NENEK GRENDI PUNYA HP, TAPI BERHARAP SUNGAI
Sumpah,
saya paling sering eneg kalau ngomongin tentang pemikirannya. Tapi, untuk
cerpennya yang satu ini, saya angkat sebelas jempol untuknya.
Berikut saya persembahkan sebuah cerpen manis
karya Arswendo Atmowiloto:
NENEK GRENDI PUNYA HP, TAPI BERHARAP SUNGAI
Nenek
Grendi, usianya tak kurang dari 70 tahun, tak punya jakun, tapi punya hand
phone. Hanya ada empat nama anaknya dalam hp, dan Nenek selalu minta tolong
tetangga yang rumahnya agak jauh. ”Pencetkan yang nomor dua.”
Kalau
sudah disambungkan, ada suara halo, Nenek mematikan. Itulah cara Nenek
menghubungi anaknya yang nomor dua, dari empat anaknya, semua perempuan.
Anaknya sudah tahu, bahwa itu waktu untuk datang menemui, menjagai rumah,
karena Nenek akan mengambil uang pensiun almarhum suaminya. Biasanya agak lama,
karena Nenek pergi ke kantor, lalu pulangnya ke makam. Bukan makam suami yang
memberi pensiun, melainkan suami yang pertama. Yang lama hidup dengannya,
memberi empat anak gadis yang meninggalkan waktu mereka masih kecil. Suami
kedua, sangat sebentar bersamanya. Mereka berpisah, dan kata Nenek: ”Karena
kelakuannya aneh.” Suami ketiga yang memberi pensiun hingga hari ini, lelaki
yang menurut Nenek paling baik. Mereka menikah di usia yang sama-sama tua, tak
pernah bertengkar, tak pernah saling berdusta, tidak aneh, dan tidak
meninggalkan waktu masih hidup. Meninggal dunia karena sakit gigi, sewaktu
dicabut darahnya tidak berhenti. Makamnya di kota lain, karena diurus
saudara-saudaranya.
Dari
empat anaknya, yang nomor dua yang diingat dan ditelepon sebulan sekali.
Saudari yang lain sebenarnya iri. Namun sebenarnya tak perlu dinomorduakan.
Anak nomor dua menceritakan bahwa suatu ketika ia datang ke rumah Nenek, dan
Nenek tak mau membukakan pintu. Meskipun melihatnya. Kata Nenek: ”Itu tidak betul.
Kalau tahu anak saya, mana mungkin saya tidak membukakan pintu.” Menurut Nenek
yang datang bukan anaknya, melainkan orang lain yang akan menyita rumah yang
didiami. Rumah itu pula yang membuat Nenek tidak mau diajak tinggal di rumah
anak-anaknya.
Anak
yang pertama pernah memaksanya, tapi belum sehari Nenek minta dipulangkan.
Bahkan ketika diajak anak kedua, di tengah jalan sudah balik. Rumah yang
didiami sangat dicintai, tapi pernah juga Nenek tidak mengenali. Padahal hanya
pergi ke warung di ujung jalan. Pulangnya, mencari-cari, sampai tetangga
menunjukkan. Sampai di depan rumah pun, Nenek mengatakan tak percaya itu
rumahnya. Pasti ditukar. Baru setelah melihat seekor ayam yang dikenali sebagai
miliknya, Nenek mau masuk ke dalam rumah. Pernah pula rumah itu dililit dengan
tali, karena ia melihat ada orang melihati, dan akan menyita rumahnya. Nenek
menyukai ayam tapi kasihan. Induk ayam terlalu banyak mengorbankan diri untuk
anak-anaknya. Mulai dari bertelor, mengerami dan mengasuh, sendirian sementara
sang jago sudah mencari betina lain. Berbeda dengan ular, yang juga bertelor,
mengerami, dan ketika anaknya menetas, ular pergi jauh, karena dalam keadaan
lapar, ular bisa memangsa anaknya. Binatang yang paling dibenci adalah tikus.
Menurut Nenek tikus itu sebenarnya siluman, selalu ada di dunia ini.
Anehnya,
Nenek tak pernah lupa tanggal mengambil uang pensiun, tak pernah lupa jalan ke
kantor tempat mengambil uang, dan rute ke makam. Kata anaknya yang nomor tiga,
pernah keliru mengenali makam yang didatangi. Tapi menurut Nenek tidak keliru.
