Kisah Nabi Ibrahim al-Khalil AS

Wahab bin Munabih meriwayatkan bahwa Ibrahim al-Khalil as. adalah anak dari Tarikh bin Nakhur. Al-Hafizh as-Suhaili mengatakan bahwa Zar adalah paman Ibrahim, bukan ayahnya. Ibunya bernama Layutsa, seorang wanita yang beriman, tapi dia menyembunyikan keimanannya. Ibrahim dilahirkan di negeri Hauran. Menurut pendapat lain, dia dilahirkan di sebuah kampung bernama Barzah yang terletak di daerah Damaskus, di sebuah gua yang cukup terkenal. Konon, apabila seseorang berdoa di dalam gua itu, pasti doanya akan dikabulkan.
As-Sadi mengatakan, para dukun (ahli nujum) memberitahukan kepada Namrudz bahwa pada tahun tersebut akan lahir seorang anak yang akan menyebabkan Namrudz binasa dalam tangannya. Tatkala Namrudz menengar kabar tersebut, dia memerintahkan agar setiap anak lelaki yang lahir pada tahun itu harus disembelih. Dia memerintahkan semua lelaki menjauhi istrinya dan dia menugaskan seorang penjaga bagi setiap rumah.
Menurut seorang perawi, diriwayatkan bahwa Sam, Ham, dan Yafits, anak-anaknya Nuh, dipencarkan menjadi tiga. Orang-orang yang mendapat titel kenabian berasal dari keturunan Sam. Mereka menempati daerah Hijaz dan sekitarnya. Orang-orang yang mempunyai kekuatan berasal dari keturunan Ham. Mereka menempati daerah sebelah barat. Dan orang-orang yang memiliki sifat kesewenang-wenangan berasal dari keturunan Yafits. Mereka menempati daerah sebelah timur. Ham mempunyai seorang anak yang bernama Kausy.
Kausy memiliki anak yang bernama Kan’an dan Kan’an memiliki anak yang bernama Namrudz yang telah disinggung di atas. Kan’an adalah orang kuat yang senang berburu. Apabila dia berteriak kepada binatang-binatang buas atau binatang-binatang liar, maka binatang-binatang tersebut berjatuhan karena kerasnya teriakan Kan’an. Dia menikah dengan seorang wanita yang kemudian mengandung Namrudz. Ketika masa kehamilannya sudah cukup wanita tersebut melahirkannya. Bapak anak itu, Kan’an, berkata kepada wanita tersebut, “Anak ini terlahir akan membawa kejelakan. Bunuh saja atau buang saja ke tanah lapang agar dia mati.”
Karena mendengar omongan tersebut, wanita tersebut membawa anak itu, Namrudz, dan melemparkannya ke tanah lapang di antara kumpulan sapi yang sedang merumput. Semua sapi menjauhinya dan setiap kali ada binatang yang melihatnya, binatang itu kabur menjauhinya. Akhirnya, ibunya datang menemuinya; lalu dia membawanya dan melemparkannya ke sebuah sungai. Ibunya menyangka anak itu telah tenggelam, padahal kenyataannya anak tersebut terbawa arus sampai ke sebuah sumur dengan selamat. Allah menundukkan seekor macan tutul betina untuk menyusuinya. Hal itu dilihat oleh penduduk suatu kampung, lalu mereka membawa anak tersebut dan mengurusnya. Mereka memberinya nama Namrudz.
Menginjak usia remaja, dia suka mengganggu orang-orang di jalan dan dia bisa menghimpun banyak orang menjadi pengikutnya. Berita ini sampai ke telinga bapaknya, Kan’an. Maka, Kan’an mengumpulkan bala tentaranya, pergi untuk menemui anaknya. Ketika Namrudz melihat pasukan yang datang kepadanya, dia menjejerkan pasukannya dan dia berdiri maju ke hadapan mereka untuk mencari tahu apa yang muncul kepadanya. Ketika Kan’an dengan bala tentaranya telah datang, Namrudz mengerahkan orang-orang yang ada bersamanya. Terjadilah pertempuran dan Namrudz bisa menghancurkan pasukan Kan’an.
Pada saat itu, Kan’an muncul dan mencari Namrudz. Namrudz berhasil membunuh bapaknya. Kan’an tidak mengetahui bahwa yng membunuhnya adalah anaknya dan Namrudz pun tidak mengetahui bahwa yang dibunuhnya itu adalah bapaknya. Akhirnya, tampuk kerajaan jatuh ke tangan Namrudz. Setelah itu, dia memerangi raja-raja yang ada di bumi. Namrudz bisa mengalahkan mereka sehingga dia bisa menguasai kerajaan di bumi dari timur hingga barat.
