Khairuddin Barbarossa – Mujahid yang Dicemarkan
Khairuddin Barbarossa, di
Barat, namanya tercatat sebagai bajak laut kejam berjenggot merah yang
menguasai lautan luas. Tapi dalam sejarah Islam, namanya harum sebagai
laksamana penjaga wilayah Khilafah Utsmani Turki yang perkasa.
John
Perkins, dalam bukunya yang berjudul The Secret History of The American Empire
(diterbitkan oleh Ufuk Press dengan judul Pengakuan Bandit Ekonomi),
menjelaskan citra pelaut-pelaut Bugis di mata orang-orang Eropa. Ketika pergi
ke Sulawesi, ia menjelaskan bahwa pulau ini merupakan “Rumah bagi suku Bugis
yang keji… mereka dianggap sebagai bajak
laut paling kejam, paling haus darah di dunia. Di kampung halaman, orang-orang
Eropa… mengancam anak-anak mereka yang tidak patuh bahwa jika mereka tidak bersikap manis, orang Bugis akan
menculik kalian.”
Terlepas
dari bayang-bayang kekejaman bajak laut Bugis di masa lalu itu, sudut pandang
Perkins mulai berubah ketika ia berkawan dengan seorang Bugis selama tinggal
di Sulawesi. Teman Bugisnya ini tidak
memandang diri mereka sebagai bajak laut. Kenyataannya, mereka hanya
mempertahankan tanah air mereka dari para pengacau dan penjarah Eropa. Kisah singkat ini
memperlihatkan sebuah contoh bagaimana suatu sudut pandang bisa mengubah sebuah
penilaian secara diametrikal, dari bajak laut
menjadi pembela negara, atau sebaliknya dari pahlawan menjadi penjahat.
Era
kolonial, sejak awal hingga akhir, memperlihatkan ironi-ironi semacam ini.
Orang-orang Eropa menaklukkan dan menjajah negeri-negeri Muslim dan
mendefinisikan lawan menurut sudut
pandang dan kepentingan mereka. Label-label negatif akan segera dilekatkan pada
pihak-pihak yang menentang serta pihak yang dijajah secara umum. Jika perlawanan itu terjadi di laut, maka
nama yang biasa mereka berikan kepada para pembela tanah air itu adalah bajak
laut.
Hal
yang sama juga pemah terjadi di awal kebangkitan Eropa dan petualangan mereka
menaklukkan berbagai belahan dunia. Tak lama setelah berhasil mengusir
orang-orang Islam dari pijakan terakhimya di Granada, Spanyol, pada tahun 1492,
orang-orang Portugis dan Spanyol, para conquistador yang haus kekuasaan ini,
segera menyerbu pantai-pantai Afrika Utara. Raja-Raja Maghrib, Tunisia, dan
sekitarya yang lemah tak punya cukup kemampuan dan kemauan untuk mengusir
orang-orang Kristen yang penuh semangat ini dari tanah-tanah mereka.
Orang-orang Spanyol merebut tempat-tempat strategis, seperti Ceuta di Maroko
dan Aljir di Aljazair, dan membangun benteng yang menyulitkan penguasa-penguasa Muslim setempat
untuk merebut kembali tempat-tempat itu. Pada masa-masa ketidakberdayaan
penguasa Muslim setempat inilah muncul para ‘pejuang swasta’ yang dimotori
Barbarossa bersaudara di perairan Mediterania. Mereka tampil menghadapi ancaman
penjajah Kristen Eropa. Dan sebagaimana orang-orang Bugis di Indonesia, orang-orang Eropa pun
menamai Barbarossa dan kelompoknya sebagai bajak laut.
Barbarossa
atau si Janggut Merah, lama-kelamaan berkembang menjadi sosok yang menakutkan
orang-orang Eropa. Kendati pada awalnya hanya berjuang dengan satu kapal
dan tak mendapat dukungan dari
pemerintahan Muslim mana pun, mereka mampu mengembangkan armada mereka menjadi
sebuah kekuatan yang harus diperhitungkan di Mediterania, Laut Tengah. Negeri-negeri di Selatan Eropa,
seperti Spanyol, Italia dan Yunani, membangun benteng-benteng pertahanan di
wilayah pesisir mereka untuk mengantisipasi
serangan Barbarossa. Orang-orang Italia menamai Barbarossa dengan
sebutan Il Diavolo atau si Setan. Para ibu di Eropa menakut-nakuti anak mereka
yang nakal dan sulit diatur dengan
menyebut nama Barbarossa. Dan seorang penyair menggelarinya sebagai ‘pemilik
segala kejahatan’ dan ‘perompak yang tak ada bandingannya di dunia’.
