Monoteisme – Agama Awal Manusia
Monoteisme merupakan agama awal manusia. Bukti
ilmiah berikut, bahwa pengetahuan dan keyakinan terawal manusia kepada satu
Tuhan Pencipta merupakan agama awal bumi ini, berasal dari The A.B.C. of
Biblical Archeology, berkenaan dengan bukti monoteisme di zaman kuno, karangan
Dr. Clifford Wilson MA, BD, MREd, PhD, mantan Direktur Australian Institute of
Archeology.
Monoteisme
dikenal di masa yang sangat awal. The Egyptian Book of the Dead menunjukkan
bahwa bangsa Mesir mulanya meyakini satu Tuhan agung dan bukan banyak tuhan.
Seiring berjalannya waktu, masing-masing atribut Tuhan sejati itu
dipersonifikasikan sebagai dewa baru dan tersendiri – dan begitulah politeisme
berkembang.
Pandangan
tersebut didokumentasikan dengan baik oleh Egyptolog ternama, Sir Wallis Budge,
dalam buku paling terkenalnya, The Book of the Dead. Berikut adalah
pernyataan-pernyataan dari The Book of the Dead mengenai atribut-atribut Tuhan
sejati, dipilih dari The Papyrus of Ani: “Himne untuk Amen-Ra…kepala semua
dewa…Raja langit…Raja Kebenaran…pencipta manusia; pencipta makhluk…Ra, yang
perkataan-Nya adalah kebenaran, Pengatur dunia, Tuhan keberanian yang kuasa,
ketua yang menjadikan dunia sebagaimana Dia menjadikan diri-Nya sendiri.
Wujud-Nya lebih banyak daripada wujud dewa manapun… Segala puji bagi-Mu, wahai
Pencipta Dewa-dewa, yang telah membentangkan langit dan mendirikan bumi!… Raja
kekekalan, pencipta keabadian…pencipta cahaya…
Dia
mendengar doa orang yang tertindas, Dia baik kepadanya yang telah memohon
pada-Nya, Dia membebaskan orang yang ketakutan itu dari penindas… Dia adalah
Raja pengetahuan, dan Kebijaksanaan adalah ucapan mulut-Nya. Dia menjadikan
tanaman hijau [sehingga] ternak hidup, dan [menjadikan] bahan pokok kehidupan
[sehingga] manusia hidup. Dia menjadikan ikan hidup di sungai-sungai, dan
[menjadikan] burung di langit. Dia memberi kehidupan kepada mereka yang berada
dalam telur… Segala penghormatan bagi-Mu, wahai Engkau pencipta semua ini,
Engkau SATU-SATUNYA. Dalam kekuasaan-Nya, Dia mengambil banyak wujud.”
Wallis
Budge menyatakan: “Setelah membaca sari di atas, mustahil kita tidak
menyimpulkan bahwa ide bangsa Mesir kuno mengenai Tuhan adalah ide mengenai
karakter yang amat mulia, dan jelas bahwa mereka membedakan secara tajam antara
Tuhan dan “dewa-dewa”… Jadi di sini kita punya Satu Tuhan yang self-created
(terwujud dengan sendirinya), self-existent (eksis dengan sendirinya), dan Maha
Kuasa, yang menciptakan alam semesta.”
Wallis
Budge memandang monotesime sebagai keyakinan asli Mesir yang terkorupsi menjadi
politeisme. Dia berargumen secara meyakinkan bahwa berbagai atribut satu Tuhan
agung diubah menjadi dewa-dewa lain yang lebih rendah. Budge menyatakan:
“Faktanya bagi saya adalah bahwa agama Mesir tak pernah sama sekali kehilangan
unsur monoteistis yang pernah dimilikinya.” Dia menyatakan kemiripan dengan
monoteisme bangsa Hebrew. Politeisme kasar berkembang dalam sejarah Mesir,
dengan peningkatan jumlah dewa. Ini merupakan konfirmasi tak langsung atas
adanya permulaan dengan monoteisme – bukan “banyak dewa”.
