KARAKTERISTIK PIKIRAN BUNUH DIRI
Ada beberapa Karakteristik Pikiran Bunuh Diri. Ketika seseorang mengalami
distres psikologis, pikirannya menjadi lebih kaku dan bias, penilaian menjadi
absolut, dan pandangan tentang diri, dunia, dan masa depan menjadi susah diubah
(Weishaar, dalam Salkovskis, 1998). Weishaar juga berpendapat bahwa kesalahan
logika atau distorsi kognitif mengubah persepsi ke arah yang negatif dan
menyebabkan kesimpulan yang salah.
Menurut Ellis dan Rutherford (2008), beberapa karakteristik pikiran bunuh
diri antara lain:
Executive Functioning: Cognitive
Rigidity, Dichotomous thinking, dan Deficient Problem-Solving
Cognitive rigidity adalah karakteristik kognitif dimana individu melihat dirinya
dan orang lain sebagai baik atau buruk, memilih antara kesedihan atau kematian,
dimana individu susah atau tidak mungkin dapat berpikir fleksibel untuk mencari
solusi atas masalah yang sedang dihadapi. Individu yang memiliki pikiran bunuh
diri susah untuk membayangkan adanya alternatif untuk penderitaannya. Marzuk,
Hartwell, Leon, dan Poetra (dalam Ellis & Rutherford, 2008), menyatakan
bahwa cognitive rigidity merupakan karakteristik yang mendasari dichotomous
thinking dan problem-solving deficit.
Karakteristik kedua dari fungsi eksekutif adalah dichotomous (black or white)
thinking, dimana individu berpikir secara kutub seperti baik dan buruk, berhasil
dan gagal, dan lain sebagainya. Kurangnya kemampuan menyelesaikan masalah
(problem-solving deficit) diasosiasikan dengan dua karakteristik di atas,
karena ketidakmampuan menghasilkan solusi alternatif telah dibuktikan
berhubungan dengan baik dengan masalah impersonal atau masalah interpersonal
(Levenson & Neuringer, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
Schotte, Cools, dan Pyvar (dalam Ellis & Rutherford, 2008)
menambahkan bahwa ketidakmampuan menyelesaikan masalah interpersonal merupakan
penghubung antara depresi, hopelessness, dan intensi bunuh diri. Penyebab
problem-solving deficit belum banyak dipelajari. Namun, dua faktor yang pasti
menentukan adalah overgeneral autobiographical memory (Pollock & Williams,
dalam Ellis & Rutherford, 2008) dan saraf yang terdapat di otak.
Overgeneral autobiographical memory berguna dalam mengingat situasi masalah
yang mirip yang dialami di masa lalu. Keilp (dalam Ellis & Rutherford, 2008),
menemukan bahwa pasien dengan sejarah percobaan-percobaan bunuh diri menunjukkan
ketidakberfungsian saraf yang besar, dan ketidakberfungsian ini lebih besar
pada pelaku percobaan yang high-lethality.
Hopelessness
Hopelessness didefinisikan sebagai harapan individu bahwa kejadian negatif
akan terjadi di masa depan dan dia akan terus gagal dalam mencapai tujuannya.
Melalui penelitian yang dilakukan, Minkoff, Bergman, dan Beck (dalam Ellis
& Rutherford, 2008) menyatakan hopelessness merupakan penengah antara depresi
dan kecenderungan bunuh diri. Hopelessness juga berhubungan dengan perilaku
bunuh diri tanpa variabel depresi (Steer, Kumar, & Beck, dalam Ellis &
Rutherford, 2008). Di samping itu, kejadian hidup yang negatif dapat memprediksi
munculnya hopelessness (Yang & Clum, dalam Ellis & Rutherford, 2008).
Alasan untuk hidup
Alasan untuk hidup menunjukkan kemampuan individu menyatakan pernyataan-pernyataan
baik secara eksplisit atau dalam dirinya sendiri untuk bertahan hidup. Individu
yang memiliki pikiran bunuh diri biasanya susah untuk menyatakan alasan untuk
hidup. Linehan telah mengembangkan RFL (Reasons for Living) yang merupakan alat
untuk membedakan alasan hidup pada individu suicidal dan non-suicidal yang
hasilnya dapat diasosiasikan dengan beberapa variabel, termasuk diantaranya
intensi bunuh diri (Linehan, Goodstein, & Nielsen, dalam Ellis &
Rutherford, 2008).