Kenyataannya,
Barbarossa bersaudara adalah pejuang-pejuang Muslim yang tidak menyerang
kecuali kapal-kapal Eropa yang memerangi negeri-negeri Islam. Tulisan ini
akan menguraikan figur pejuang yang
sangat tangguh ini lebih jauh.
Barbarossa
bersaudara adalah dua orang kakak beradik bernama Aruj dan Khidr. Keduanya
dilahirkan di Pulau Lesbos (Mytilene/Madlali), di wilayah Turki, dari
seorang ayah yang merupakan veteran
perang pada masa kekuasaan Sultan Muhammad al-Fatih dan seorang ibu penduduk
asli pulau itu. Ayah mereka, Ya’kub bin Yusuf, menetap di Lesbos tak lama setelah penaklukkan pulau itu
oleh pasukan al-Fatih di tahun 1462. Ia mengisi masa pensiunnya dengan membuka
sebuah kedai dan membina keluarga. Dari
pernikahannya lahir empat orang putra, Ishak, Aruj, Khidr, dan Ilyas.
Keempat anak ini, khususnya Aruj dan Khidr, tumbuh dalam budaya pesisir dan
kelak muncul sebagai pelaut-pelaut yang
tangguh.
Putra-putra
Ya’kub ini tumbuh pada salah satu era paling menentukan dalam sejarah umat
manusia. Mereka hidup di tengah benturan peradaban yang keras di wilayah Mediterania. Benturan peradaban antara Timur
dan Barat, antara Islam dan Kristen. Hanya sekitar satu atau dua dekade sebelum
kelahiran anak¬anak ini, peradaban Islam
terpenting saat itu, Turki Utsmani, di bawah pimpinan Muhammad al-Fatih
pada tahun 1453, telah berhasil menaklukkan kota Konstantinopel. Kejatuhan kota
yang merupakan ibukota Romawi Timur,
Byzantium, sekaligus pusat Kristen Ortodoks itu menimbulkan jeritan putus asa
dan kemarahan di belahan Eropa lainnya. Sebaliknya, hal itu meningkatkan semangat jihad dan kebanggaan di
belahan dunia Islam
mengingat Nabi Muhammad saw sendiri telah meramalkan kejatuhan kota itu dalam
haditsnya.
Aruj,
Khidr, dan saudara-saudaranya tentunya juga ikut merasakan semangat dan gejolak
kebanggaan ini, karena ayah mereka merupakan salah satu anggota pasukan
Sultan al-Fatih, Sang Penakluk. Hanya saja
di pengujung abad itu wilayah Mediterania juga menyaksikan pembalasan
orang-orang Eropa Kristen pada kaum Muslimin. Pada tahun 1492, Raja Ferdinand
dan Ratu Isabella dari Spanyol menaklukkan Granada, benteng terakhir kaum
Muslimin yang kaya raya di ujung Selatan Andalusia. Namun, berbeda dengan
al-Fatih yang bersikap toleran dan membuka pintu Konstantinopel pasca
penaklukkan bagi orang-orang non¬-Muslim, penguasa baru Kristen di Andalusia
segera membatalkan perjanjian yang
mengharuskan mereka memelihara toleransi. Kaum Muslimin Andalus pun menjadi
korban pemurtadan massal yang diiringi dengan penyiksaan inkuisisi serta pengusiran besar-besaran.
Setelah penaklukkan Granada, kapal-kapal Spanyol dan Portugis segera meneror
perairan Mediterania dan pesisir Afrika Utara.
Ketegangan
di Mediterania dan terancamnya pelaut-pelaut Muslim oleh gangguan kapal-kapal
Kristen, serta ketidakberdayaan penguasa-penguasa Afrika Utara dalam memberikan perlindungan, tak urung melahirkan
perlawanan sipil yang belakangan dituding pihak Eropa Kristen sebagai aksi-aksi
bajak laut. Aruj, putra Ya’kub, pernah
merasakan pengalaman buruk dengan pelaut-pelaut Kristen Eropa. Kapal
dagang Aruj pernah dibajak oleh ordo militer Saint John dan ia sendiri tertawan
oleh mereka. Namun, ia berhasil meloloskan diri. Peristiwa ini menguatkan
tekadnya untuk bangkit melawan orang-orang Eropa itu. Ia mengajak adiknya,
Khidr (yang belakangan berganti nama
menjadi Khairuddin), untuk ikut serta dalam perjuangan itu. Aruj dan Khidr
(Khairuddin) memulai ‘karir’ jihad mereka dengan sebuah kapal dan persenjataan terbatas. Namun, keterampilan
keduanya menjadikan kekuatan mereka tumbuh semakin kuat dan muncul sebagai
armada yang ditakuti di perairan Mediterania. Jenggot mereka yang berwarna
merah kemudian membuat mereka lebih dikenal dengan nama yang menggetarkan:
Barbarossa, Si Janggut Merah.