Para
cendekiawan lain mendukung argumen Sir Wallis Budge, dan dia sendiri mengutip
ahli lainnya. Satu contoh: “Sebagai hasil dari studi mereka atas teks-teks
Mesir, banyak Egyptolog terdahulu, semisal Champollion-Figeac, de Rouge,
Pierret, dan Brugsch tiba pada kesimpulan bahwa penghuni di Lembah Nil, sejak
masa terawal, meyakini eksistensi satu Tuhan, yang tak bernama, tak dapat
dimengerti, dan kekal.” (hal. 105)
Sir
Flinders Petrie, Egyptolog ternama terdahulu, berbagi kesimpulan yang sama ini.
Dalam The religion of Ancient Egypt, diterbitkan oleh Constable, London, 1908,
dia menulis: “Dalam agama-agama dan teologi-teologi kuno terdapat
golongan-golongan dewa yang sangat berlainan. Beberapa ras, sebagaimana Hindu
modern, bersukaria dengan keberlimpahan dewa dan dewi yang terus-menerus
bertambah, dan betul-betul berjumlah jutaan. Yang lain…tidak berupaya menyembah
dewa-dewa agung, tapi berurusan dengan sekumpulan besar roh animistis, setan,
atau apapun kita menyebutnya… Tapi semua pengetahuan kita tentang kedudukan dan
sifat awal dewa-dewa agung itu menunjukkan bahwa mereka berdiri di atas pijakan
yang sama sekali berbeda dengan bermacam-macam roh ini.
Seandainya
konsepsi satu tuhan hanyalah evolusi dari penyembahan roh, semestinya kita
menemukan penyembahan banyak tuhan yang mendahului penyembahan satu Tuhan… Apa
yang kita temukan adalah sebaliknya, monoteisme merupakan taraf pertama yang
tertelusuri dalam teologi…
Ke
manapun kita menelusuri politeisme sampai taraf terawalnya, kita menemukan
bahwa itu dihasilkan dari kombinasi monoteisme. Di Mesir, bahkan Osiris, Isis,
dan Horus, yang begitu familiar sebagai tiga serangkai, mulanya didapati
sebagai unit terpisah dalam kedudukan berlainan: Isis sebagai dewi perawan, dan
Horus sebagai Tuhan yang eksis dengan sendirinya.
Tiap-tiap
kota kelihatannya memiliki satu dewa, dan kemudian [dewa-dewa] lainnya
ditambahkan. Demikian halnya, kota-kota Babilonia masing-masing memiliki dewa
tertinggi, dan kombinasi ini serta transformasi mereka menjadi
kelompok-kelompok saat kampung halaman mereka menyatu secara politik
menunjukkan bagaimana pada dasarnya mereka mulanya adalah dewa-dewa
tersendiri.”
Bangsa Lain Juga
Monoteis
Bangsa
lain juga awalnya monoteis, mengenal satu Tuhan sejati saja. Almarhum Dr.
Arthur C. Custance menulis sebuah seri berjudul The Doorway Papers (Brockville,
Ontario, Canada). Dalam Paper 34, dia memberi bukti untuk menunjukkan bahwa ini
terjadi pada banyak bangsa semacam itu, bertentangan dengan pandangan banyak
cendekiawan.
Banyak
dari cendekiawan ini berpegang pada politeisme, bukan monotesime, sebab mereka
percaya bahwa manusia berevolusi naik [menuju lebih baik] dalam bidang-bidang
seperti perkembangan fisik, hubungan sosial, kapasitas intelektual, dan
pemahaman spiritual.
Faktanya,
manusia adalah puncak ciptaan Tuhan, awalnya sempurna (sebelum kejatuhannya),
dan memiliki pemahaman sangat jernih akan sifat Tuhan, Yang sebetulnya
merupakan Temannya. Tak ada evolusi agama – yang ada justru devolusi agama, dan
pembelotan dari hubungan yang pernah dinikmati manusia.
Dr.
Arthur Custance menguraikan argumen, dan dia menjelaskan bahwa mulanya
cendekiawan yang memeriksa riwayat bangsa-bangsa kuno: “…mendapati diri
berurusan dengan dahsyatnya jumlah dewa dan dewi dan kekuatan spiritual lain
yang lebih rendah yang tampaknya selalu saling berperang dan, kebanyakan, amat
destruktif.”