”Memang bapak kamu suka pindah. Dulu juga pindah ke rumah istrinya.” Anaknya
yang nomor empat sering jengkel, karena Nenek setiap kali didatangi bersama
suami, selalu bertanya siapa lelaki yang bersamanya. ”Duuuh Nek, itu kan
menantu Nenek.” Jawaban Nenek enteng saja: ”Ah, yang kamu ajak kemari bukan
dia.” Mula-mula menantu nomor empat penasaran, dan pernah datang sendiri, dan
benar-benar tak ditemui. Nenek mengatakan tidak mengenal. Datang lagi bersama
istrinya, juga ditanya lagi: ini siapa. ”Kamu jangan gampangan mengajak
laki-laki.” Sebaliknya, atau sebenarnya hampir sama, anak nomor tiga dijadikan
contoh. ”Itu bagus, kamu sudah bercerai tapi masih datang kemari berduaan.”
Suami nomor tiga pernah marah, tersinggung, dan tak mau datang lagi. Sampai
kemudian benar-benar berpisah.
Keempat
anaknya tidak tahu kenapa Nenek mengatakan namanya Grendi. Tetangga yang
seumuran dengannya juga tak tahu alasannya. Suaminya juga tak bernama Grendi,
atau dekat-dekat dengan kata itu, misalnya Gandi, atau Didi, atau Grand. Kadang
juga tak selalu menyambut baik sapaan sebagai Nenek. Seorang anak kecil yang
bertanya padanya: ”Nenek mau ke mana?” Dijawab kurang menyenangkan: ”Maaf ya,
saya bukan nenek kamu.”
Nenek
hidup sendirian di rumah itu. Memasak, mencuci dan melakukan semuanya sendiri.
Sewaktu anak pertama memaksakan pembantu di situ, diusir. ”Kamu jangan di sini
tidurnya, nanti suamiku menidurimu.” Waktu digantikan pembantu pria pun diusir
pula. ”Lelaki itu dasarnya baik kalau bekerja di rumahnya sendiri. Bukan di
rumah orang lain.” Kesukaannya memelihara ayam, karena katanya ayam tidak
cerwet, dan tidak merugikan tetangga. Pernah anaknya yang nomor tiga, juga yang
nomor dua, membelikan kambing, untuk dipelihara tetangga. Nanti hasilnya, kalau
kambing itu beranak hasilnya dibagi dua. Tapi Nenek menolak, dan memberikan ke
tetangga. ”Dia yang memelihara, berarti dia yang memiliki. Contohnya ayam-ayam
ini.” Anak, atau menantu, pernah membelikan pesawat televisi. Tapi hanya
dinyalakan di hari pertama membeli. Selebihnya didiamkan terus. ”Gambarnya
sama.”
Nenek
pernah mendadak mengumpulkan semua anaknya yang datang tergesa dan
bertanya-tanya kenapa. Pikiran mereka dipenuhi kecemasan, juga kerelaan, apa
lagi sebelumnya mendapat kabar bahwa Nenek sakit-meskipun selalu dikatakan
sebagai masuk angin. Setelah semua berkumpul, Nenek berkata dengan serius,
wajahnya berubah tirus. ”Kalian semua harus berhati-hati. Tadi saya melihat
pasukan Jepang masih berkeliaran. Mereka datang untuk memperkosa.” ”Selain Jepang,
juga pasukan Belanda yang berkeliaran untuk merampok rumah, jalanan, jembatan,
kereta api dan pasar. Mereka bersenjata lengkap.”
Anak
yang nomor tiga mencoba menerjemahkan bahwa pasukan Jepang itu kiasan
pemerkosa, jadi harus hati-hati. Juga pasukan Belanda yang bersenjata lengkap
yang merampas jembatan sampai pasar. Tapi Nenek berteriak, bahwa itu bukan
simbol. ”Saya melihat sendiri. Sampai sekarang masih ada. Lihat saja sendiri.”
Itu pula sebabnya Nenek mengikat rumahnya, dalam arti sebenarnya. Melilitkan
tali mengelilingi rumahnya, sampai ia tidak bisa masuk. ”Tak ada yang bisa
mengambil rumah, selama aku masih hidup.”
