Mengenal Penyakit Epilepsi Kuno

Manusia sudah mengenal penyakit epilepsi kuno sejak zaman dahulu. Pengobatan epilepsi harus dilakukan secara teratur. Penghentian obat secara mendadak dapat mengakibatkan serangan baru yang dapat memiliki dampak yang serius
Di dunia ini, kasus epilepsi cukup sering dijumpai. Dalam bukunya Epilepsi, Prof. Dr. dr. S.M. Lumbantobing, seorang pakar saraf negeri ini menyebutkan, prevalensi epilepsi di seluruh dunia mencapai 5-20 orang per 1000 penduduk. Sayangnya belum ada penelitian tentang berapa tepatnya prevalensi epilepsi di Indonesia. Namun diperkirakan berkisar antara 0,5-1,2%. Jadi dengan jumlah penduduk 210 juta jiwa, populasi penderita epilepsi mencapai 2.100.000 orang .Epilepsi dihubungkan dengan kejadian seseorang tidak sadarkan diri, terjatuh, tubuh tegang, lalu disusul dengan gerakan-gerakan kejang tanpa terkendali di seluruh tubuh.
Penyakit yang lebih dikenal dengan ayan ini telah dikenal sejak jaman Babilonia kuno tiga ribu tahun lalu dan hingga saat ini penyebab pastinya masih belum diketahui. Para peneliti meyakini, bahwa penderita epilepsi memiliki kadar neurotransmitter tinggi, yang dapat menyebabkan aktivitas neuron yang berlebihan. Apapun yang dapat mengganggu pola aktivitas neuron normal – mulai penyakit yang dapat merusak otak hingga perkembangan otak yang abnormal, dapat mengakibatkan kejang.
Cedera kepala atau stroke dapat mengakibatkan terjadinya epilepsi. Hal itu terjadi ketika otak berusaha memperbaiki sendiri kerusakan yang terjadi justru meyebabkan koneksi saraf yang abnormal hingga mengganggu aktivitas neuron. Sel membrane yang mengeliling tiap neuron juga berperan dalam epilepsi. Study menunjukkan karena otak terus menerus beradaptasi terhadap rangsangan, perubahan pada aktivitas neuron meski kecil, jika terus berulang, akan memicu epilepsi pada bagian lain dari otak.
Faktor turunan, diduga merupakan faktor penting terjadinya epilepsi. Beberapa tipe epilepsi memperlihatkan adanya ketidaknormalan pada gen tertentu. Jenis-jenis tertentu epilepsi cenderung diturunkan pada orang dalam satu keluarga yang diperkirakan melibatkan lebih dari 500 gen terhadap kelainan ini. Namun abnormalitas gen ini hanya berperan sebagian, misalnya kerentanan seseorang untuk mengalami serangan kejang yang dipicu oleh faktor lingkungan. Pada beberapa kasus, pada keluarga yang tidak memiliki riwayat epilepsi, ada kemungkinan gen yang terkait epilepsi berkembang secara abnormal atau terjadi mutasi.
Beberapa faktor lain yang diduga juga turut berperan adalah masalah perkembangan dan metablisme seperti cerebral palsi dan autis. Hal lain adalah perawatan saat janin dalam kandungan dan asupan gizi.
Risiko akibat kejang yang dialami penderita epilepsi membatasi kemampuan untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Misalnya saat menyetir kendaraan. Saat kejang penderita dapat kehilangan kesadaran yang akan membahayakan jika melakuakan aktivitas tertentu.
Dampak lain epilepsi adalah terhadap psikologis penderitanya. Jika serangan terjadi di muka umum, penderita mungkin akan menglami rasa malu atau redah diri yang juga berefek pada pada teman dan keluarganya.
Penderita epilepsi berat yang tidak menjalani terapi, umumnya juga memiliki harapan hidup lebih pendek dan risiko cacat kognitif yang lebih tinggi, terutama jika kejang telah dialami sejak masa anak-anak.
Saat ini, terapi epilepsi adalah menggunakan obat-obat antikonvulsan yang dikonsumsi sebagai terapi tunggal ataupun kombinasi. Pemilihan obat-obatan tersebut tergantung type epilepsi yang diderita. Obat-obat itu antara lain divalproex sodium, fenobarbital, karbamazeptin, diazepam, klonazepam, dan primidon. Golongan lain adalah lamotrigin, vigabatrin, gabapentin, dan okskarbasepin. Divalproex sodium yang dipasarkan dengan nama Depakote adalah salah satu antiepileptik yang diindikasikan untuk pengobatan seizure parsial dan seizure absense.
Pengobatan epilepsi harus dilakukan secara teratur. Penghentian obat secara mendadak dapat mengakibatkan serangan baru yang dapat memiliki dampak yang serius seperti serangan epilepsi beruntun (status epileptikus). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa serangan yang tidak terkontrol akan memicu perubahan pada neuron, hingga ketika serangan terjadi lagi akan akan sulit diterapi. Penghentian obat tergantung dari usia penderita dan tipe epilepsi yang diderita.

Artikel Terkait :