Namrudz adalah orang yang menyembah berhala. Pada suatu ketika, para dukunnya memberitahukan kepadanya tentang Ibrahim al-Khalil a.s. Seorang dukunnya berkata kepada Namrudz, “Sesungguhnya anak yang telah kami ceritakan kepada Paduka telah dikandung oleh ibunya pada malam ini.” Pada saat itu, apabila ibu Ibrahim lewat ke hadapan orang-orang, mereka tidak mengetahui bahwa ibu itu mengandung dan kandungannya pun tidak kelihatan.
Ketika masa melahirkan telah dekat, ibu Ibrahim pergi karena takut anak yang ada dalam kandungannya akan disembelih. Tatkala dia merasa mau melahirkan, dia masuk ke dalam gua. Di sanalah dia melahirkan Ibrahim. Ibu itu melihat wajah anak itu sangat dan dari keningnya memancarkan cahaya. Di malam kelahirannya, berhala-berhala berjatuhan, mahkota-mahkota terlepas dari kepala-kepalanya, dan balkon gedung Namrudz ambruk ke tanah.
Selanjutnya, ibu Ibrahim a.s. menutup pintu gua. Dia pergi ke rumahnya dan setelah seminggu dia mendatanginya. Ibu itu menemukan anaknya, Ibrahim, sedang meminum susu dari ibu jarinya, madu dan dan keju dari jari-jarinya yang lain. Ibu itu meninggalkannya dan kembali lagi setelah genap satu tahun. Ibrahim a.s. tetap berada di gua. Setiap bulan dia tumbuh seperti tumbuhnya anak dalam satu tahun. Ketika dia keluar dari gua ditaksir kira-kira umurnya sama dengan anak dua belas tahun.
Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, tatkala bintang itu tenggelam dia berkata, “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (QS 6: 76). Dia menarik kembali keyakinannya. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku.” Akan tetapi, setelah bulan itu terbenam (QS 6: 77) dia yakin bulan juga makhluk. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar” (QS 6: 78). Maksudnya, lebih besar daripada bintang dan bulan. Ketika matahari condong ke arah barat, dia berkata, “Semua ini tidak pantas menjadi Tuhan.” Maka pada saat itu dia berkata, “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat” (QS 6: 78). Kemudian dia berteriak dan berkata, “Tidak ada tuhan kecuali Allah; tiada sekutu bagi-Nya. Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan (QS 6: 78-79).” Semua makhluk mendengar suaranya dan karenanya Namrudz tercengang.
Selanjutnya, Ibrahim pergi dari gua tersebut menuju bapak dan ibunya. Jibril datang kepadanya dan menuntunnya mendatangi ibu dan bapaknya. Ketika melihatnya, bapaknya melompat dan seraya merangkulnya karena dia melihat cahaya, kebaikan, dan keelokannya. Ibrahim a.s. bertanya kepada ibunya, “Siapa Tuhanmu” Ibunya menjawab, “Bapakmu.” Ibrahim bertanya, “Siapa Tuhan bapakku?” Ibunya menjawab, “Namrudz.” Ibrahim bertanya lagi, “Siapa Tuhannya Namrudz?” Mereka melarang Ibrahim menanyakan hal itu, tetapi Ibrahim tetap melanjutkan ucapannya.
Ibrahim a.s. berkata, “Tidak ada tuhan kecuali Allah. Dia adalah Tuhanku dan Tuhan bagi segala sesuatu.” Pada saat itu, ibu dan bapaknya menangis karena mengkhawatirkannya dari kekejaman Namrudz. Akan tetapi, Ibrahim berkata kepada mereka berdua, “Jangan mengkhawatirkanku dari (kekejaman) Namrudz. Aku ada dalam penjagaan Zat yang telah menjagaku sewaktu aku kecil. Dia pasti menjagaku ketika aku sudah besar.”
Bapaknya takut terhadap Namrudz dan takut ada seseorang yang akan melaporkan kepadanya. Akhirnya dia pergi menghadap Namrudz dan berkata, “Paduka, anak yang engkau khawatirkan adalah anakku. Dia telah dilahirkan tidak di rumahku dan sampai saat ini aku tidak mengetahuinya, sampai pada suatu ketika dia datang kepadaku. Aku beritahukan kepadamu, silakan perlakukan dia sekehendakmu dan setelah itu janganlah Paduka mencelaku.” Namrudz berkata kepadanya, “Bawa dia kemari!” Kemudian bala tentara Namrudz mengambil Ibrahim dari ibunya. Mereka membawanya ke hadapan Namrudz.
Setelah Namrudz melihat dan mengamatinya, dia berkata, “Tahan dia hingga besok.” Esok harinya, Namrudz menghias majelisnya dan menjejerkan bala tentaranya. Dia berkata, “Bawa Ibrahim ke hadapanku!” Mereka membawa Ibrahim ke hadapannya. Setelah berada di tengah-tengah mereka, Ibrahim melirik ke kanan dan ke kiri; lalu dia berkata, “Apa yang kalian sembah?” Itulah firman Allah: Dan bacakanlah kepada mereka kisah Ibrahim. Ketika dia berkata kepada bapaknya dan kaumnya, “Apakah yang kamu sembah?” (QS 26: 69-70).
