PATOFISIOLOGI KEJANG DEMAM
Patofisiologi kejang demam melalui beberapa fase, mulai dari proses
perjalanan penyakit, hingga penderita mengalami kejang demam. Berikut patofisiologi
kejang demam:
Proses Perjalanan Penyakit
infeksi yang terjadi pada
jaringan di luar
kranial seperti tonsilitis, otitis media akut, bronkitis penyebab terbanyaknya adalah bakteri yang bersifat
toksik. Toksis yang
di hasilkan oleh mikro organisme dapat menyebar ke seluruh tubuh melalui
hematogen maupun limfogen.
Penyebaran toksis ke seluruh tubuh akan direspon oleh hipotalamus dengan
menaikkan pengaturan suhu di
hipotalamus sebagai tanda
tubuh dalam bahaya
secara sistemik. Naiknya
pengaturan suhu di hipotalamus akan merangsang kenaikan suhu
di bagian tubuh yang lain seperti otot, kulit sehingga terjadi peningkatan
kontraksi otot.
Naiknya suhu dihipotalamus, otot, kulit, dan jaringan tubuh yang lain
akan di sertai pengeluaran mediator kimia
sepeti epinefrin dan
prostagladin. Pengeluaran mediator kimia
ini dapat merangsang
peningkatan potensial aksi pada neuron. Peningkatan potensial inilah
yang merangsang perpindahan ion Natrium, ion Kalium dengan cepat dari luar sel
menuju ke dalam sel. peristiwa inilah yang diduga dapat menaikan fase depolarisasi
neuron dengan cepat sehingga timbul kejang.
Serangan yang cepat
itulah yang dapat
menjadikan anak mengalami
penurunan respon kesadaran,
otot ekstremitas maupun bronkus
juga dapat mengalami
spasme sehingga anak
beresiko terhadap injuri
dan kelangsungan jalan nafas oleh penutupan lidah dan spasme bronkus.
(Riyadi dan sujono, 2009).
Manifestasi klinik
Manifestasi yang terjadi pada kejang demam adalah: sebagian besar kejang
demam terjadi dalam 24 jam pertama
sakit, sering sewaktu
suhu tubuh meningkat
cepat, tetapi pada
sebagian anak, tanda
pertama penyakit mungkin kejang dan pada yang lain, kejang terjadi saat
demam menurun. Derjat demam bukan merupakan
faktor kunci yang
memicu kejang. Selama
suatu penyakit, setelah
demam turun dan
naik kembali sebagian anak tidak kembali kejang walaupun tercapai
tingkatan suhu yang sama, dan sebagian anak
yang lain tidak lagi mengalami kejang
pada penyakit demam berikutnya walaupun
tercapai tingkat suhu yang sama. (Abraham M. Rudolph, 2006)
Sebagian besar pasien
mengalami kejangdemam jinak
dan hanya akan
sekali kejang selama
suatu penyakit demam. Hanya
20% dari kejang
demam pertama bersifat
kompleks. Dari pasien
yang mengalami kejang demam kompleks, sekitar
80% mengalami kejang kompleks sebagai
kejang pertama. Anak yang
kemungkinan besar mengalami kejang demam kompleks tidak dapat diketahui pasti
sebelum kejadian. Namun, mereka
cendrung bherusia kurang
dari 18 bulan
dan memiliki riwayat
difungsi neurologik atau gangguan perkembangan.
Derajat / klasifikasi
Kejang yang merupakan
pergerakan abnormal atau
perubahan tonus badan
dan tungkai dapat diklasifikasikan menjadi
2 bagian yaitu:
kejang parsial sederhana
dan kejang parsial kompleks.
Kejang Parsial sederhana
Kesadaran tidak terganggu dapat mencangkup satu atau lebih hal berikut
ini:
- Tanda-tanda motoris: Kedutan pada wajah, tangan, atau salah satu sisi tubuh; umumnya gerakan setiap kejang sama.
- Tanda atau gejala otonomik : muntah, berkeringat, muka merah, dilatasi pupil.
- Gejala somatosensoris atau sensoris khusus: mendengar musik, merasa seakan jatuh dari udara, parestesia.
- Gejala psikik: dejavu, rasa takut, visi panoramik.
Kejang Parsial Kompleks
Terdapat gangguan kesadaran, walaupun
pada awalnya sebagai kejang parsial
simpleks. Dapat mencangkup otomatisme atau gerakan otomatik: Mengecap-ngecapkan bibir,
mengunyah, gerakan mencongkel yang berulang-ulang pada tangan, dan gerakan tangan
lainya. Dapat tanpa otomatisme tatapan terpaku (Cecily L. Betz
dan Linda A. Sowden, 2002).