Dia
lebih jauh menyatakan: “Namun, begitu lembaran-lembaran yang lebih purba digali
dan diterangkan, dan ketrampilan dalam menguraikannya meningkat, gambaran
pertama politeisme kasar mulai diganti oleh sesuatu yang lebih hampir mendekati
hirarki makhluk-makhluk halus yang tersusun ke dalam semacam pengadilan dengan
satu Entitas Tertinggi di atas mereka semua.” (hal. 3)
Monoteisme Mendahului
Politeisme
Dr.
Custance juga mengutip cendekiawan lain. Contoh, dia mengutip Stephen Langdon
dari Oxford yang menulis pada 1931, dalam Semitic Mythology. Stephen Langdon
juga tahu penuh bahwa kesimpulannya akan tidak dapat diterima oleh “penguasa”.
Stephen
Langdon percaya bahwa monoteisme mendahului politeisme. Dia mengemukakan
pendiriannya dengan sangat jelas: “Menurut pendapat saya, sejarah peradaban
tertua manusia adalah kemerosotan pesat dari monoteisme menuju politeisme
ekstrim dan keyakinan pada roh jahat. Ini sejatinya adalah sejarah kejatuhan
manusia.” Stephen Langdon masih terus memegang pandangan tersebut, lima tahun
kemudian, dalam The Scotsman, 18 November 1936:
“Sejarah
agama Sumeria, yang merupakan pengaruh budaya paling kuat di dunia kuno, bisa
ditelusuri lewat prasasti fotografis hingga konsep keagamaan terawal manusia.
Bukti-bukti tak salah lagi menunjuk pada sebuah monoteisme awal, prasasti dan
peninggalan sastra bangsa-bangsa Semit tertua juga mengindikasikan monoteisme
primitif, dan asal-usul patung agama Hebrew dan agama-agama Semit lainnya kini
sama sekali tak dapat dipercaya.”
Tuhan Yang Maha Esa
Disembah
Tidak
semua cendekiawan menerima pendekatan tersebut – itu bertentangan dengan
pandangan penguasa mengenai evolusi agama. Namun, meski terdapat argumen yang
menentang, Dr. Custance menunjukkan bahwa penggalian berikutnya di Tell Asmar
(Eshnunna), beberapa mil di selatan Baghdad modern, telah mengkonfirmasi
pandangan Langdon.
Sekali
lagi, Dr. Custance mengutip cendekiawan lain. Yaitu Dr. Henry Frankfort, dalam
laporan pendahuluan ketiganya tentang penggalian itu: Selain hasil yang lebih
nyata, penggalian kami telah membuktikan sebuah fakta baru, yang akan harus
dipertimbangkan oleh peneliti agama-agama Babilonia. Kami telah memperoleh,
untuk pertama kalinya sepanjang pengetahuan kami, material keagamaan yang utuh
dalam suasana sosialnya.
“Kami
memiliki banyak sekali bukti koheren, diperoleh dalam jumlah yang sama dari
sebuah kuil dan dari rumah-rumah yang dihuni oleh orang-orang yang melakukan
penyembahan di kuil tersebut. Jadi kami sanggup menarik kesimpulan, yang tak
dimungkinkan oleh temuan itu sendiri.
Contoh,
kami menemukan bahwa gambar-gambar pada sumbat silinder (cylinder seal), yang
biasanya terkait dengan beragam dewa, semuanya bisa dicocokkan menjadi gambaran
konsisten di mana satu tuhan yang disembah di kuil ini merupakan figur sentral.
Tampaknya pada periode awal ini berbagai aspek-Nya tidak dianggap sebagai
dewa-dewa terpisah di kuil Sumeria-Akkadia.”
Argumen
mengenai monoteisme awal ini juga berlaku untuk kebudayaan lain. Dr. Custance
mengutip dari Max Muller, cendekiawan Jerman yang merupakan “salah satu ahli
paling dikenal di bidang ini”. Dia menulis dalam Lecture on the Science of
Language (Scribner, New York, 1875): “Mitologi, yang merupakan kutukan dunia
kuno, sesungguhnya adalah penyakit bahasa. Sebuah mitos artinya sebuah kata,
tapi kata yang, dari sebagai nama atau atribut, telah diperkenankan memangku
eksistensi yang lebih substansial. Kebanyakan dewa-dewa Yunani, Romawi, India,
dan bangsa penyembah berhala lainnya tak lain adalah nama-nama puitis belaka,
yang lambat-laun diperkenankan memangku kepribadian ilahi yang tak pernah
terpikirkan oleh penemu aslinya.