Namrudz berkata kepada Ibrahim, “Hai Ibrahim, masuklah ke dalam agamaku dan kepercayaan yang aku pegang. Aku adalah yang menciptakanmu dan memberikan rezeki kepadamu.” Ibrahim menjawab, “Engkau telah berbohong, wahai Namrudz! Yang telah menciptakan aku, maka Dialah yang menunjuki aku, dan Tuhanku, Yang memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila kau sakit, Dialah Yang menyembuhkan aku, dan Yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali), dan Yang amat kuinginkan akan mengampuni kesalahanku pada Hari Kiamat” (QS 26: 78-81)”.
Mendengar ucapan Ibrahim tersebut, Namrudz dan orang-orang tercengang dan di hati orang-orang tertanam rasa suka terhadapnya karena kebaikannya, ketampanannya, dan kelembutan bahasanya. Pada saat itu, Namrudz melirik bapak Ibrahim dan dan berkata kepadanya, “Hai Azar, anakmu ini masih kecil. Dia tidak mengetahui apa yang dia ucapkan. Orang sepertiku, dengan kedudukanku dan kebesaran kerajaanku, tidak pantas untuk menghukumnya. Bawalah dia olehmu! Ajarilah dia dengan baik dan peringatkanlah akan kekuatanku agar dia menarik lagi kepercayaan yang telah dia pegang.”
Maka, Azar membawa Ibrahim kepada ibunya. Sesekali dia memperlakukannya dengan lembut dan lain waktu memperingatkannya. Azar berkata kepada Ibrahim, “Ambillah berhala-berhala ini! Jual-lah yang besar dengan harga sekian dan yang kcil dengan harga sekian.” Ibrahim tidak memperhatikan ucapan bapaknya. Malah dia berkata, seperti difirmankan oleh Allah: Ingatlah ketika dia berkata kepada bapaknya, “Wahai bapakku, mengapa kamu menyembah sesuatu yang tidak mendengar, tidak melihat, dan tidak dapat menolong kamu sedikitpun? Wahai bapakku, sesungguhnya telah datang kepadaku sebagian ilmu pengetahuan yang tidak dating kepadamu, maka ikutilah aku, niscaya aku akan menunjukkan kepadamu jalan yang lurus, wahai bapakku, janganlah kamu menyembah setan. Sesungguhnya sitan itu durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah. Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa azab dari Tuhan Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi setan” (QS. 19: 42-45).
Bapaknya berkata kepada Ibrahim, seperti yang difirmankan oleh Allah: “Bencikah kamu kepada tuhan-tuhanku, hai Ibrahim? Jika kamu tidak berhenti, maka niscaya kamu akan kurajam, dan tinggalkanlah aku buat waktu yang lama” (QS 19: 46.). Ibrahim mengambil berhala-berhala tersebut dari bapaknya dan kemudian membawanya pergi. Dia mengikatkan tali ke kaki-kaki berhala tersebut dan menariknya di belakangnya. Dia berkata, “Siapakah yang mau membeli barang yang tidak akan memberikan mudarat dan manfaat?” Akibatnya, orang-orang melihatnya, tetapi mereka tidak melarang tindakannya kerena mereka menghargai bapaknya, Azar.
Ketika Ibrahim telah berumur tujuh belas tahun dan telah banyak bergaul dengan orang-orang, mereka berkata kepadanya, “Mari berangkat bersama kami ke perayaan tuhan-tuhan kami.” Berhala-berhala tersebut ditempatkan dala msatu bangunan yang terbuat dari batu pualam putih dan hijau. Di sana terdapat tujuh puluh tiga berhala yang diletakkan di atas kursi terbuat dari emas. Berhala yang terbesarnya di kepalanya ada mahkota bertatahkan mutiara yang indah, memiliki dua mata yang terbuat dari yakut merah, dan di kanan dan kirinya berjejer berhal-berhala yang lain.
Pada waktu hari raya, kaum itu suka membuat makanan dan meletakkannya di antara berhal-berhala dan setan-setan mengambilnya sehingga mereka menyangka bahwa berhala-berhala telah memakannya. Hal itu membuat mereka bahagia dan berkata, “Tuhan kami telah meridhai kami. Sebab itu, dia telah memakan makanan itu.”
Pada saat itu, kaum tersebut membuat makanan lalu meletakkannya di hadapan berhala di atas sebuah hidangan. Kemudian kaum itu pergi ke lapangan untuk merayakan hari raya, kecuali Ibrahim. Dia tidak pergi bersama mereka dan berkata kepada mereka, “Sesungguhnya aku sakit” (QS 37: 89). Maka, mereka berkata, “Tinggalkan saja dia. Mungkin saja wabah kolera telah menimpanya.”
