Kata-kata Makian
Dalam
setiap bahasa ada kata-kata makian, yaitu kata-kata yang digunakan orang kalau
marah atau kalau mau menghina orang lain. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa
Melayu tetapi pada awalnya diajarkan melalui sekolah, tidak banyak membawa kata
makian seperti yang biasa digunakan dalam masyarakat Melayu. Oleh karena itu,
jika marah atau mau menghina orang lain, orang Indonesia sering menggunakan
kata makian yang berasal dari bahasa ibunya yang mungkin tidak ada dalam
kosakata bahasa Melayu, seperti orang Jawa memaki dengan “diancuk!”, orang
Sunda dengan “bebel!”. Keduanya dalam bahasa aslinya termasuk kata-kata yang
tidak patut diucapkan di depan umum.
Menurut
para ahli, kata-kata yang biasa digunakan untuk memaki dalam berbagai bahasa
diambil dari kata-kata yang terdapat dalam enam golongan yaitu:
- Yang bertalian dengan agama atau kepercayaan
- Yang bertalian dengan kelamin
- Yang bertalian dengan nama bagian tubuh
- Yang bertalian dengan fungsi bagian tubuh
- Kata-kata yang merupakan sinonim kata “bodoh”
- Nama-nama binatang.
Tentu
saja tidak dalam setiap bahasa perimbangan kata-kata yang berasal dari keenam
golongan itu sama. Dalam suatu bahasa mungkin ada yang kata makiannya lebih
banyak dari golongan pertama dan golongan ketiga, sedangkan dari golongan
keempat dan kedua kurang. Sementara itu, dalam bahasa yang lain mungkin dari
golongan pertama tidak ada atau hampir tidak ada.
Kata-kata
setan!, iblis!, kapir!, jahanam!, haram jadah!, laknat!, dan semacamnya
termasuk golongan pertama. Kata-kata demikian digunakan juga dalam bahasa
Indonesia untuk memaki. Dalam bahasa-bahasa lain juga kata-kata seperti
demikian digunakan untuk memaki, misalnya God damn dalam bahasa Inggris dan God
verdomd dalam bahasa Belanda. Kedua kata contoh yang digunakan oleh orang Jawa
dan Sunda itu adalah contoh golongan kedua, yang tampaknya belum ada contohnya
dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Inggris kata-kata dari golongan ini cukup
banyak yang dengan mudah akan kita temukan dalam roman-roman Inggris atau
Amerika. Kata makian pantat lu! Mungkin satu-satunya contoh yang ada dalam
bahasa Indonesia, merupakan golongan ketiga. Juga golongan keempat tampaknya
belum ada contohnya dalam bahasa Indonesia. Golongan kelima agak banyak
contohnya, goblok, tolol, bodoh, dan otak udang. Contoh golongan terakhir yaitu
dengan menyebut nama binatang, juga banyak digunakan, anjing, babi, monyet,
keledai, dan banyak lagi.
Kata-kata
yang di dalam bahasa merupakan kata makian, belum tentu digunakan sebagai kata
makian dalam bahasa yang lain. Kata anjing dan babi misalnya yang dalam bahasa
Indonesia serta berbagai bahasa daerah dianggap sebagai kata makian, dalam
bahasa Inggris tak pernah digunakan sebagai kata makian. Dalam bahasa Jepang
kata makian dari golongan pertama hampir tidak ada. Hal itu bertalian dengan
kenyataan bahwa orang Jepang mempunyai anggapan sendiri tentang agama atau
perhatian mereka terhadap agama sedikit sekali. Agama yang mereka peluk baik
agama Buddha maupun Shinto, biasa disebut agama budaya bukan agama wahyu atau
agama langit seperti agama Islam dan Kristen. Orang Jepang tidak percaya akan
arti “dosa”. Budaya mereka lebih menitikberatkan kepada rasa “malu”. Daripada
malu mereka menganggap lebih baik bunuh diri. Oleh karena itu, mereka disebut
hidup berdasarkan budaya malu.
Dengan
demikian, jelas kata-kata makian dalam setiap bahasa niscaya sesuai dengan
kebudayaan dan kepercayaan bangsa yang mempergunakan bahasa tersebut. Biasanya
juga akan dianggap sebagai penghinaan atau makian oleh orang yang sama-sama
hidup dalam lingkungan kebudayaan dan kepercayaan itu juga. Misalnya, orang
Jawa Islam yang marah kepada orang suku bangsa lain yang memeluk agamanya
sendiri dan memakinya dengan menggunakan perkataan “kapir lu!”, mungkin tidak
akan membuat orang yang dimakinya itu merasa terhina. Kata makian “kapir lu!
Itu akan membuat terhina atau marah kalau ditujukan kepada sesama orang Islam.
Oleh
karena itu, kata makian terutama hanya akan membuat orang yang dimaki marah
atau merasa terhina kalau ditujukan kepada orang yang sama-sama hidup dalam
kebudayaan dan lingkungan kepercayaan yang sama.
Kata-kata
makian dihamburkan orang kalau sedang marah atau sedang bertengkar, maksudnya
tentu hendak membuat marah atau hendak menghina lawannya. Kata-kata demikian
jarang atau bahkan tidak pernah terdapat dalam buku-buku pelajaran bahasa,
tetapi biasanya mudah ditemukan kalau kita hidup dalam masyarakat yang
orang-orangnya sering berkelahi. Anak-anak orang terhormat biasanya secara
khusus dihindarkan dari mendengarkan kata-kata demikian. Oleh karena itu,
anak-anak mempelajarinya langsung dari masyarakat – kecuali kalau orangtuanya
tukang bertengkar.
Oleh: Ajip Rosidi (Sumber: Pikiran Rakyat,
Sabtu 15 Oktober 2011, hal. 30)