Eos
adalah nama pertama sebelum dia menjadi dewi, isteri Tithonos, atau ‘hari yang
hampir lenyap’. Fatum, atau Fate, mulanya berarti ‘yang telah diucapkan’, dan
sebelum Fate menjadi sebuah kekuatan, bahkan lebih besar dari Yupiter, ia
berarti ‘yang pernah diucapkan oleh Yupiter’, dan tak pernah bisa diubah –
bahkan oleh Yupiter sendiri.
Zeus
mulanya berarti ‘surga yang terang’, dalam Sanskrit Dyaus; dan banyak kisah
menunjukkan dia sebagai dewa tertinggi, hanya memiliki arti sebagai ‘surga yang
terang’, yang sinarnya, layaknya hujan emas, turun ke pangkuan bumi, Danae
lampau, yang ditahan oleh ayahnya itu di penjara gelap musim dingin.
Tak
ada yang ragu bahwa Luna sebetulnya adalah nama bulan; begitu pula dengan
Lucina, keduanya berasal dari kata lucere, artinya bersinar. Hecate juga
merupakan nama lama untuk bulan, feminin untuk Hekatos dan Hekatebolos,
matahari yang bersinar jauh; dan Pyrrha, Hawa-nya bangsa Yunani, tak lain
adalah nama tanah merah, dan khususnya Thessaly. Penyakit mitologi ini, meski
kurang mematikan dalam bahasa modern, sama sekali belum punah.”
Dr.
Custance menyatakan (hal. 10), “Betapapun sedikit Muller membagi pandangan
Kristen tentang sejarah spiritual manusia, dia mengakui: ‘Terdapat monoteisme
yang mendahului politeisme Weda; dan bahkan dalam pemanggilan tak terkira
banyaknya dewa, ingatan tentang Tuhan, yang maha esa dan maha kuasa, menerobos
kabut fraseologi musyrik layaknya langit biru yang tersembunyi oleh awan yang
melintas.” (Dikutip dari History of Sanskrit Literature)
Suku
“Primitif” Modern dan Juga Bangsa Kuno Tahu Tentang Tuhan Yang Maha Esa
Dr.
Custance menghubungkan konsep monteisme dengan kebudayaan awal lainnya, semisal
China, Yunani, dan Romawi, dan Timur Tengah. Dia menyatakan: “Bukti menunjukkan
bahwa manusia bermula dengan Cahaya sejati dan kini pemahamannya semakin gelap.
Bukti atas hal ini di kalangan bangsa primitif ditemukan di setiap pelosok
dunia di mana bangsa semacam itu kini eksis atau pernah eksis pada masa-masa
belakangan. Dan paradoksnya, semakin primitif mereka, semakin sederhana dan
semakin murni keyakinan mereka..”
Dr.
Custance mengurai argumen ini dengan bukti substansial, menyinggung banyak
bangsa kuno.
Kelompok-kelompok
Terawal Memiliki Pemahaman Lebih Luhur Mengenai Tuhan Yang Maha Esa
Bangsa
primitif memiliki ide satu Tuhan agung ini. Lagi, mengutip Dr. Custance: “Tak
diragukan lagi, karya paling informatif mengenai monoteisme bangsa primitif
adalah karangan Wilhelm Schmidt, yang, meski mulanya terdiri dari banyak volume
di Jerman, diterbitkan sebagai satu volume dalam versi ringkas terjemahan
bahasa Inggris pada 1930, The Origin and Growth of Religion: Facts and Theories.
Schmidt
pertama-tama menelusuri sejarah pemikiran tentang subjek asal-usul agama saat
berkembang pada abad yang lalu. Dia menguraikan, secara singkat, bahwa Herbert
Spencer sebagian besar bertanggung jawab atas interpretasi pertama evolusi
agama, mengingat dia mendahului Darwin tujuh tahun, sebagaimana ditunjukkan
oleh artikelnya, The Development Hypothesis, yang muncul dalam the Leader
bertanggal 20 Maret 1852.