Setelah Ibrahim ditinggalkan oleh mereka, dia mengambil kapak; lalu dia gunakan kapak itu untuk menghancurkan semua berhala kecuali yang paling besarnya. Ibrahim membiarkannya. Bahkan kapak tersebut digantungkan ke pundak berhala yang paling besar itu; lalu Ibrahim pergi. Ketika orang-orang kembail ke tempat berhala, mereka menemukan berhala-berhala itu telah hancur berantakan da nada kapak yang tergantung di pundak berhala terbesar.
Mereka berkata, “Siapakah yang melakukan perbuatan-perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang zalim.” Mereka berkata, “kami dengar ada seorang pemuda yang mencela berhala-berhala ini yang bernama Ibrahim.” Maka mereka (Namrudz) berkata, “(Kalau demikian) bawalah dia (ibrahim) dengan cara yang dapat dilihat orang banyak agar mereka menyaksikan” (QS 21: 59-61).
Setelah Ibrahim datang, Namrudz berkata kepadanya, “Apakah kamu yang melakukan perbuatan ini terhadap tuhan-tuhan kami, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Sebenarnya patung yang besar itulah yang melakukannya. Maka tanyakanlah kepada berhala itu, jika mereka dapat berbicara.” Maka mereka telah kembali kepada kesadaran mereka lalu berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian adalah orang-orang yang menganiaya diri sendiri.”
Kemudian kepala mereka jadi tertunduk (lalu berkata), “Sesungguhnya kamu (hai Ibrahim) telah mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak dapat berbicara.” Ibrahim berkata, “Maka mengapa kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfaat sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudarat kepada kamu?” (Ibrahim berkata), “Ah (celakalah) kamu dan apa yang kamu sembah selain Allah. Maka apakah kamu tidak memahami?” (QS 21: 62-67).
Pada saat itu, Namrudz dan para pembantunya memperlihatkan kesombongannya. Mereka berkata, “Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak bertindak” (QS 21: 68).
As-Sadi mengatakan bahwa, setelah Namrudz dan para pembantunya sepakat untuk membakar Ibrahim a.s., dia memerintahkan untuk mengumpulkan kayu-kayu bakar dari gunung dengan diangkut oleh bagal. Oleh karena itu, bagal diputuskan keturunannya oleh Allah. Mereka tersu-menerus mengumpulkan kayu bakar hingga tiga bulan lamanya. Setelah kayu bakar itu terkumpul dan ditumpukkan, mereka menyulutkan api ke tumpukan kayu bakar itu. Asapnya mengepul ke atas yang hampir saja membinasakan penduduk kota itu karena saking panasnya api dan kepulan asap.
Dalam situasi tersebut, sebagian orang ada yang bersembunyi ke liang-liang karena panasnya api. Api tersebut dinyalakan di sebuah kampong yang bernama Ghauthah. Panasnya api itu sampai ke Damaskus, Syam. Mereka bingung bagaimana cara melemparkan Ibrahim kea pi tersebut karena saking panasnya. Tidak ada seorangpun yang maju untuk melemparkan Ibrahim ke sana. Sehingga Iblis terlaknat datang dalam bentuk seorang laki-laki. Dia berkata kepada mereka, “Aku akan membuat manjanik (semacam alat pelempar) untuk dipakai kalian melempar Ibrahim.”
Iblis sebelumnya telah melihat manjanik-manjanik neraka yang dipersiapkan untuk melemparkan orang-orang kafir ke dalam lembah-lembah di neraka. Stelah Iblis selesai membuat manjanik, Namrudz merasa senang. Lalu mereka meletakkan Ibrahim di dalam sebuah tabut (peti) dan peti itu diletakkan di dalam manjanik. Mereka bermaksud melemparkannya ke dalam kobaran api.
Pada saat itu, malaikat yang ada di langit dan di bumi gaduh. Mereka berkata, “Wahai Tuhan kami dan Jujungan kami, hamba-Mu, Ibrahim, tidak menyembah kepada selain-Mu, mengapa dia dilemparkan ke dalam api?” Allah mewahyukan kepada mereka, “Wahai para malaikat-Ku, apabila dia (Ibrahim) meminta pertolongan dari kalian, maka tolonglah dia!” maka malaikat Mikail a.s. datang kepada Ibrahim a.s. dan berkata, “Hai Ibrahim, apabila engkau menginginkan agar akau menurunkan hujan kepadamu dan memadamkan api ini tentu pada saat ini juga aku melakukannya.” Ibrahim a.s. menjawab, “Aku tidak membutuhkanmu.”
Kemudian Malaikat Jibril a.s. datang dan berkata, “Wahai Ibrahim, apakah engkau perlu bantuan?” Ibrahim menjawab, “Adapaun kepadamu, maka aku tidak membutuhkannya. Cukuplah bagiku Dia mengetahui keadaanku.” Tiba-tiba sebuah panggilan dari atas menyeru, “Wahai Jibril, kepakkanlah sayapmu kepada api!” Atas seruan itu, Jibril mengepakkan sayapnya sehingga api itu padam dan api itu telah dijadikan dingin dan tidak mencelakakan. Dalilnya adalah firman Allah: Kami berfirman, “Hai api menjadi dinginlah dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim” (QS 21: 69).
