KOMUNIKASI POLITIK DI INDONESIA
Perbandingan
komunikasi politik di Indonesia menurut pakar komunikasi politik Dr. Hadiono
Afdjani, M.M, M.Si:
Satu, Perbandingan
Komunikasi Politik Presiden Indonesia
Soekarno
presiden
pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai
menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi
tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti manusia
biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak
meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras,
menantang, memperingatkan dan mengancam. Semua itu sering disampaikannya dalam
bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas,
dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang
mengulang-ulang
Soeharto
Soeharto
yang lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering
menggunakan bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression
management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak
jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang
arti dari komunikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami
komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai ‘gebukan’ atau perlawanan
rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi
terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini,
Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa
itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa
Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan. Uniknya, dalam kondisi marah
atau tidak suka pun, ”The Smiling General ” ini menggunakan bahasa high context
pula. Semisal, ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja
presiden telah dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti
diperintahkan segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah
menggunakan bahasa low context.
B.J. Habibie
B.J.
Habibie pernah marah. ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah,
ia sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara
keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat
emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat.
”Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut” (menurut informan Hendropriyono
hlm.159).
Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu,
Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam
setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan
ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa
dirugikan, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya? Ya,
Sudah. Enggak usah dipikirin…!”, jawabnya (hlm.199).
Megawati
Megawati
setiap marah suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang
menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di
Singapura. Dalam acara itu, Roy B.B. Janis dihardik habis-habisan di depan umum
akibat kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal
pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam
itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan
SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus
acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati
tidak mau menghadirinya. Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak
bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara.
Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama
sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya
lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap
pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari
pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi
kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).
Susilo Bambang Yudoyono.
SBY
Meski tidak jarang menuai kritik, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY
sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya,
termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY
tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya
diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam
lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu
masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu
permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY
seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi
membiarkan publik menebak-nebak sendiri.
Dua, Komunikasi
Politik Era Orde Baru
Fase
pertama, 1965-1974 ditandai dengan atmosfir terbuka, kompetitif dan partisipasi
rakyat yang tinggi. Bahkan ekspresi politik masyarakat pun relatif bebas. Di
sinilah bulan madu komunikasi politik di Indonesia terjadi. Rakyat dengan bebas
mengkritik pemerintahan lama, Orde Lama, karena kegagalannya membendung komunis
dan merebaknya kemiskinan. Masa awal ini mirip seperti terjadi di era reformasi
saat ini dimana ekspresi itu tertuang dalam media massa dan pembentukan partai
politik yang jumlahnya saat ini lebih dari 50 partai.
Periode
kedua 1974-1983 dimulainya pengawasan terhadap komunikasi politik dimana
aktivitas politik, pers dan pernyataan masyarakat mulai dibatasi.
Periode
ketiga 1983-1990, kontrol sosial sangat ketat yang harus disesuaikan dengan
ideologi yang dikukuhkan lewat P4 dan asas tunggal.
Periode
keempat 1990-1998, monopoli politik yang sudah sedemikian ketatnya
berangsur-angsur mendapat perlawanan sehingga akibat gelombang demokratisasi di
dunia lahirlah apa yang disebut keterbukaan. Monopoli komunikasi tidak lagi
dipegang negara tapi mulai diimbangi bahkan dirongrong oleh kelompok
kepentingan seperti LSM dan kalangan kampus. Puncak perubahan dalam komunikasi
politik itu terjadi manakala demonstrasi pro reformasi mulai merebak awal tahun
dan berpuncak pada pengunduran diri Pak Harto 21 Mei 1998.
Komunikasi Politik Orde Reformasi
Terbukanya
keran keterbukaan akibat reformasi mendorong kelahiran era baru dalam
mengekspresikan pendapatnya. Jika pada masa Orde Baru pengekangan itu
sedemikian ketat, maka Orde Reformasi ini masyarakat menikmati bulan madu
kebebasan berkumpul dan pendapat.
Salah
satu fenomena yang terlihat adalah menjamurnya partai-partai berbasiskan Islam.
Dengan berbagai atribut, slogan, pemimpin dan programnya mereka mulai
mengenalkan diri ke hadapan umat. Meskipun sebagian terkesan sederhana dan
sebagian lagi ingin terlihat advokasinya membela rakyat, namun kekuatan riil
mereka akan teruji benar-benar dalam pesta demokrasi yang berlangsung sejak Mei
1999.
Artikel Terkait :
POLITIK
- MODEL-MODEL KOMUNIKASI POLITIK
- EFEK KOMUNIKASI POLITIK
- FUNGSI PARTAI POLITIK
- PENGERTIAN PARTAI POLITIK
- Pengertian Politik
- PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
- SURYA PALOH MENUDING, PARPOL YANG MEMBUAT RAKYAT POSIMIS DAN APATIS POLITIK
- MEGAWATI GERAM DITUDING MEMANFAATKAN KEPOPULERAN JOKOWI
- PERLUNYA CALON PRESIDEN ALTERNATIF