Atas
dasar bukti terkini, jelaslah sekarang bahwa Spencer sama sekali salah. Spencer
berpandangan bahwa bangsa primitif memulai dengan menyembah leluhur dan bahwa
begitu peradaban berkembang, leluhur ‘tentu saja’ disusun ke dalam hirarki, dan
hirarki-hirarki pada gilirannya menghasilkan pangkat, dan pangkat tertinggi
menjadi dewa.”
Jadi
jelaslah bahwa banyak cendekiawan modern salah dalam ide mereka soal
monoteisme. Monoteisme, bukan politeisme, adalah yang pertama. Dr. Custance
lebih jauh menyatakan: “Yang mampu Schmidt buktikan secara meyakinkan adalah
bahwa jika kebudayaan-kebudayaan primitif berkelompok atas dasar tingkat
kebudayaan mereka dan kemudian kelompok-kelompok ini ditempatkan dalam urutan
menaik, ditemukan bahwa kelompok terendah memiliki konsep Tuhan paling murni
dan bahwa begitu sebuah kelompok berkembang dari pemburu menjadi pengumpul dan
penyimpan makanan, menjadi penanam makanan dalam bentuk nomaden penggembala
yang memelihara sekawanan binatang, menjadi penanam makanan dalam hal
penggunaan tanah yang didiami, dan naik derajat menjadi komunitas semi-urban,
kita pertama-tama menemukan keyakinan sederhana kepada Entitas Tertinggi yang
tak mempunyai isteri ataupun keluarga.
Di
bawah-Nya dan diciptakan oleh-Nya adalah pasangan pertama yang darinya suku
diturunkan. Menurut Schmidt, kita menemukan bentuk keyakinan ini di kalangan
Pigmi Afrika Tengah, penghuni Australia Tenggara, penghuni utara California
tengah, Algonkin primitif – dan, hingga taraf tertentu, Koryaka dan Ainu.” Ini
tentu saja bertentangan dengan argumen-argumen semisal bahwa penyembahan
leluhur merupakan tahap awal dalam perkembangan keagamaan manusia. Schmidt
lebih jauh menyatakan: “Kepalsuan teori Spencer ditunjukkan oleh fakta bahwa
penyembahan leluhur berkembang dengan sangat lemah dalam kebudayaan-kebudayaan
tertua sedangkan agama monoteistis jelas dan tak salah lagi sudah ditemukan di
sana…
Juga
patut disayangkan bagi teori Spencer bahwa perkembangan tertinggi penyembahan
leluhur tidak timbul sampai masa-masa belakangan…” (Schmidt, op. cit, hal. 71)
Adapun animisme, ini diduga berkembang dari ide bahwa manusia memiliki jiwa,
dan karenanya semua makhluk hidup (termasuk tumbuhan) memiliki jiwa atau
setidaknya realitas internal. Jadi manusia diduga berjalan sepanjang jalur
evolusi keyakinan bahwa seluruh dunia ruh bersifat personal – menuntun pada
animisme maupun poli-demonisme (dan ketakutan pada banyak setan yang harus
ditentramkan). Diduga ini membawa pada penggantian banyak setan tersebut dengan
satu kekuatan besar yang kepadanya semua entitas lain harus tunduk.
Bukti
yang kini tersedia dari riwayat yang ditemukan tidak mendukung hipotesis ini,
yang begitu jelas bertentangan dengan riwayat Bibel mengenai satu Entitas
agung, Tuhan Maha Pencipta Yang menciptakan manusia dalam gambaran Diri-Nya.
Terlepas
dari banyaknya pandangan “cendekiawan” yang menentang, riwayat sejarah dan
lainnya menolak animisme sebagai agama “awal” dan riwayat-riwayat itu
mengindikasikan bahwa bangsa Yahudi dan lainnya selain Kristen telah mengetahui
tentang satu Tuhan sejati.
Itu
juga dijelaskan amat gamblang dalam tulisan seorang penulis modern, Don
Richardson. Dalam bukunya, Eternity in Their Hearts, dia menantang kesimpulan
pribadi para cendekiawan, Huxley, Spencer, Tylor, dan lainnya yang percaya
bahwa “Diri mereka telah sepenuhnya membuktikan ketidakbenaran semua pretensi
tentang asal-usul gaib agama. Agama, klaim mereka, berevolusi secara mental
persis sebagaimana wujud-wujud biologis berevolusi secara fisik.
