SEJARAH MUNCULNYA AGAMA BUDDHA
Sejarah Agama
Buddha lahir dan berkembang pada abad ke-6 BC. Agama itu diperoleh namanya dari
panggilan yang diberikan kepada pembangunnya yang mula-mula Siddharta Gautama
(563-483 BC),yang dipanggilkan dengan: Buddha
Panggilan itu berasal dari akar kata Bodhi (hikmat),yang
didalam deklensi (tashrif) selanjutnya menjadi buddhi (nurani),dan selanjutnya
menjadi Buddha.Sebab itulah sebutan Buddha pada masa selanjutnya memperoleh
berbagai pengertian sebagai berikut: Yang sadar, Yang Cemerlang, Dan yang
beroleh terang.
Panggilan itu diperoleh Siddharta Gautama sesudah menjalani
sikap hidup penuh kesucian,bertapa,berkalwat mengembara untuk menemukan
kebenaran, dekat tujuh tahun lamanya,dan di bawah sebuah pohon, iapun beroleh hikmat
dan terang hingga pohon itu sampai saat ini dipanggilkan pohon Hikmat (Tree of
Bodhi)
Budha adalah salah
satu agama tertua yang masih dianut di dunia. Selama masa ini, agama ini
sementara berkembang, unsur kebudayaan India, ditambah dengan unsur-unsur
kebudayaan Helenistik (Yunani), Asia Tengah, Asia Timur dan Asia Tenggara.
Dalam proses perkembangannya ini, agama ini praktis telah menyentuh hampir
seluruh benua Asia. Sejarah agama Buddha juga ditandai dengan perkembangan
banyak aliran dan mazhab, serta perpecahan-perpecahan. Yang utama di antaranya
adalah aliran tradisi Theravada , Mahayana, dan Vajrayana (Bajrayana), yang
sejarahnya ditandai dengan masa pasang dan surut.
Kitab Suci agama Buddha adalah Tri Pitaka. Tri itu bermakna
tiga, dan pitaka itu bermakna bakul, tapi dimaksudkan adalah bakul
hikmat.hingga Tripitaka itu bermakna Tiga Himpunan Hikmat, yaitu:
- Sutta Pitaka, berisikan himpunan ajaran dan kotbah Buddha Gautama.Bagian terbesar berisi percakapan antara Buddha dengan muridnya.Didalamnya juga termasuk kitab-kitab tenyang pertekunan (meditasi), dan peribadatan, himpunan kata-kata hikmat, himpunan sajak-sajak agamawi, kisah berbagai orang suci. Keseluruhan himpunan ini ditunjukkan bagi kalangan awam dalam agama Buddha.
- Vinaya Pitaka, berisikan Pattimokkha,yakni peraturan tata hidup setiap anggota biara-biara (sangha). Didalam himpunan itu termasuk Maha Vagga, berisikan sejarah pembangunan kebiaraan (ordo) dalam agama Buddha beserta hal-hal yang berkaitan dengan biara. Himpunan Vinaya-pitaka itu ditunjukkan bagi masyarakat Rahib yang dipanggilkan dengan Bikkhu dan Bikkhuni.
- Abidharma-pitaka, yang ditunjukkan bagi lapisan terpelajar dalam agama Buddha, bermakna: dhamma lanjutan atau dhamma khusus. Berisikan berbagai himpunan yang mempunyai nilai-nilai tinggi bagi latihan ingatan,berisikan pembahasan mendalam tentang proses pemikiran dan proses kesadaran. Paling terkenal dalam himpunan itu ialah milinda-panha (dialog dengan raja Milinda) dan pula Visuddhi maga (jalan menuju kesucian)
Agama Buddha berasal dari India bagian utara diajarkan oleh
Buddha Sakyamuni. Beliau juga dikenal dengan sebutan Buddha Gautama, Bhagava,
Tathagata, Sugata, dan sebagainya. Pada masa kecil, Beliau adalah seorang
pangeran, bernama Siddharta. Pangeran Siddharta dilahirkan pada tahun 623
sebelum Masehi, jadi sekitar 2600 tahun yang lalu.
