruf s,
tetapi ada kekecualian seperti halnya dengan man yang menjadi men, tidak
menjadi mans, a mouse menjadi many mice, tidak menjadi many mouses, dan
lain-lain. Kekecualian itu tidak banyak, tetapi harus dihafalkan.
Dalam
bahasa Belanda dan beberapa bahasa Barat lainnya pun ada bentuk yang membedakan
menyebut benda tunggal dengan menyebut benda yang jumlahnya banyak (lebih dari
satu). Misalnya dalam bahasa Prancis seperti dalam bahasa Inggris ditambah
dengan s. Dalam bahasa Belanda kalau banyak ditambah dengan akhiran –en,
seperti een dier (mufrad), tetapi viel dieren (jamak), een doctor (mufrad),
tetapi drie doctoren (jamak).
Dalam
bahasa Indonesia, untuk menunjukkan jamak, kata bendanya diulang seperti
misalnya buku menjadi buku-buku, rumah menjadi rumah-rumah, mobil menjadi
mobil-mobil. Atau di depan kata benda itu diberi kata bilangan seperti (angka)
tujuh, banyak, beberapa, sejumlah, dan semacamnya sehingga menjadi tujuh rumah,
banyak rumah, beberapa mobil, sejumlah mobil, dan seterusnya. Kalau sudah
menggunakan kata bilangan di depan kata benda itu, kata benda itu tidak boleh
diulang. Jadi, kalimat yang sering terdengar dari mulut orang-orang terkemuka
di layar televisi, seperti “Hal itu menimbulkan suatu pertanyaan-pertanyaan”
adalah salah. “Suatu pertanyaan-pertanyaan” jelas salah. Akan tetapi juga
“sejumlah orang-orang yang hadir itu adalah para pimpinan bank terkemuka di
Indonesia” adalah salah. Kalau sudah menggunakan kata bilangan (sejumlah adalah
kata bilangan), kata benda yang berada sesudahnya tak boleh diulang yang
menunjukkan bahwa benda itu jumlahnya lebih dari satu.
Hal-hal
demikian sangatlah elementer dalam tata bahasa Indonesia, tetapi kenyataan
membuktikan, banyak orang terkemuka yang melanggarnya entah karena tidak tahu
entah karena lupa.
Menggunakan
ulangan seluruh kata untuk menunjukkan jumlahnya yang lebih dari satu memang
tidak praktis. Kalau kata tersebut hanya terdiri atas dua atau tiga suku kata
bolehlah. Akan tetapi, bagaimana kalau lebih dari tiga suku kata misalnya
permohonan-permohonan, perpustakaan-perpustakaan, dan jaelangkung-jaelangkung?
Pembentukan kata benda dengan awalan pe- dan akhiran –an sangat produktif, dan
karena kata dasar dalam bahasa kita banyak sekali yang terdiri atas dua suku
kata, kata benda yang dibentuk dengan awalan pe- dan akhiran –an itu paling
tidak menjadi empat suku kata dan jumlahnya sangat banyak.
Kata-kata
majemuk seperti surat kabar, kereta api, kapal terbang, kalau jumlahnya lebih
dari satu (banyak), diulang seluruhnya menjadi surat kabar-surat kabar, kereta
api-kereta api, kapal terbang-kapal terbang, dan lain-lain. Padahal, lebih baik
yang diulang hanya kata bagian pertamanya, tak usah seluruhnya, sehingga
menjadi surat-surat kabar, kereta-kereta api, kapal-kapal terbang, dan
lain-lain.
Prof.
Dr. Henri Chambert-Loir dari EFEO Prancis ketika bercakap-cakap pernah menyadarkan
saya bahwa dalam bahasa Sunda ada sisipan yang dapat menunjukkan bahwa jumlah
benda atau pelakunya jamak (lebih dari satu), yaitu sisipan ar atau al. Kata
budak (anak) misalnya kalau diberi sisipan ar menjadi barudak yang menunjukkan
bahwa jumlahnya banyak (lebih dari seorang). Dalam bahasa Sunda, sisipan ar
atau al pada kata kerja juga menunjukkan bahwa yang melakukan pekerjaan itu
banyak orang, misalnya dahar (makan) yang melakukannya hanya seorang, sedangkan
dalahar yang melakukannya banyak orang, lumpat (lari) dengan lalumpat, sare
(tidur) dengan sarare, dan lain-lain. Akan tetapi, kalau kata dasarnya berawal
dengan vokal, sisipan ar atau al itu pindah ke depan, jadi awalan, seperti kata
indit (pergi) menjadi arindit; unggah (naik) menjadi arunggah; angkat (pergi)
menjadi arangkat, dan lain-lain.
Yang
menarik dalam bahasa Sunda, kalau pelakunya lebih dari seorang, yang berubah
bukan hanya kata kerjanya, melainkan juga kata benda yang ditujunya, bahkan
juga nama kota atau kampung, misalnya sarerea caricing di arimah (semuanya
tinggal di rumah), ibu-ibu arangkat piknik ka Barandung (ibu-ibu berangkat ke
Bandung), dan lain-lain. Caricing berasal dari kata dasar cicing (tinggal) dan
arangkat berasal dari kata dasar angkat, sedangkan arimah dari imah (rumah) dan
Barandung dari Bandung (Kota Bandung).
Pemakaian
sisipan seperti dalam bahasa Sunda untuk menunjukkan arti jamak, menurut Prof.
Dr. Henri Chambert-Loir dapat dipertimbangkan untuk digunakan dalam bahasa
Indonesia, agar tidak usah dilakukan pengulangan kata-kata seluruhnya, sehingga
lebih praktis.
Oleh: Ajip Rosidi (Sumber: Pikiran Rakyat,
Sabtu 5 November 2011, hal. 30)