Kedua
pejuang ini terus mengkonsolidasikan kekuatan mereka dan mulai menjalin
hubungan dengan beberapa penguasa setempat. Mereka menjadikan beberapa pulau
yang strategis di perairan Mediterania
sebagai pangkalan rahasia mereka, di antaranya Pulau Jarbah di Teluk Gabes yang
diberikan oleh Sultan Tunis dengan imbalan Kerajaan Tunis akan menerima seperlima dari rampasan
perang Barbarossa bersaudara. Pulau Giglio di Barat Laut kota Roma juga
disebut-sebut sebagai salah satu markas angkatan laut Barbarossa. Dari basis-basis pertahanan
rahasia tersebut kedua bersaudara dan para anak buahnya berhasil mengacaukan
pelayaran kapal-kapal Kristen di Mediterania serta menyerang wilayah-wilayah
Afrika Utara yang mereka duduki. Sepanjang tahun 1510-an, armada di Janggut
Merah berhasil membebaskan beberapa kota penting di pesisir Aljazair, seperti Aljir, Bajayah, dan
Jaijil. Pada masa-masa ini mereka juga berhasil membantu orang-orang Andalus
yang melarikan diri dari kekejaman orang-orang Spanyol. Tidak sedikit dari kaum
pelarian ini yang kemudian bergabung dengan armada Barbarossa bersaudara.
Hubungan
kedua bersaudara ini dengan para sultan Afrika Utara yang wilayahnya mereka
bantu bebaskan tidak sepenuhnya mulus. Sebagian dari para sultan ini rupanya
merasa terancam dengan kekuatan Barbarossa yang semakin lama semakin besar.
Sultan Salim al-Toumy, penguasa Aljazair, mulai merasa terganggu dengan
aktivitas Aruj dan Khairuddin dalam membebaskan Aljir dan beberapa kota pantai
Aljazair lainnya. Sang Sultan kemudian mengusir Aruj dan anak buahnya dari
Aljazair pada tahun 1516. Pengusiran tersebut menyebabkan Aruj mengambil sebuah
keputusan penting. Ia menganggap Aljazair terlalu penting sebagai basis
perjuangan melawan Spanyol dan para sekutunya, sementara sultan negeri itu
tidak memiliki komitmen yang jelas terhadap kaum Muslimin. Maka ia pun
menggulingkan Sultan al-Toumy dan bertindak sebagai penguasa Aljazair. Tahun ini menandai era
baru perjuangan Barbarossa bersaudara, dari perjuangan yang sepenuhnya bersifat
militer, kini mulai merambah wilayah politik
dan kenegaraan.
Pada
tahun yang sama di Eropa, cucu Ferdinand yang bernama Charles, diangkat menjadi
Raja Spanyol. Walaupun pada saat itu usianya baru 16 tahun, ia segera akan menjadi penguasa terpenting di Eropa,
sekaligus menjadi musuh utama Turki Utsmani dan Barbarossa bersaudara. Keadaan
di Mediterania semakin memanas pada tahun-tahun
berikutnya. Pada 1517, Sultan Salim mengirim pasukan Turki Utsmani
memasuki Mesir dan merebut wilayah itu dari kekuasaan Dinasti Mamluk. Sementara
itu, Barbarossa bersaudara mulai menjalin hubungan dengan pihak Turki dalam
jihad mereka menghadapi orang-orang Eropa Barat.
Pada
tahun 1518, Aruj dan pasukannya bergerak ke Tlemcen (Tilmisan) untuk menghadapi
penguasa setempat yang berhasil dihasut oleh pihak Spanyol. Khairuddin,
sang adik, diperintahkan oleh kakaknya
untuk memimpin Aljir selama kepergiannya. Aruj dan anak buahnya berhasil
merebut Tlemcen selama beberapa waktu, tapi mereka segera dikepung oleh tentara Spanyol dan penduduk
wilayah itu. Aruj dan pasukannya berhasil meloloskan diri. Namun, pejuang yang
biasa dipanggil Baba Aruj oleh anak buahnya
ini akhirnya gugur sebagai syuhada dalam pertempuran menghadapi musuh di
tempat yang tak terlalu jauh dari kota itu. Kini Khairuddin Barbarossa, sang
adik, terpaksa memimpin armada dan
pasukan yang telah mereka bangun selarna beberapa tahun tanpa sang kakak.