India Sebelum
Lahirnya Agama Budha
Sebelum lahirnya agama Buddha, masyarakat India telah
mengenal berbagai kepercayaan agama. Saat itu terdapat beberapa pandangan hidup
di India. Pada periode awal, masyarakat India bercorakkan tradisi pertapaan
dengan pertapa-pertapa berambut panjang yang telanjang. Periode berikutnya,
masyarakat mengenal upacara-upacara keagamaan dan ritus kurban dari kaum
Brahmana.
Selanjutnya, masyarakat India mengenal agama dari kaum
Upanishad. Menurut kaum ini, manusia memiliki suatu diri atau jiwa yang kekal.
Kebahagiaan kekal hanya dapat diraih jika manusia dapat bersatu dengan alam
semesta. Untuk bersatu dengan alam semesta, mereka mengembangkan meditasi yoga.
Pandangan ini mendapat reaksi keras dari kaum materialis.
Kaum materialis menganggap bahwa tidak ada jiwa yang kekal. Menurut kaum ini,
jiwa tidak lain tidak bukan adalah badan jasmani itu sendiri. Setelah kematian,
kehidupan manusia berakhir, tidak ada lagi kehidupan berikutnya. Kebahagiaan
kekal itu tidak ada. Kebahagiaan hanya dapat diraih selagi hidup. Mereka yang
mengikuti kaum materialis menjalani hidup bersenang-senang untuk menikmati
kebahagiaan duniawi.
Perkembangan selanjutnya, masyarakat India mengenal tradisi
pertapaan keras dari kaum Jaina. Kaum ini percaya bahwa setiap manusia
sesungguhnya memiliki jiwa yang suci dan bersih dalam dirinya. Jiwa yang murni
ini menjadi kotor karena perasaan-perasaan indera. Menurut kaum ini,
kebahagiaan kekal dapat dicapai bila dapat membunuh perasaan-perasaan indera
melalui cara-cara penyiksaan diri.
Masa Kehidupan Sang
Buddha
Pangeran Siddharta dilahirkan dalam sebuah keluarga
kerajaan. Ayahnya adalah seorang raja yang memerintah di kota Kapilavasthu.
Hidup dalam keluarga istana, sang pangeran bergelimangan dengan
kesenangan-kesenangan duniawi.
Kehidupan dalam kebahagiaan duniawi sangat didambakan
banyak orang. Kekayaan yang berlimpah, kekuasaan yang tinggi, istri yang
cantik, dan segala kemewahan duniawi lainnya. Kehidupan yang serba berlebihan
di mana segala keinginan dapat terpenuhi ternyata tidak membuat sang pangeran
berbahagia. Setelah sekian lama menikmati kehidupan duniawi yang menyenangkan
dalam istana, suatu perjalanan keluar istana yang untuk pertama kalinya
dilakukan dalam masa hidupnya segera merubah seluruh jalan hidupnya.
Kejadian di luar istana yang belum pernah ditemuinya selama
hidup di dalam istana: orang tua renta yang berjalan tergopoh-gopoh dengan
bantuan sebuah tongkat, orang sakit parah yang sedang merintih kesakitan dalam
pembaringan, orang mati yang diusung menuju tempat kremasi, dan seorang pertapa
suci yang sedang bermeditasi dengan heningnya; keempat kejadian yang
dijumpainya ini pada kesempatan berbeda, telah membuat dirinya merenung dan
terus merenung akan hidup ini: Mengapa harus ada usia tua? Mengapa harus ada
masa sakit? Mengapa harus ada kematian? Mengapa harus ada penderitaan? Apa arti
hidup ini? Dapatkah manusia terbebas dari usia tua, sakit dan mati?
Demikianlah batinnya diliputi dengan segala pergolakan yang
akhirnya puncak pergolakan pada usia 29 tahun di mana Beliau memutuskan untuk
menjalani kehidupan suci, seperti halnya kejadian keempat yang telah
dilihatnya: seorang pertapa suci yang sedang tenang bermeditasi. Beliau memutuskan
untuk mengikuti jejaknya dalam menemukan jawaban atas semua hal yang
menyebabkan penderitaan manusia. Beliau bertekad untuk menemukan obat
penderitaan yang dapat membebaskan manusia dari penderitaan karena usia tua,
sakit dan mati. Masa ini disebut sebagai Masa Pelepasan Agung.