Namun,
di Gurun Kalahari, di hutan Ituri, dan di banyak lokasi lain yang tak
terhitung, antropolog-antropolog muda mulai mengerjakan tanya-jawab yang lebih
dalam. Mereka bertanya kepada para penganut animisme: ‘Ngomong-ngomong, siapa
yang menciptakan dunia?’ dan terkejut mendengar mereka menjawab, seringkali
dengan senyum bahagia, dengan menyebut nama Entitas tunggal yang hidup di
langit.
‘Apa
Dia baik atau jahat?’ merupakan pertanyaan lumrah kedua.
‘Tentu
saja baik’ adalah jawaban tetap. ‘Tunjukkan kepada saya berhala yang kalian
gunakan untuk melambangkan-Nya,’ periset meminta. ‘Berhala apa? Tak tahukah
Anda bahwa Dia jangan pernah dilambangkan dengan berhala apapun?’”
Ini
tentu saja bertentangan dengan ajaran banyak cendekiawan modern. Namun,
sebagaimana kata Don Richardson: “Mereka mulai menemukan apa yang sudah
diketahui oleh ribuan misionaris selama seratusan tahun – bahwa sekitar 90% agama
rakyat di dunia dirembesi prasuposisi monoteistis.
Mereka
tahu, tentu saja, bahwa Huxley, Tylor, dan lainnya akan kecewa, belum lagi
malu. Beberapa periset mungkin telah mengesampingkan aspek ini agar tidak
mempermalukan pendeta tinggi mereka. Bagaimanapun juga, pengungkapan terakhir
ini tidak mendapat tempat dalam buku-buku teks terdahulu. Hasilnya: Antropologi
dan masyarakat mengembangkan “kelemahan/kekurangan” kolektif! Andrew Lang
berdiri sendirian dalam memprotes pemberangusan data sangkalan ini.”
Terakhir,
Dr. Wilhelm Schmidt, seorang Austria, pada 1920-an mulai menghimpun setiap
“nama alias Yang Maha Kuasa” yang ditemukan oleh penjelajah di seluruh dunia.
Schmidt menghabiskan enam volume yang mengagumkan berjumlah total 4.500 halaman
untuk merinci semuanya! Minimal seribu contoh lebih telah ketahuan sejak saat
itu. Kira-kira 90% atau lebih agama-agama rakyat di planet ini memuat pengakuan
jelas akan eksistensi satu Tuhan Tertinggi! Karya klasik Schmidt, Der Ursprung
der Gottesidee (The Origin of the Concept of God), akhirnya diterbitkan pada
1934.
Dia
memberi penghormatan kepada Andrew Lang atas, dalam kata-kata antropolog Gordon
Fraser, penyajian fakta-fakta masalah ini ke publik, padahal menentang doktrin
evolusi dan pendeta tingginya hampir merupakan bunuh diri intelektual. Fraser
sendiri juga menghabiskan banyak hidupnya dengan memperluas riset Lang dan
Schmidt. Perlakuan G. Foucart terhadap subjek ini dalam Encyclopedia of
Religion and Ethics lebih jauh menegaskan kesimpulan ketiga orang yang tak
dibutakan ini: “Sifat, peran, dan karakteristik dewa langit universal ini
mungkin tersembunyi di bawah bermacam wujud, tapi dia kurang-lebih selalu dapat
dikenali oleh sejarawan agama dan selalu identik dalam definisi esensial… Dewa
langit telah memerintah di mana-mana. Kerajaannya masih meliputi seluruh dunia
tak beradab. (Dia memerintah banyak dunia beradab pula dengan nama
berbeda-beda.) Tak ada motif historis dan protohistoris yang bisa ditetapkan
sebagai penyebab, tidak pula migrasi ras ataupun penyebaran mitos dan cerita
rakyat bisa memberikan justifikasi sedikitpun atas fakta ini. Universalitas
dewa langit dan keseragaman karakter esensialnya merupakan konsekuensi logis
dari keseragaman sistem kosmogoni (asal-usul alam semesta—penj) primitif.”
Raja
Sulaiman mengatakannya secara jauh lebih ringkas: “(Tuhan) telah pula menaruh
keabadian dalam hati manusia!” (Ecclesiastes 3: 11).
