“Teroris” Bahasa
Sekarang
ini lagi musim perburuan teroris oleh Densus 88 Kepolisian. Namun, tidak banyak
orang yang menyadari bahwa di negara kita terdapat begitu banyak “teroris”
bahasa, baik bahasa lisan ataupun bahasa tulisan. Yang saya maksud, sebagian
masyarakat kita dari berbagai kalangan menggunakan bahasa yang campur aduk,
tidak menunjukkan identitas kita sebagai bangsa Indonesia yang berdaulat, sesuai
dengan peribahasa “bahasa adalah bangsa.”
Saat
artikel ini saya tulis, di simpang jalan antara Jln. Gatot Subroto dan Jln.
Laswi Bandung terdapat empat baliho yang semuanya menggunakan bahasa Inggris.
Siapa sasaran baliho-baliho ini: orang Inggris atau orang Indonesia? Penggunaan
bahasa Inggris yang serampangan dan sekadar gagah-gagahan ini sungguh merusak
keutuhan dan keindahan berbahasa Indonesia. Bayangkan jika seorang berkata,”By
the way, kita harus aware saat men-deliver message kita kepada audience,
mindset mereka sudah ter-internalized sedemikian lama.” Kita capek dan jengkel
mendengarnya, kan.
Para
pesohor kita di TV sering berbahasa gado-gado ini. Seorang artis mengatakan:
”Sebagai seorang entertain …” (mestinya entertainer); “di dunia entertain …”
(mestinya di dunia entertainment). “Saya fine-fine aja,” kata seorang pesohor
lainnya, yang mestinya mengatakan, “Saya baik-baik aja.” Contoh lain, Manohara
berkomentar, “saling respect each other,” ketika ditanya mengenai siapa pun
pria yang bakal menjadi suaminya (TransTV, 10 Mei 2013). Padahal each other itu
secara implisit bermakna “saling” atau tepatnya “satu sama lain.” Mestinya para
pesohor itu meniru Anggun C Sasmi yang meskipun telah menjadi penyanyi
internasional dan melanglang buana ke mana-mana tak pernah berbahasa sok gaya
seperti itu saat berada di Indonesia.
Tidak
sedikit orang terdidik pun menggunakan bahasa Inggris yang keliru. Pada hari
wisuda di suatu perguruan tinggi terkenal di Bandung terpampang spanduk besar
yang intinya merupakan ucapan selamat bagi lulusan suatu fakultas, yakni
“Congratulation, Guys,” yang mestinya “Congratulations, Guys,” dan “We proud of
you,” yang mestinya “We are proud of you.” Seorang mahasiswa pascasarjana
terus-menerus menulis kata massage dalam tesisnya untuk menyebut atau
menggantikan kata “pesan.” Ia tak sadar bahwa “pesan” dalam bahasa Inggris
adalah message, dan bahwa message berarti “pijitan.”
Ada
pula tokoh-tokoh politik yang menggunakan bahasa campur aduk ini. Di Kompleks
Parlemen, Jakarta, Selasa (15/1/2013), Eva Kusuma Sundari yang anggota DPR
Komisi III mengatakan, “Jadi akan gagal men-deliver keadilan sebagaimana amanat
UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU HAM, UU Anti-Diskriminasi terhadap
Perempuan, UU Perlindungan Anak, bahkan UU Sistem Peradilan Anak atau UU
Perdagangan Orang. Mindset-nya sudah oppressive terhadap perempuan,” ketika
mengomentari pernyataan calon hakim agung Daming Sunusi soal pemerkosaan yang
dianggap tak mempunyai empati. Apa susahnya menggunakan kata menyampaikan
alih-alih men-deliver, pola piker alih-alih mindset, dan menindas alih-alih
oppressive.
Penggunaan
kata kerja bahasa Inggris yang menggunakan awalan atau akhiran, terutama “me”
dan “di,” begitu marak di mana-mana. Simak misalnya, “Apakah KPK sudah
men-trace …?” tanya Cheryl Tanzil, pembaca berita Metro TV (15/3/2013). “Jadi
yang di-trace KPK adalah rekening tersangka,” jawab Johan Budi, juru bicara KPK
(15/3/2013). Mengapa kita harus menggunakan kata men-trace atau di-trace
ketimbang kata melacak atau dilacak. Seorang akademisi mengatakan “Masalah itu
harus di-follow-up-i” alih-alih mengatakan, “Masalah itu harus
ditindaklanjuti”. Seorang penyiar radio gaul di Bandung mengatakan, “Lagunya
di-request-in” alih-alih “lagunya diminta.”
Seorang
penyiar di sebuah radio swasta islami di Bandung mengatakan, “Ke-crowded-an
Bandung pagi-pagi belum terlihat.” Benar-benar kacau balau dan menjengkelkan
karena kemacetan dalam bahasa Inggris adalah crowdedness, tapi sang penyiar
menambahkan awalan ke dan akhiran kan untuk kata crowded yang berarti macet.
Perlu diingat, bahwa kejernihan berbahasa seseorang menunjukkan kejernihan
berpikirnya. Ini berarti bahwa jika bahasa seseorang kacau, pikirannya juga
kacau.