Kecemasan
adanya pemerkosa yang berkeliaran dan pasukan bersenjata lengkap yang
merampoki, cukup lama berlangsung. Padahal Nenek tak begitu cemas membagikan
miliknya. Ini terjadi ketika tetangga menelepon anak nomor dua dan nomor tiga,
memberitahukan bahwa Nenek membagikan hartanya. Diberikan kepada tetangga.
Semua diberikan, termasuk pesawat televisi, radio, piring, lemari, berikut pakaian
yang belum pernah dipakai. Ada kain yang sangat bagus, ada pakaian yang sangat
bagus. Tetangga menerima, tapi belum memanfaatkan. Kepada anaknya Nenek
berkata: ”Banyak barang itu membuat pusing.” Yang dimiliki hanya tiga kain dan
tiga baju. Satu dipakai, satu dicuci, satu untuk diberikan yang tak punya baju.
Rumahnya kosong, hanya ada ranjang kayu, serta peralatan dapur.
Nenek
juga tak heran atau cemas ketika dijemput untuk menengok cicitnya telah lahir.
Anak yang nomor tiga telah mempunyai cucu. Nenek menolak berangkat. Yang
pertama ditanyakan, bayi itu anaknya siapa.
”Anak
Iin.”
”Iin
anaknya siapa?”
”Anak
saya. Saya anak Nenek.”
”O,
begitu.”
”Cicit
nenek perempuan. Kami datang untuk menjemput Nenek, untuk melihat bayi.”
”Tak
usah. Di mana-mana bayi bentuknya sama. Kamu dulu juga bayi. Wajahnya juga
begitu-begitu saja. Sama.”
Nenek
Grendi, mungkin sebenarnya mendekati 80 tahun, menakjubkan semua orang dari
segi kesehatan. Benar-benar tak pernah ke rumah sakit, atau ke dokter atau ke
puskesmas. Keluhannya hanya kadangkala masuk angin. Kalaupun diingatkan suka
batuk-batuk, Nenek menjawab batuk bukan penyakit. Batuk itu seperti kentut atau
jerawat, harus dikeluarkan atau keluar sendiri. Anak-anaknya menduga Nenek
masih ingat kenapa suaminya meninggalkan dia, tapi tak mau menceritakan riwayat
yang sesungguhnya, yang tak diketahui anak-anaknya karena waktu itu masih
kecil. Atau suami kedua yang disebut aneh, atau suami ketiga yang disebut baik
sekali. Atau keluarganya, asal usulnya. Tidak juga disembunyikan. ”Kalian yang
sudah tahu.” Padahal anak-anaknya hanya bisa menduga-duga. Dugaan itulah yang
sebenarnya terjadi, kata Nenek.
Kalimat
lain yang membuat keempat anak perempuan adalah: ”Kalian berempat sebenarnya
bukan anak-anakku, bukan anak suamiku.” Lalu: ”Kalian berempat tak ada hubungan
sanak keluarga, tak ada hubungan darah. Dengan begitu kita tak perlu terbebani
saling marah, saling benci atau menahannya.”
Yang
istimewa adalah Nenek sering melihat hujan turun, sampai kebasahan terkena
cipratan atau karena angin yang nyempyok. ”Kalau didengarkan, air hujan itu
sebenarnya tembang rindu. Rindu langit pada bumi. Rindu kita semua ini.”
Yang
baru diketahui belakangan ini saja, Nenek ternyata ingin memiliki sungai. Nenek
menyimpan duitnya, katanya untuk membeli sungai kalau nanti ada yang menjual.
Anak-anaknya mencarikan tanah yang dilewati sungai, tapi Nenek mengatakan ingin
membeli dengan uangnya sendiri. ”Kalau aku membeli sesuatu dari duit orang
lain, aku tidak akan pernah memiliki.” Kenapa mendadak ingin sungai, Nenek
kesal karena harus menjawab yang tak perlu dijawab. Tapi kemudian menjawab
sendiri dengan bangga: ”Karena sungai mengalir.”
Nenek
tidak menerangkan arti mengalir, apakah berarti tidak memiliki, apakah berarti
sungai yang sesungguhnya, atau sekadar bicara, atau rindu hujan pada bumi, atau
seperti hp yang dimiliki. Nenek sewot kalau ditanyakan lagi dan mengatakan lagi
sebagai teman, anak-anak, cucu, menantu, tidak perlu marah atau benci. Lalu
mengulangi, kalau tidak mengalir itu bukan sungai.