BUNUH DIRI DALAM PANDANGAN PSIKOLOGI
Bunuh diri dalam pandangan psikologi, ada beberapa teori
yang menjelaskan tentang itu. Leenars (dalam Corr, Nabe, & Corr, 2003)
mengidentifikasi tiga bentuk penjelasan psikologis mengenai bunuh diri.
Penjelasan yang pertama didasarkan pada Freud yang menyatakan bahwa “suicide is
murder turned around 180 degrees”, dimana dia mengaitkan antara bunuh diri
dengan kehilangan seseorang atau objek yang diinginkan. Secara psikologis,
individu yang beresiko melakukan bunuh diri mengidentifikasi dirinya dengan
orang yang hilang tersebut. Dia merasa marah terhadap objek kasih sayang ini
dan berharap untuk menghukum atau bahkan membunuh orang yang hilang tersebut.
Meskipun individu mengidentifikasi dirinya dengan objek kasih sayang, perasaan
marah dan harapan untuk menghukum juga ditujukan pada diri. Oleh karena itu,
perilaku destruktif diri terjadi.
Penjelasan kedua memandang masalah bunuh diri pada
dasarnya adalah masalah kognitif. Pada pandangan ini, depresi merupakan faktor
kontribusi yang sangat besar, yang khususnya diasosiasikan dengan hopelessness.
Fokus pandangan ini terletak pada penilaian negatif yang dilakukan oleh
suicidal person terhadap diri, situasi sekarang, dunia, dan masa depan. Sejalan
dengan penilaian ini, pikiran yang rusak muncul. Pikiran ini seringkali
otomatis, tidak disadari, dan dicirikan oleh sejumlah kesalahan yang mungkin.
Beberapa diantaranya begitu menyeluruh sehingga membentuk distorsi-distorsi
kognitif.
Beck (dalam Pervine, 2005) memperkenalkan model kognitif
depresi yang menenkankan bahwa seseorang yang depresi secara sistematis salah
menilai pengalaman sekarang dan masa lalunya. Model ini terdiri dari 3
pandangan negatif mengenai diri, dunia, dan masa depan. Dia memandang dirinya
tidak berharga dan tidak berguna, memandang dunia menuntut terlalu banyak
darinya, dan memandang masa depan itu suram. Ketika skema kognitif yang
disfungsional (automatic thoughts) ini diaktifkan oleh kejadian hidup yang
menekan, individu beresiko melakukan bunuh diri.
Penjelasan ketiga menyatakan bahwa perilaku bunuh diri
itu dipelajari. Teori ini berpendapat bahwa sebagai seorang anak, individu
suicidal belajar untuk tidak mengekspresikan agresi yang mengarah keluar dan
sebaliknya membalikkan agresi tersebut menuju pada dirinya sendiri. Di samping
itu, sebagai akibat dari reinforcement negatif, individu tersebut menjadi
depresi. Depresi dan kaitannya dengan perilaku bunuh diri atau mengancam hidup
lainnya bisa dilihat sebagai reinforcer positif, karena menurut pandangan ini
individu dipandang tidak dapat bersosialisasi dengan baik dan belum mempelajari
penilai budaya terhadap hidup dan mati.
Sebagai tambahan, Jamison (dalam Corr, Nabe, & Corr,
2003) mengemukakan bahwa psikopatologi adalah elemen paling umum pada perilaku bunuh
diri. Dia percaya bahwa sakit mental memainkan suatu peranan penting pada
perilaku bunuh diri. Beberapa kondisi psikopatologis yang difokuskannya adalah
mood disorder, schizophrenia, borderline dan antisocial personality disorder,
alkoholik, dan penyalahgunaan obat-obatan.