Seorang
professor yang diutus sebuah lembaga di Jakarta mengucapkan kata meng-create
dalam paparannya di depan sekelompok dosen di sebuah universitas terkenal di
Bandung. Mengapa ia tak mengucapkan kata menciptakan atau kalau mau sedikit
bergaya mengucapkan kata “mengkreasi” ketimbang kata meng-create. Masih pada
acara yang sama, seorang deputi dari suatu Kementrian menggunakan banyak
istilah asing, antara lain: “Ada 12 peluang ekonomi yang di-promote; Kita
participate; Kita mau men-drive enam komoditas.”
Mengapa
pula dalam pertemuan kita harus mengatakan: meng-adjust, meng-approve, meng-arrange,
meng-appreciate, meng-endorse, meng-improve, men-judge, me-maintain, me-manage,
men-transform, dsb., padahal kita bisa mengatakan: menyesuaikan, menyetujui,
mengatur, (atau menata, menyusun), menghargai, mendukung, memperbaiki, menilai
(menghakimi), memelihara, mengelola, dan mengubah? Bahkan kata “eksisting” saja
(berasal dari kata existing), seperti dalam kalimat “ruangan eksisting masih
layak digunakan,” terasa mengganggu. Mengapa kita tidak menggunakan kata “yang
ada” alih-alih “eksisting” sehingga kalimatnya menjadi “Ruangan yang ada masih
layak digunakan.”
Tidak
jarang kita membaca spanduk di luar rumah atau iklan di Koran mengenai obral
barang terutama pakaian di mal-mal besar, yang menyebut frasa: summer sale,
autumn sale, spring sale, atau winter sale. Aneh bin ajaib, negara kita
memiliki hanya dua musim, tak mengenal musim panas, musim gugur, musim dingin,
dan musim semi. Saya pernah menemukan plang for sale yang menancap di atas
lahan kosong yang berada di pinggiran kota. Apa calon pembelinya orang Inggris
atau Amerika?
Di
depan sebuah TK,terdapat spanduk yang berisi iklan antara lain berbunyi, “Open
for Registration Now!” Rupanya ada asumsi dari pihak TK bahwa semua yang
mungkin tertarik untuk memasukkan anak-anak mereka ke TK ini sudah memahami
bahasa Inggris. Pada undangan dari sebuah penerbit tertera “52nd years
anniversary” yang tentu saja keliru, karena seharusnya tertulis, “52nd
anniversary.”
Mencermati
penggunaan bahasa yang campur aduk ini, saya tercenung. Apa makna di balik semua
ini. Saya tahu bahwa bicara soal bahasa, ada gaya bahasa masyarakat sehari-hari
(parole) yang informal dan berbeda dari bahasa resmi (langue). Tapi apakah kita
harus seenaknya saja berbahasa informal, sehingga bahasa Indonesia menjadi
rusak. Sebagian contoh yang saya kemukakan tadi bahkan disampaikan dalam acara
resmi.
Saya
jadi teringat komentar seorang psikolog asal Bandung yang menganggap
kecenderungan berbahasa seperti ini pertanda bahwa bangsa kita masih bermental
manusia jajahan (inlander), yang rendah diri di hadapan bangsa Barat. Apakah,
pendapat psikolog ini lebay? Yang pasti, pakar bahasa Indonesia, Yus Badudu,
pernah mengingatkan agar kita jangan mencampuradukkan bahasa demikian. “Kalau
berkomunikasi, pakailah bahasa Indonesia. Kalau mau pakai bahasa Inggris, pakai
bahasa Inggris. Jangan dicampur. Itu tidak benar,” kata Yus Badudu memberi
pesan (“PR”, 11 April 2013).
Saya
merasa prihatin dengan banyaknya kata, frasa, atau kalimat dalam bahasa Inggris
yang mencampuri bahasa Indonesia. Bagaimana mungkin kita merasa bangga sebagai
bangsa Indonesia yang bermartabat di hadapan bangsa-bangsa lain jika kita
berbahasa seperti ini. Siapakah yang harus bertanggung jawab untuk memperbaiki
kebiasaan berbahasa yang serampangan ini? Saya kira pihak Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan adalah salah satunya, selain lembaga-lembaga pendidikan, mulai
dari SD hingga perguruan tinggi. Media massa pun, baik cetak atau elektronik
seyogja memberikan teladan dalam berbahasa yang baik dan benar ini.
Metro
TV yang selama ini menggunakan banyak kata atau frasa sebagai judul atau nama
dalam bahasa Inggris untuk acara-acaranya, seyogjanya menggunakan Indonesia.
Penggunaan bahasa Indonesia ini tidak akan mengurangi wibawa Metro TV. Para
tokoh dari berbagai profesi seyogjanya juga mulai berbahasa Indonesia yang baik
dan benar, tanpa perlu menghambur-hamburkan kata asing yang sudah ada
padanannya dalam bahasa Indonesia.
Oleh:
Deddy
Mulyana (Guru
Besar dan Dekan Fikom Unpad --- Sumber:
Pikiran Rakyat, Selasa 21 Mei 2013)