Ketiadaan
Aruj ternyata tidak melemahkan Khairuddin. Ia segera memperlihatkan
kepiawaiannya dalam memimpin. Sejak masa itu,
telah memperlihatkan kepribadian yang
menonjol. Sebagaimana kakaknya, fisik Khairuddin sangat kuat. Ia berani sekaligus
penuh perhitungan. Selain itu, ia juga cerdas dan mampu berbicara dalam berbagai bahasa yang biasa digunakan di
Mediterania, seperti bahasa Turki, Arab, Yunani, Spanyol, Italia, dan Perancis.
Setelah Aruj gugur di medan pertempuran, Khairuddin mempertimbangkan lebih
serius hubungan dengan kesultanan Turki. Masyarakat Aljazair dan sekitarnya
memang mengharapkan kehadiran Khairuddin dan pasukannya, tapi beberapa penguasa setempat cenderung
memusuhinya. Maka ia meminta penduduk Aljazair untuk mengalihkan loyalitas
mereka pada Sultan Turki. Masyarakat Aljazair
setuju, dan suatu misi diplomatik pun diutus ke Istanbul. Misi tu
berjalan dengan baik. Pada tahun 1519, Khairuddin Barbarossa secara resmi
ditetapkan menjadi semacam gubernur
Turki di Aljazair. Pada tahun berikutnya, Sultan Salim meninggal dan digantikan
oleh Sulaiman The Magnificent yang kemudian dikenal sebagai salah satu sultan
terbesar Turki Utsmani. Hubungan Barbarossa dengan Turki menjadi semakin erat
pada masa Sulaiman yang memerintah selama empat puluh enam tahun.
Kendati
telah ditetapkan sebagai penguasa Aljazair, Khairuddin Barbarossa lebih sering
berjuang di lautan sebagaimana masa-masa sebelumnya. Ia dan armadanya
sempat menyelamatkan tujuh puluh ribu
Muslim Andalusia yang tertindas di bawah pemerintahan Charles V. Orang-orang
Islam ini dipaksa masuk Kristen dan diancam dengan penyiksaan inkuisisi yang sangat kejam
sehingga terpaksa melarikan diri ke gunung dan melakukan perlawanan. Kekuatan
mereka jelas sangat tidak seimbang dibandingkan kekuatan pasukan Charles. Maka
mereka pun meminta bantuan Barbarossa yang segera menolong dan memindahkan
mereka secara bertahap ke Aljazair.
Pada
tahun 1529, Khairuddin Barbarossa berhasil merebut kembali Pulau Penon yang
terletak di seberang Aljir dan selama bertahun-tahun dikuasai oleh tentara
Spanyol. Ia dan pasukannya membombardir benteng pulau itu selama dua puluh
hari. Dua puluh ribu tentara Spanyol yang berlindung di balik benteng itu
berhasil ditawan dan dipekerjakan untuk
membangun benteng di pesisir Aljir. Tujuh kapal Spanyol yang kemudian datang
untuk memberikan bantuan akhirnya juga jatuh ke tangan Barbarossa. Pada tahun yang sama, Sultan Sulaiman
menyerang dan mengepung kota Wina, Austria, untuk yang kedua kalinya. Walaupun
serangannya yang kedua ini juga gagal sebagaimana sebelumnya, hegemoni tentaranya di darat,
bersama dengan kekuatan armada Barbarossa di Laut Tengah, telah menimbulkan
tekanan dan kekhawatiran yang besar di Eropa
Barat.
Pada
tahun 1533, Khairuddin diundang ke Istanbul oleh Sultan Turki. Ia pun berangkat
dengan 40 kapal, dan sempat berpapasan dan memenangkan pertempuran melawan
armada Habsburg di perjalanan ke Istanbul. Setibanya di ibu kota Turki Utsmani
itu ia disambut dengan meriah dan diangkat sebagai Kapudan Pasha (Grand
Admiral), posisi tertinggi di angkatan laut Turki. Ia menyandang gelar itu
hingga tahun kematiannya, 1546. Tentu saja ini merupakan sebuah puncak karir
yang luar biasa untuk seorang ‘bajak
laut’. Tapi Barbarossa memang dianggap sangat layak untuk posisi itu oleh para
petinggi Turki Utsmani. Kemampuannya di bidang angkatan laut sangat diperlukan untuk membangun armada Turki yang
tangguh. Bahkan seorang konsul Perancis menyatakan bahwa puncak kesuksesan
Dinasti Umayah di lautan telah dimulai ketika
Khairuddin menghentakkan kakinya di pelabuhan Istanbul.