Don
Richardson menguraikan suku demi suku, bahkan memperlihatkan bahwa ada
himne-himne berteologi yang jelas-jelas konsisten dengan fakta satu Tuhan
sejati. Berikut adalah salah satu pilihan, dari bangsa Karen di Burma:
“Y’wa
itu kekal, hidupnya panjang.
Satu
masa – dia tak mati!
Dua
masa – dia tak mati!
Dia
sempurna dalam atribut-atribut yang terpuji.
Masa
demi masa – dia tak mati!”
Bangsa
semacam itu betul-betul menyebut-Nya sebagai Pencipta. Himne lain memuji Y’wa
sebagai Pencipta:
“Siapakah
yang menciptakan dunia pada permulaan”
Y’wa
menciptakan dunia pada permulaan!
Y’wa
menunjuk segala sesuatu.
Y’wa
tak bisa dicari!”
Himne
lain lagi menyampaikan apresiasi mendalam atas kemahakuasaan dan kemahatahuan
Y’wa, diiringi pengakuan akan kurangnya hubungan dengan Dia:
“Mahakuasa
Y’wa; dia belum kita imani.
Y’wa
menciptakan manusia di masa purba;
dia
memiliki pengetahuan sempurna akan segala sesuatu!
Y’wa
menciptakan manusia pada permulaan;
dia
mengetahui segala sesuatu hingga masa sekarang!
Wahai
anak-anak dan cucu-cucuku!
Bumi
adalah tempat berpijak kaki Y’wa.
Dan
langit adalah tempat di mana dia duduk.
Dia
melihat segala sesuatu, dan kita terlihat jelas olehnya.”
Seolah-olah
bangsa semacam itu memiliki riwayat penciptaan Bibel. Don Richardson
menyatakan: “Kisah bangsa Karen tentang pembelotan manusia dari Tuhan
mengandung kesejajaran mempesona dengan Genesis Bab 1:
“Y’wa
mulanya membentuk dunia.
Dia
menunjuk makanan dan minuman.
Dia
menunjuk “buah ujian”.
Dia
memberi perintah rinci.
Mu-kaw-lee
memperdaya dua orang.
Ia
menyebabkan mereka memakan buah dari pohon ujian.
Mereka
tidak taat; mereka tidak beriman kepada Y’wa…
Ketika
mereka memakan buah ujian,
mereka
menjadi bisa sakit, menua, dan mati…”
Bangsa
Karen ini teguh menganut agama rakyat mereka meski terdapat upaya penekanan
oleh orang-orang Burma untuk mengubah mereka menjadi pemeluk Buddha” …dan
mereka telah, sepanjang generasi mereka, sejak lahirnya sejarah mereka,
mengharapkan saudara dari kulit putih, yang akan membawakan kitab yang ditulis
oleh Y’wa Tuhan Tertinggi.
Don
Richardson menunjukkan bahwa istilah Yunani, “Deos” (Tuhan), telah mengalami
perubahan pelafalan/geografis, berbentuk “Deos” di suatu kawasan, “Deus” di
kawasan lain, dan “Theos” di kawasan lain lagi. Itu cuma langkah kecil menuju
“Zeus”, “Tuhan” utama dalam mitologi Yunani. Maknanya telah berubah
perlahan-lahan, tapi konsep awalnya bisa dengan mudah ditelusuri ke satu sumber
bersama. Keyakinan akan monoteisme yang tersebar di seluruh dunia ini
menjelaskan bagaimana “kaum agama rakyat/Santa yang membumi dan berpikiran
praktis tapi buta huruf sangat bersikeras bahwa sungguh-sungguh terdapat satu
Pencipta yang maha kuasa dan pemurah.”
Don
Richardson memperlihatkan bahwa temuan-temuan semacam itu telah “menggelisahkan
evolusionis lebih daripada fenomena kebudayaan lainnya.” Para teoris evolusi
berpandangan bahwa konsep satu Entitas Tertinggi baru dicapai setelah melewati
keyakinan yang lebih rendah semisal pemujaan, dewa-dewa alam, dan politeisme.
Mereka kini menemukan bahwa semakin “primitif” sebuah suku, semakin maju idenya
mengenai satu Tuhan sejati – monoteisme!
Oleh: Zenith Harris Merrill (1997-2002 --- Sumber: www.bloomington.in.us)