Dari sisi Ibrahim, Allah mengalirkan air yang dingin, dari sisi api adapohon delima, dan Ibrahim diberi ranjang (tempat tidur) dari surge yang di atasnya ada hamparan dari sutra, mahkota dan perhiasan, yang keduanya dipakai oleh Ibrahim. Dia duduk di atas ranjang dalam keadaan yang paling nyaman semenjak dia dilemparkan ke dalam api.
Pada saat itu, Namrudz yang dijauhkan dari rahmat Allah pergi ke suatu tempat yang tinggi. Dia ingin melihat bagaimana jadinya Ibrahim. Tiba-tiba ada percikan api mengenai baju Namrudz dan membakar ke semua bajunya kecuali badannya. Dia tidak terbakar oleh api agar tahu bahwa api tidak akan membahayakan siapapun kecuali dengan seizing Allah, tetapi semua itu tidak dijadikan bahan pelajaran oleh Namrudz.
Pertanyaan: Mengapa Allah mencoba Ibrahim dengan api, dan sebelumnya belum pernah ada yang dicoba dengannya?
Jawab: Sebab, Ibrahim takut terhadap api. Maka Allah memasukkannya ke dalam api agar dia tahu bahwa api tidak akan membahayakan siapapun kecuali dengan seizin Allah.
As-Sadi mengatakan, pada hari itu, banyak sekali orang yang beriman karena mereka melihat mukjizat yang diberikan kepada Ibrahim tersebut, yaitu tidak terbakar oleh api. Ketika Namrudz melihat itu, dia berkata kepada Ibrahim a.s., “Pergilah engkau dari tanah kami agar engkau tidak merusak agama kami.” Maka, Ibrahim pun pergi dengan ditemani oleh Sarah. Di antara orang yang beriman kepadanya dan menemaninya adalah anak saudaranya, yaitu Luth a.s. Ibrahim a.s. pergi  bersama mereka menuju tanah Hauran. Lalu Allah mewahyukan kepadanya untuk menikahi Sarah. Atas perintah tersebut, Ibrahim menikah dengan Sarah.
Kemudian Ibrahim a.s. berniaga sehingga dia memiliki banyak harta. Dia membawa istrinya, Sarah, ke daerah Mesir. As-Sadi menambahkan, Sarah adalah wanita jelta dengan postur tubuh ideal. Di zamannya tidak ditemukan orang yang secantik dia. Ketika Ibrahim dengan membawa Sarah memasuki Mesir, ada yang mengatakan kepadanya, “Hai Ibrahim, di Mesir ada seorang raja yang kejam, yang sangat menyukai wanita. Salah satu kebiasaannya adalah apabila dia mendengar ada wanita cantik, maka dia akan menikahinya dengan paksa.”
Nama raja tersebut adalah Raja Tutis. Salah satu kebiasaan raja-raja terdahulunya adalah suka menetap di suatu kota yang bernama Manuf. Raja tersebut memiliki para pengawal yang berjaga di jalan-jalan untuk mengambil perbekalan orang-orang yang musafir. Pada waktu itu, Ibrahim menempatkan istrinya, Sarah, dalam sebuah peti, dengan maksud untuk menyembunyikannya dari sang raja. Ketika Ibrahim berada di hadapan para penjaga, mereka bermaksud membuka petinya untuk melihat isinya. Ibrahim tidak mampu mencegah mereka dari membuka peti itu. Mereka buka peti itu dan ternyata di dalamnya ada Sarah.
Kemudian Sarah dibawa oleh mereka kepada sang raja bersama dengan Ibrahim. Raja itu bertanya, “Siapakah wanita ini, hai Ibrahim?” Ibrahim menjawab, “Dia adalah saudara perempuanku.” Maksud Ibrahim adalah saudaranya seagama. Raja berkata, “Nikahkanlah dia denganku!” Ibrahim menjawab, “Dia telah berkeluarga.” Mendengar jawaban itu, Sarah diambil raja secara paksa.
Seorang perawi mengatakan, pada saat itu, Allah menghilangkan hijab dari mata Ibrahim sehingga Sarah tidak pernah luput dari penglihatannya agar hati Ibrahim akan tetap tenang ketika Sarah kembali kepadanya. Setelah raja mendekati Sarah dan hendak merabanya dengan tangannya, tangan itu jadi kaku. Raja pun bertobat sehingga tangannya bisa digerakkan kembali. Kedua kalinya dia mengulangi tindakan serupa, dan pada saat itu yang kaku adalah tangan dan kakinya. Kejadian tersebut terus berulang. Menurut sebuah riwayat, raja itu mengulangi kelakuan dan tobatnya hinga tujuh kali sampai dia bertobat yang sebenarnya. Semua  itu terlihat oleh Ibrahim. Allah telah menyingkap hijab dari matanya. Setelah bertobat, raja itu memanggil Ibrahim, menjamunya, memuliakannya, menyerahkan kembali istrinya serta memberinya hadiah berupa seorang hamba sahaya yang bernama Hajar yang di kemudian hari dinikahinya.