Pangeran Siddharta telah membuktikan bahwa kebahagiaan yang
diperoleh dari kehidupan duniawi bukanlah kebahagiaan yang abadi. Kebahagiaan
duniawi bersifat sementara. Setelah kebahagiaan lenyap, muncullah penderitaan.
Demikianlah dalam hidup ini, suka dan duka datang silih berganti.
Beliau yakin adanya suatu kebahagiaan yang bersifat abadi.
Dalam usaha pencarian, Beliau mengembara dan berturut-turut berguru kepada
beberapa orang guru meditasi. Pertapa Gautama, demikianlah kemudian Beliau
dikenal, mempelajari berbagai ilmu meditasi. Dengan cepat, Beliau menyamai
kepandaian gurunya. Demikianlah, Beliau berpindah dari satu guru ke guru
lainnya dan dengan segera pula segala ilmu dari gurunya dapat dikuasainya.
Namun, usaha Beliau menemukan obat penderitaan tetap belum berhasil.
Dalam meditasi, Beliau berhasil menemukan adanya suatu
bentuk kebahagiaan yang melebihi kebahagiaan duniawi. Kebahagiaan dalam
meditasi ini adalah kebahagiaan spiritual. Kebahagiaan spiritual berbentuk
lebih halus. Tetapi, Beliau menyadari bahwa kebahagiaan ini belumlah sempurna,
masih bersifat sementara.
Akhirnya, Beliau mencoba menemukan sendiri Jalan Pembebasan
tersebut, yang membebaskan manusia dari penderitaan. Beliau mulai mempraktekkan
pertapaan dengan menyiksa diri. Setelah bertahun-tahun bertapa menyiksa diri
membuat tubuh Beliau kurus kering. Hampir saja Beliau mati karena tubuhnya yang
tinggal kulit pembalut tulang. Namun, Jalan Pembebasan tidak juga diperolehnya.
Jawaban atas semua penderitaan tetap tidak didapatkannya.
Hingga pada suatu saat, Beliau disadari oleh serombongan
pemain kecapi yang sedang lewat sambil berbincang-bincang menasehati yang lain:
"Jika tali senar ini dikencangkan, suaranya akan
semakin tinggi. Jika terus dikencangkan, senarnya akan putus dan lenyaplah
suaranya. Jika tali senar ini dikendorkan, suaranya akan melemah. Jika terus
dikendorkan, lenyaplah suaranya."
Kata-kata ini ternyata telah menyadari Pertapa Gautama
bahwa di dalam tubuh yang lemah karena menyiksa diri, tidak akan ditemukan
pikiran yang jernih. Bagaimana Pengetahuan tentang Pembebasan dapat diperoleh
tanpa pikiran yang jernih?
Pertapa Gautama akhirnya memutuskan untuk bangkit dari
meditasinya. Beliau ingin mengakhiri cara bertapa menyiksa diri dan bergegas
untuk mandi membersihkan tubuhnya. Namun, begitu Beliau bangkit, tubuhnya yang
sedemikian lemahnya tak kuat menopang dirinya, yang membuatnya segera terjatuh
pingsan.
Saat itu, seorang pemuda gembala bernama Nanda sedang lewat
dan segera menolongnya. Ia memberikannya semangkuk air tajin. Ketika Beliau
sadar dari pingsannya, Beliau segera mencicipi air tajin tersebut, dan akhirnya
secara perlahan kesehatannya pulih kembali.
Pertapa Gautama pun akhirnya meninggalkan kehidupan
menyiksa diri. Beliau telah membuktikan bahwa kehidupan menyiksa diri tidak
akan membawa seseorang kepada kebahagiaan abadi, Jalan Pembebasan, Pencerahan
Sempurna.
