Kebijakan Moneter di Indonesia
Kebijakan moneter di Indonesia merupakan sebuah kebijakan yang sentral. Bank
Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter di Indonesia memiliki tujuan untuk
mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah. Hal
yang dimaksud dengan kestabilan nilai rupiah antara
lain adalah kestabilan
terhadap harga-harga barang dan jasa yang tercermin pada inflasi. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak
tahun 2005 Bank
Indonesia menerapkan kerangka kebijakan moneter dengan inflasi
sebagai sasaran utama kebijakan moneter (Inflation Targeting Framework) dengan menganut sistem nilai tukar yang mengambang (free floating). Peran
kestabilan nilai tukar sangat penting dalam
mencapai stabilitas harga dan
sistem keuangan. Oleh
karenanya, Bank Indonesia
juga menjalankan kebijakan nilai
tukar untuk mengurangi
volatilitas nilai tukar yang berlebihan, bukan untuk mengarahkan nilai tukar pada level
tertentu.
Kebijakan dengan kerangka
ITF memiliki satu
sasaran utama, yaitu sasaran inflasi, yang dijadikan sebagai
prioritas pencapaian (overriding objective) dan
acuan (nominal anchor) kebijakan
moneter. ITF bersifat
antisipatif mengingat adanya efek tunda (lag) kebijakan moneter dengan
mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
- Proyeksi inflasi dan PDB 2 tahun ke depan
- Faktor-faktor resiko / shocks dalam 2 tahun ke depan
- Sasaran inflasi yang ingin dicapai
Sasaran akhir ITF
yang yang diketahui
oleh publik akan
mendisiplinkan kebijakan moneter, serta sasaran inflasi yang kredibel
akan digunakan oleh publik sebagai anchor ekspektasi inflasi. Penetapan sasaran
inflasi selalu memperhatikan dampaknya
bagi pertumbuhan ekonomi
(sektor riil) .
Setelah sasaran inflasi ditetapkan dan
diumumkan ke publik,
maka kebijakan moneter
semata-mata diarahkan untuk mencapai
sasaran tersebut. Jika
terdapat konflik antara pencapaian sasaran
inflasi dengan sasaran
lainnya (pertumbuhan ekonomi,
nilai tukar, neraca pembayaran,
dll) maka yang
dijadikan prioritas adalah
pada pencapaian inflasi.
Dengan kerangka ITF,
Bank Indonesia secara
eksplisit mengumumkan sasaran inflasi
kepada publik dan
kebijakan moneter diarahkan
untuk mencapai sasaran inflasi
yang ditetapkan oleh
Pemerintah tersebut. Proyeksi
ini dilakukan dengan sejumlah
model dan sejumlah
informasi yang dapat
menggambarkan kondisi
inflasi ke depan.
Jika proyeksi inflasi
sudah tidak kompatibel
dengan sasaran, Bank Indonesia melakukan respon dengan menggunakan
instrumen yang dimiliki. Misalnya jika
proyeksi inflasi telah
melampaui sasaran, maka Bank Indonesia akan
cenderung melakukan pengetatan
moneter. Untuk mencapai sasaran inflasi,
kebijakan moneter dilakukan
secara forward looking, artinya perubahan stance
kebijakan moneter dilakukan
melaui evaluasi apakah perkembangan inflasi
ke depan masih
sesuai dengan sasaran
inflasi yang telah dicanangkan. Dalam
kerangka kerja ini,
kebijakan moneter juga
ditandai oleh transparansi dan
akuntabilitas kebijakan kepada publik. Secara operasional, stance kebijakan moneter
dicerminkan oleh penetapan
suku bunga kebijakan
(BI Rate) yang diharapkan
akan memengaruhi suku
bunga pasar uang
dan suku bunga deposito dan
suku bunga kredit
perbankan. Perubahan suku
bunga ini pada akhirnya akan memengaruhi output dan
inflasi.
Kemudian secara reguler,
Bank Indonesia menjelaskan
kepada publik mengenai asesmen
terhadap kondisi inflasi dan outlook ke depan serta keputusan yang diambil.
Jika sasaran inflasi
tidak tercapai maka
diperlukan penjelasan kepada publik
dan langkah-langkah yang
akan diambil untuk
mengembalikan inflasi sesuai dengan sasarannya.
Indikator utama yang
digunakan dalam menentukan
respon kebijakan moneter adalah
inflasi dan pertumbuhan
ekonomi. Penentuan respon
kebijakan moneter
mempertimbangkan perilaku keterkaitan
antar variabel ekonomi
dan transmisi kebijakan moneter.
Perumusan kebijakan moneter memperhatikan pula kebijakan umum Pemerintah
di bidang perekonomian.
Respon kebijakan moneter
ditetapkan untuk menjamin
agar pergerakan inflasi dan
ekonomi ke depan
tetap berada pada
jalur pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan
(konsistensi). Respon kebijakan moneter
dinyatakan dalam kenaikan,
penurunan, atau tidak
berubahnya BI Rate.
Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara
konsisten dan bertahap dan dilakukan dalam kelipatan 25 basis points
(bps). Dalam kondisi untuk menunjukkan
intensi Bank Indonesia yang lebih
besar terhadap pencapaian
sasaran inflasi, maka
perubahan BI Rate dapat dilakukan lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25
bps.
BI Rate adalah suku
bunga instrumen sinyaling
Bank Indonesia yang ditetapkan pada
Rapat Dewan Gubernur
(RDG) triwulan untuk berlaku
selama triwulan berjalan (satu
triwulan), kecuali ditetapkan
berbeda oleh RDG
bulanan dalam triwulan yang
sama. BI Rate
diumumkan ke publik
segera setelah ditetapkan dalam
RDG sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas) dalam
merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan. BI Rate digunakan sebagai acuan dalam
pelaksanaan operasi pengendalian moneter untuk mengarahkan agar rata-rata tertimbang suku bunga SBI
1 bulan hasil
lelang Operasi Pasar Terbuka (OPT) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku bunga SBI 1
bulan diharapkan mempengaruhi
suku bunga Pasar Uang
Antar Bank (PUAB) dan suku bunga
jangka yang lebih panjang.
Penetapan respon kebijakan
moneter dilakukan dalam RDG triwulanan dan ditetapkan untuk
periode satu triwulan ke depan.
Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan
memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam mempengaruhi inflasi. Dalam kondisi
yang luar biasa,
penetapan respon kebijakan moneter dapat
dilakukan dalam RDG
bulanan. Adapun dasar pertimbangan
penetapan respon kebijakan moneter adalah sebagai berikut:
- BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan.
- BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan mempertimbangkan: (a) rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran inflasi, dan (b) berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei, informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan kebijakan moneter.
- Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
Kekuatan utama ITF berada pada mekanisme transmisi kebijakan moneter jalur ekspektasi
yang menekankan bahwa
kebijakan moneter dapat
diarahkan untuk mempengaruhi
pembentukan ekspektasi mengenai inflasi dan kegiatan ekonomi. Kondisi tersebut mempengaruhi perilaku
agen-agen ekonomi dalam melakukan keputusan
konsumsi dan investasi,
yang pada gilirannya
akan mendorong perubahan agregat dan inflasi.