Selanjutnya, Ibrahim keluar dari Mesir menuju Syam. Dia menetap bersama sebuah kaum yang menempati sebuah lembah yang bernama Wadi Sab’I (Lembah Tujuh). Allah melapangkannya rezekinya. Dia mempunyai banyak harta dan hewan ternak. Sampai-sampai ada yang mengatakan bahwa dia memiliki 12000 (dua belas ribu) kawanan kambing. Dalam setiap kawanan itu ada satu anjing yang dikenakan pakaian dari sutera yang berwarna, dan di lehernya dikalungkan rantai dari emas. Ibrahim adalah nabi yang terkaya. Dia tidak pernah makan kecuali bersama tamu. Apabila waktu sore tiba dan di rumahnya tidak ada tamu, dia berjalan beberapa mil untuk menemukan orang yang akan makan bersamanya. Dia seperti yang tergambarkan dalam sebuah syair:
Malam tidak akan menyenangkan
apabila di waktu itu tidak ada tamu yang mau tinggal.
Dan pagi tidak akan menggembirakan
apabila pada saat itu tamu yang ada padaku pergi.
Menurut sebuah riwayat, Ibrahim a.s. adalah orang pertama yang menjamu tamu dan orang pertama yang beruban. Tatkala dia melihat ada uban di janggutnya, dia tidak menyukainya. Dia berkata, “Wahai Tuhanku, apa ini?” Allah mewahyukan kepadanya, “Itu adalah kewibawaan.” Mendengar itu, Ibrahim berkata, “Wahai Tuhanku, tambahkanlah kewibawaanku.” Maka, janggutnya berubah warna menjadi putih.
Diriwayatkan bahwa tatkala hewan piaraannya kian membanyak, dan tanah untuk menampungnya kian sempit, penduduk wilayah tersebut berembug, lalu mereka berkata kepada Ibrahim, “Hai Shalih, di kalangan mereka Ibrahim suka dipanggil asy-Syaikh ash-Shalih (orang tua yang saleh), pergilah dari negeri kami. Sebab, engkau telah menyempitkan tanah kami dengan binatang ternakmu.” Mendengar permintaan tersebut, Ibrahim mbermaksud untuk pergi. Setelah dia meninggalkan mereka, sumur-sumur mengering, padahal sebelumnya air sumur-sumur itu melimpah karena berkah Ibrahim sehingga kaum tersebut banyak yang binasa karena kehausan.
Akhirnya, mereka menyusul Ibrahim dan memintanya untuk kembali ke daerah tersebut, tetapi Ibrahim menolak. Mereka mengadukan kepada Ibrahim tentang minimnya air. Maka, Ibrahim memberikan tujuh kambing. Dia berkata, “Simpanlah di setiap sumur satu kambing. Air bakal datang kepada kalian.” Mereka ambil tujuh kambing tersebut dan kemudian menempatkannya di semua sumur. Setelah itu, air pun ada kembali dengan berkah binatang ternak Ibrahim a.s. Oleh karena itu, lembah tersebut disebut Lembah Tujuh.
Qatadah mengatakan, setelah Ibrahim menikahi Hajar, Hajar melahirkan Isma’il. Ketika itu Ibrahim telah berusia 85 tahun. Setelah Isma’il tumbuh besar, Hajar menjadi sombong kepada Sarah. Dia suka menentang omongan yang diucapkan Sarah. Sehingga suatu ketika, Sarah mengucapkan sumpah yang berat, yaitu dia akan memotong daging Hajar. Ketika kemarahan Sarah mereda, dia merasa bingung akan sumpahnya sampai akhirnya Ibrahim memberinya fatwa ketika Sarah menceritakan tentang sumpahnya. Ibrahim berkata, “Lubangilah kedua telinganya (Hajar).” Perintah itu dilaksanakannya.
Hari-hari berikutnya Sarah berkata kepada Ibrahim, “Aku tidak mau tinggal bersama Hajar dalam satu tempat.” Allah mewahyukan kepada Ibrahim untuk tidak meninggalkan Sarah dan memerintahkannya membawa Hajar dan Isma’il ke al-Haram (tanah Haram). Pada saat itu, Isma’il masih menyusu. Ibrahim menaikkan Isma’il dan ibunya keatas seekor unta. Dia membawa wadah air dan kantong yang berisi tepung pergi ke Makkah. Kemudian Ibrahim menempatkan mereka berdua di tanah Haram, yang menjadi tempat al-Bait as-Syarif (rumah yang mulia).