Beliau kemudian memutuskan untuk bermeditasi di bawah pohon
Bodhi sambil mengumandangkan kebulatan tekadnya dengan berprasetya: "Meskipun
darahku mengering, dagingku membusuk, tulang belulangku jatuh berserakan,
tetapi Aku tidak akan meninggalkan tempat ini sampai Aku mencapai Pencerahan
Sempurna."
Dikisahkan bahwa di dalam meditasinya, pertapa Gautama
dihantui perasaan-perasaan bimbang dan ragu. Pikiran-pikiran seperti keinginan
nafsu, keinginan jahat, ketakutan, keragu-raguan dan kemalasan mencoba
menggagalkan usahanya dalam meraih Pengetahuan mengenai Pembebasan. Hampir saja
Beliau dikalahkan oleh Mara, penggoda yang dahsyat itu. Namun dengan keteguhan
hati Beliau yang membaja, akhirnya membuat-Nya berhasil menaklukkan Sang Mara.
Pertapa Gotama telah mencapai Pencerahan Sempurna. Beliau
telah menjadi Buddha. Peristiwa penting ini terjadi pada saat malam terang
purnama di bulan Waisak ketika Beliau berusia 35 tahun. Beliau telah menyadari
tentang asal mula penderitaan dan jalan untuk melenyapkannya. Dhamma inilah
yang akan diajarkan-Nya kepada seluruh umat manusia agar kita semua dapat
mengetahui hakekat sesungguhnya dari kehidupan ini dan berusaha untuk
melenyapkan penderitaan sehingga kebahagiaan tertinggi dapat kita raih.
Selama 45 tahun Sang Buddha mengajarkan dhamma kepada umat
manusia. Melalui pengalamannya sendiri, dengan usaha dan perjuangan Beliau
sendiri, dhamma telah ditemukannya, dan telah diajarkannya pada kita semua.
Solusi Agama Buddha
Dalam Mencapai Kebahagiaan
Budha Gautama menerima dan melanjutkan ajaran agama
Brahma/Hindu tentang karma. Yakni hukum sebab akibat dari tindak laku di dalam
kehidupan, dan ajaran tentang samsara, yakni lahir berulang kali ke dunia
sebagai lanjutan karma dan ajaran tentang moksa yakni pemurnian hidup itu guna
terbebas dari Karma dan Samsara.
Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran tentang karma dan
samsara itu akan tetapi aia menyelidiki dan meneliti pangkal sebab dari
keseluruhannya itu, dan merumuskan di dalam Empat Kebenaran Utama.
Sekalipun Budha Gautama menerima ajaran tentang Moksa itu,
akan tetapi ia tidak dapat menerima dan membenarkan upacara-upacara kebaktian
penuh korban mencapai moksa itu, dan lalu menunjukkan jalan yang hakiki bagi
mencapai Moksha yang dirumuskan dengan Delapan Jalan Kebaktian.
Kotbah Pertama Budha Gautama di Isipathana, dalam Taman
Menjangan, dekat Benares, berisikan uraian panjang lebar mengenai “Empat
Kebenaran Utama” yang pada dasarnya merupakan pendekatan Budha dalam memecahkan
masalah kehidupan ini dan Delapan Jalan Kebaktian itu.
Ajaran-Ajaran AgamaBudha
Ada beberapa ajaran pada agama budha, yakni:
Empat kebenaran
utama (khutbah pertama sang budha )
- “Dukha” Lahirnya manusia, menjadi tua dan meninggal dunia.
- “Samudaya” Penderitaan itu di sebabkan oleh hati yang tidak ikhlas dan hawa nafsu.
- “Nirodha” Penderitaan dapat di hilangkan, dengan hati ikhlas dan hawa nafsu ditahan
- “Magga” (jalan), Budha mengemukakan empat tingkatan jalan yang harus dilalui yaitu: (1) Sila (kebajikan), (2) Samadhi (perenungan), (3) Panna (pengetahuan atau hikmat), (4) Wimukti (kelepasan)
Kemudian keempat tingkatan ini diselaraskan dengan delapan jalan tengah atau jalan kebenaran
(Astavida) atau Arya Attangika Mangga:
- Berpandangan yang benar
- berniat yang benar
- Berbicara yang benar
- Berbuat yang benar
- Berpenghidupan yang benar
- Berusaha yang benar
- Berperhatian yang benar
- Memusatkan pemikiran yang benar
Ada tiga pengakuan
dalam agama budha yaitu;
- Buddhan saranan gacchami (saya berlindung didalam budha)
- Dhamman saranam gacchami (saya berlindung didalam dhamman)
- Sangham saranam gacchami (saya berlindung didalam sangha).