Ketegangan
dengan pihak Spanyol semakin serius setelah itu. Pasukan gabungan Spanyol yang
sangat besar jumlahnya berhasil merebut Tunisia dari tangan Barbarossa
pada tahun 1535. Barbarossa kemudian membalasnya
dengan menyerang Puerto de Mahon di Kepulauan Baleares, Spanyol, dan merebut
beberapa kapal Spanyol dan Portugis yang baru
saja kembali dari benua baru Amerika dengan membawa emas dan perak yang
telah mereka rampas dari penduduk setempat.
Tiga
tahun setelah itu, terjadi sebuah pertempuran besar antara armada Kristen dan
Muslim di Preveza, Yunani. Armada Kristen yang terdiri dari 600 kapal Spanyol,
Holy Roman Empire, Venesia, Portugis, Genoa, Vatikan, Florence, Malta, dan
negara-negara Eropa lainnya yang dipimpin oleh Andre Doria berusaha melumatkan
armada Barbarossa yang jumlahnya hanya sepertiga dari kekuatan musuh. Setelah
saling mengintai di perairan Ionian, Yunani, armada Barbarossa memasuki Selat
Preveza yang sempit dan menunggu di teluk besar yang terdapat di bagian
dalamnya, sementara musuh menunggu mereka di luar. Ini terjadi pada hari
Jum’at, 27 September 1538. Barbarossa
mengumpulkan pasukannya untuk mengatur strategi dan memutuskan untuk
bergerak keluar dan menghadapi musuh secara langsung. Armadanya melintas keluar
Selat Preveza pada hari Sabtu sebelum
fajar. Kedua armada besar itu saling berhadap¬hadapan pada saat matahari baru
saja naik. Barbarossa dan armadanya berhasil menerapkan strategi perang secara jitu. Kendati jumlah kapal mereka
lebih sedikit, tapi kapal-kapal mereka lebih lincah dan meriam-meriam mereka
mampu menjangkau jarak yang lebih jauh.
Setelah bertempur selama beberapa jam, armada Barbarossa mampu
melumpuhkan separuh armada Kristen. Kekalahan telak yang tak disangka-sangka
ini membuat armada pimpinan Andrea Doria
itu terpaksa mengundurkan diri. Kaum Muslimin berhasil memenangkan pertempuran
besar itu.
Setelah
1538, beberapa pertempuran masih terjadi antara pihak Kristen dan Muslim, dan
lebih sering dimenangkan oleh pasukan Muslim. Ketika Charles V berusaha menguasai Aljazair dengan 200 kapal perangnya
pada tahun 1541, mereka malah disergap badai di perairan Aljir, dan terpaksa
kembali pulang dengan kerugian besar. Di
tahun-tahun terakhir hidupnya, Barbarossa sempat ditugasi membantu
pasukan Perancis yang pada masa itu bermusuhan dengan Spanyol di bawah
kepemimpinan Charles dan memilih untuk
bersekutu dengan Turki. Ia membantu Perancis merebut kota Nis pada tahun 1543,
kemudian menetap di kota Toulon selama musim dingin, sebelum pergi ke Genoa untuk menegosiasikan pembebasan salah
satu anak buah terbaiknya, Turgut Reis.
Khairuddin
Barbarossa meninggal dunia dengan damai di Istanbul pada tahun 1546. Ia tetap
dikenang sebagai seorang pejuang lautan yang tangguh dan seorang mujahid yang ditakuti musuh-musuhnya di Eropa Barat.
Selama masa hidupnya, sebagian besar wilayah Afrika Utara berhasil dibebaskan
dari penjajahan Eropa dan perairan Mediterania berhasil diamankan. Setelah
wafatnya, kedudukan Khairuddin Barbarossa sebagai Kapudan Pasha dipegang oleh
Turgut Reis hingga yang terakhir ini syahid pada tahun 1565 dalam pertempuran
menghadapi ordo Saint John di Pulau Malta.
Aruj
dan Khairuddin Barbarossa telah meninggalkan sebuah jejak yang mengagumkan
dalam lembar sejarah Islam. Akankah Barbarossa-Barbarossa lainnya kembali lahir
dari tengah kaum Muslimin generasi modern ini?
Oleh: Alwi Alatas (Penulis buku Khairuddin Barbarossa: Bajak Laut atau
Mujahid?. Master di bidang Sejarah Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia --- Sumber: Sabili No. 13 TH.
XVI 15 Januari 2009 / 18 Muharram 1430, hal. 124-132 [Edisi Khusus “The Great
Muslim Traveler”])