Pada saat itu, tanah tersebut berupa bukit merah. Di sana, Ibrahim a.s. membangun sebuah rumah dari anjang-anjang pohon. Dia meninggalkan mereka berdua dengan wadah air dan kantong yang berisi tepung. Ketika Ibrahim hendak meninggalkan mereka berdua, Hajar berkata kepadanya, “Engkau mau pergi ke mana?” Ibrahim menjawab, “Ke daerah Syam.” Hajar berkata, “Mengapa engkau pergi dan meninggalkan kami di tempat yang tidak ada pepohonan, tidak ada air, dan tidak ada orang?” Hajar terus bertanya beberapa kali kepada Ibrahim, tetapi Ibrahim tidak menoleh kepadanya.
Akhirnya, Hajar berkata, “Apakah Allah menyuruhmu melakukan ini?” Ibrahim menjawab, “Ya.” Hajar berkata, ”Kalau begitu, silakan pergi. Dia tidak akan menelantarkan kami.” Ibrahim pun pergi sambil berkata, “Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati; ya Tuhan kami yang yang demikian itu agar mereka mendirikan shalat. Maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezekilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur” (QS 14: 37).
Hajar menetap di sana selama tiga hari dan perbekalan air dan tepung telah habis sehingga dia dan anaknya kehausan. Mulailah Hajar naik ke bukit Shafa. Dia melihat-lihat apakah ada air atau seseorang yang bisa menolongnya. Kemudian dia pergi ke Marwah, dia melihat-lihat apakah ada air. Dia lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah; sebanyak tujuh kali. Dia seperti orang kebingungan yang sedang mencari air dengan menundukkan diri kepada Allah. Oleh karena itu, sa’i dijadikan salah satu kewajiban bagi orang-orang yang melaksanakan ibadah haji.
Pada saat itu, Isma’il, sewaktu-waktu menangis dan sewaktu-waktu terdiam, sampai dia kelihatan akan binasa karena kekurangan air. Ketika Hajar menghadapi kondisi seperti itu, tiba-tiba dia mendengar Hatif (suara panggilan yang tidak kelihatan siapa yang mengatakannya) menyeru, “Kembaliah (ke tempat Isma’il)! Allah telah mengeluarkan air untukmu.” Diapun kembali ke tempat Isma’il. Di sana dia melihat air telah keluar di antara kaki-kai Isma’il yang sedang menjerit-jerit. Melihat air keluar, Hajar mengeruk-ngeruk tanah dan berkata, “Zam Zam, Ya Mubarak (berkumpullah hai yang diberkati).” Sehingga air bisa tertampung dan tidak meluber. Oleh karena itu, air tersebut diberi nama Zamzam.
Rasulullah saw. bersabda, “Seandainya ibunya Isma’il tidak mengatakan ‘Zam Za, ya Mabarak,’ tentu air Zamzam itu menjadi sumber air yang mengalir.”
Menurut sebuah riwayat, Jibril datang kepada Hajar ketika dia sedang lari-lari kecil antara Shafa dan Marwah. Jibril berkata kepadanya, “Siapa engkau?” DIa menjawab, “Aku adalah istri Ibrahim, kekasih Tuhan. Dia telah meninggalkan kami di sini.” Jibril bertanya, “Kepada siapa dia meninggalkan kalian berdua?” Dia menjawab, “Kepada Allah.” Jibril, “Sesungguhnya dia telah meninggalkan kalian berdua kepada Yang Menjamin.” Allah berfirman: Bukankah Allah cukup untuk melindungi hamba-hamba-Nya? (QS 39: 36). Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan dan rahasiakan); dan Dia Mahatahu lagi Maha Mengetahui? (QS 67: 14).
Kemudia Jibril menghampiri Zamzam dan mengepak-epakkan dengan kakinya sehingga air mengalir. Oleh karena itu, Zamzam juga suka disebut dengan Rukdhatu Jibril (kepakan Jibril). Setelah itu, Isma’il dan ibunya minum dari air tersebut. Allah mencukupkan makanan dan minuman mereka dengan berkah Zamzam sehingga Hajar tinggal di sana untuk waktu yang cukup lama.
Diriwayatkan bahwa sekelompok orang dari Bani Khuza’ah keturunan Jurhum, telah tinggal dekat Makkah. Mereka melihat di Makkah banyak burung. Mereka berkata, “Burung-burung itu tidak akan turun kecuali di tempat yang ada airnya.” Merekapun pergi dan memasuki Makkah dan di sana mereka menemukan air. Mereka bertanya kepada Hajar, “Milik siapa air ini?” Hajar menjawab, “Sesungguhnya Allah telah mengkhususkan air ini untukku.” Mereka bertanya, “Apakah kami boleh tinggal bersamamu dan kami akan memberikan bagian binatang ternak milik kami?” Hajar menjawab, “Boleh.” Setelah mendapatkan persetujuan dari Hajar, merekapun menetap di sana dan membuat pembagian bersamanya.