Dassasila (sepuluh
peraturan) bagi penganut agama budha
Setiap penganut agama budha dari golongan bikshu, maupun
pengikut biasa. Jika mereka perempuan harus berusaha mencapai keselamatan dan
melepaskan diri dari lingkungan hawa nafsu, dan memiliki akhlak serta
sifat-sifat keutamaan dengan menjalankan ketentuan-ketentuan yang telah
ditetapkan sang budha, dassasila (sepuluh peraturan), yaitu:
- jangan mengganggu dan menyakiti makhluk
- jangan menggambil apa yang tidak di berikan
- jangan berzina
- jangan berkata bohong
- jangan meminum barang yang bisa memabukkan.
Dan untuk golongan biksu ditambah lima lagi:
- jangan makan bukan pada waktunya
- jangan menonton dan menghadiri pertunjukan
- jangan memakai perhiasan emas dan wangi-wangian.
- Jangan tidur di tempat yang enak
- Jangan mau menerima hadiah uang.
Rukun syarat
beragama budha
Adapun rukun beragama budha dan ketentuan-ketentuan dalam
beragama budha adalah sebagai berikut:
- tiap-tiap orang hendaklah berusaha mengetahui budha itu sedalam dalam nya.
- Manusia harus mempunyai sukma yang halus
- Manusia jangan sampai melakukan perbuatan yang menyakiti orang lain
- Manusia harus mencari penghidupan yang tidak mendatangkan kebinasaan bagi orang lain.
- Tiap tiap orang harus mempunyai niat yang suci dan bersih
- Tiap tiap orang hendaknya memikirkan semua mahkluk
- Manusaia hendaklah mempunyai roh yang kuat untuk menciptakan kebaikan dan menghilangkan kejahatan.
Agama Buddha di Indonesia
Di masa pemerintahan Sriwijaya, Syailendra dan Majapahit,
agama Buddha berkembang dengan pesat di Indonesia. Bahkan, Sriwijaya menjadi
pusat pendidikan Buddhis terkenal pada masa itu.
Akulturasi agama Buddha dengan kebudayaan masyarakat
setempat di Indonesia tercermin lewat bangunan candi-candi bercorak Buddhis
yang dibangun dengan megah pada masa pemerintahan raja-raja wangsa Syailendra.
Pembangunan candi-candi Buddhis seperti Borobudur, Mendut dan Pawon menunjukkan
kebudayaan bangsa kita yang sangat tinggi pada saat itu.
Pada masa pemerintahan Majapahit, agama Buddha dan Hindu
dapat berkembang bersama-sama. Toleransi beragama pada saat itu sangat tinggi.
Hal ini terbukti seperti yang tertulis dalam Kitab Sutasoma, karya seorang
pujangga besar Buddhis saat itu, Mpu Tantular. Dalam kitab Sutasoma, terdapat
perkataan "Bhinneka Tunggal Ika" yang digunakan saat ini dalam
lambang negara kita.
Sejak runtuhnya kerajaan Majapahit dan masa penyebaran
agama Islam di Indonesia, perkembangan agama Buddha di Indonesia mengalami
kemunduran. Pada masa kolonial Belanda, agama Buddha berada antara ada dan
tiada.
Kemudian pada abad ke-20, sejak diundangnya bhikkhu Narada
Thera dari SriLanka ke Indonesia, agama Buddha secara perlahan mulai berkembang
kembali. Bhikkhu Narada Thera banyak memberikan pengetahuan Dharma dan
informasi mengenai agama Buddha ke seluruh pelosok Nusantara.