Setelah Isma’il menginjak dewasa, dia bergaul dengan orang-orang Arab; dia belajar bahasa Arab dan Persia dari mereka dan kemudian menikah dengan gadis dari keturunan mereka. Dia dikaruniai banyak anak sehingga Isma’il a.s. dikatakan Abu al-‘Arab (Bapak Bangsa Arab). Diceritakan bahwa setelah Isma’il menikah, Ibrahim a.s. datang ke Makkah dan menanyakan rumah Isma’il. Orang-orang menunjukkannya; dia ppun mendekati sebuah rumah dena kemudian mengetuk pintunya. Maka, isteri Isma’il keluar menemuinya. Ibrahim bertanya kepadanya tentang Isma’il dan wanita itu menjawa, “Dia sedang pergi.” Lalu Ibrahim bertanya kepadanya tentang mata pencaharian mereka. Wanita itu menjawab, “Kami dalam keadaan yang paling buruk karena kesusahan.”
Setelah itu, Ibrahim berkata kepadanya, “Apabila suamimu datang, sampaikan salamku untuknya, dan katakana kepadanya agar dia mengganti ambang pintunya.” Ketika Isma’il datang, wanita itu berkata, “Ada orang tua datang kemari; sifatnya anu dan anu.” Diapun menceritakan wasiat yang yang telah diberikan Ibrahim untuk Isma’il. Mendengar hal itu, Isma’il berkata kepada istrinya, “Dia adalah bapakku; dia menyuruhku untuk menceraikanmu. Maka, pulanglah engkau kepada keluargamu!” Selanjutnya, Isma’il menikah lagi dengan wanita lain dari keturunan Arab.
Pada suatu ketika, Ibrahim a.s. datang lagi. Dia mengetuk pintu, tidak lama kemudia istri Isma’il keluar menemuinya. Ibrahim bertanya kepadanya, “Di mana suamimu?” Istri Isma’il menjawab, “Dia sedang pergi.” Kemudian Ibrahim bertanya kepadanya tentang kehidupan mereka. Istri Isma’il menjawab, “Baik, alhamdulillah.” Ibrahim bertanya lagi, “Apa makanan kalian?” Dia menjawab, “Daging dan susu.” Ibrahim bertanya lagi, “Apa minumanmu?” Dia menjawab, “Air Zamzam.”
Maka, Ibrahim berkata, Ya Allah, berkatilah mereka dalam daging, susu, dan air mereka.” Kemudian dia memberikan wasiat, “Apabila suamimu datang, sampaikanlah salamku untuknya dan katakan kepadanya, tetapkanlah ambang pintunya.”
As-Sadi mengatakan, “Ketika Ibrahim mendoakan keberkahan yang ada saat itu hanya daging, susu, dan air. Seandainya ketika itu ada yang lainnya dan didoakan keberkahannya oleh Ibrahim, seperti gandum, jawawut, dan kacang, tentu yang didoakan oleh Ibrahim akan lebih banyak lagi.”
Diceritakan bahwa untuk beberapa waktu lamanya Ibrahim tidak datang menemui Hajar dan Isma’il, sampai pada suatu saat dia meminta izin kepada Sarah untuk pergi mengunjungi anaknya, Isma’il. Sarah mengizinkannya dengan syarat Ibrahim tidak berbicara dengan Hajar dan tidak melihatnya. Ibrahim menyetujuinya. Dia pergi ke Makkah dan datang ke rumah Ismai’il. Dia mengetuk pintu rumahnya; istri Isma’il keluar dan bertanya, “Ada keperluan apa?” Ibrahim berkata, “Ke mana Isma’il?” Istri Isma’il menjawab, “Dia sedang berburu.”
Kemudian Ibrahim menanyakan tentang Hajar. Istri Isma’il menjawab, “Dia telah meninggal dan telah dikuburkan dekat Hijir Isma’il”. Menurut sebuah pendapat, Hajar meninggal dalam usia kira-kira 60 tahun dan pada waktu itu Isma’il telah berusia 20 tahun. Ibrahim duduk di tanah Haram dan mandi dengan air Zamzam. Dia menunggu kepulangan anaknya, Isma’il. Ketika Isma’il datang dari berburu, dia melihat bapaknya sedang duduk dekat air Zamzam. Isma’il menghampirinya, memeluknya, memegang tangannya, dan menjamunya. Ismail menyuguhkan daging dan susu untuknya dan Ibrahim pun makan.
Setelah itu, Ibrahim berkata, “Hai anakku, sesungguhnya Allah telah memerintahkanku untuk membangun sebuah rumah di atas bukit merah ini. Bantulah aku untuk mengerjakannya.”

(Sumber: Syaikh Muhammad bin Ahmad bin Iyas, “Kisah Penciptaan dan Tokoh-tokoh Sepanjang Zaman” (diterjemahkan oleh Abdul Halim), Bandung: Pustaka Hidayah, Cet. I, Oktober 2002, hal.  150-164)

Artikel Terkait :