Perfectionism
Perfeksionisme, yaitu penentuan harapan yang tinggi, telah dikenal
sebagai faktor resiko melakukan bunuh diri. Penentuan harapan yang tidak
realistis ini mengakibatkan self-criticism. Perfeksionisme dapat dibagi menjadi
tiga jenis, diantaranya self-oriented (menetapkan standar yang tidak realistis
untuk diri sendiri), other-oriented (menuntut kesempurnaan dari orang lain),
dan socially prescribed (mempercayai bahwa orang lain mengharapkan dirinya
sempurna). Dari ketiga jenis perfeksionisme ini, jenis socially prescribed dan
self-oriented berkaitan erat dengan kecenderungan bunuh diri.
Konsep diri
Markus (dalam Weiten & Lloyd, 2006) menyatakan bahwa konsep diri adalah
kumpulan kepercayaan seseorang mengenai dirinya. Konsep diri ini terbentuk dari
pengalaman masa lalu dan berhubungan dengan trait kepribadian, kemampuan,
karakteristik fisik, nilai, tujuan, dan peran sosial (Campbell, Assanand, &
DiPaula, dalam Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, Swann mengemukakan
bahwa orang yang mempunyai skema diri yang negatif selalu mencari informasi
yang mengkonfirmasi skema negatif tersebut(self-verification) (dalam Pervine,
Cervone, & John, 2005).
Salah satu fungsi konsep diri yaitu untuk menilai diri sendiri, atau yang
lebih sering disebut dengan harga diri (self-esteem). Harga diri merupakan penilaian
keseluruhan seseorang terhadap keberhargaan dirinya sebagai seorang manusia
(Weiten & Lloyd, 2006). Jika seseorang memandang dirinya secara positif
(konsep diri positif), maka dia akan memiliki harga diri yang tinggi, begitu juga
sebaliknya (Weiten & Lloyd, 2006). Di samping itu, pola asuh orang tua berperan
dalam pembentukan harga diri, dimana pola asuh authoritative diasosiasikan
dengan harga diri yang tinggi, dan pola asuh neglected diasosiasikan dengan
harga diri yang rendah (Furnham & Cheng, dalam Weiten & Lloyd, 2006).
Konsep diri yang negatif telah dibuktikan merupakan faktor resiko kecenderungan
bunuh diri tanpa variabel karakteristik kognitif lainnya.
Ruminative Response Style
Gaya berpikir merupakan faktor resiko terjadinya depresi, dan depresi merupakan
prediktor yang kuat dalam perilaku bunuh diri (Tanney, dalam Ellis & Rutherford,
2008). Ruminative response style adalah gaya berpikir yang secara terus menerus
berfokus pada mood negatif dan implikasinya. Gaya berpikir ini terdiri dari dua
bentuk, yaitu bentuk pasif (brooding) dan bentuk aktif (reflection) (Chan,
Miranda, & Surrence, 2009). Brooding merupakan sebuah perbandingan pasif
antara situasi sekarang dengan standar yang tidak tercapai, sedangkan reflection
merupakan gaya berpikir adaptif yang berfokus pada diri dan bertujuan untuk
menyelesaikan masalah dan mengurangi simtom depresi. Brooding dapat memprediksi
terjadinya pikiran bunuh diri dan depresi. Sedangkan, reflection hingga saat
ini masih diprediksikan sebagai faktor protektif untuk pikiran bunuh diri.
Autobiographical Memory
Autobiographical memory merupakan memori mengenai pengalaman yang pernah
dialami dalam kehidupan seseorang. Memori ini diasosiasikan dengan depresi,
posttraumatic stress disorder , dan bunuh diri. Pelaku percobaan bunuh diri
menunjukkan kesulitan dalam tugas mengingat autobiographical memory dan menghasilkan
autobiographical memory yang tidak jelas dan umum (William & Broadbent,
dalam Ellis & Rutherford, 2008). Memori ini berkaitan dengan bunuh diri
dalam 3 hal berikut: autobiographical memory yang terlalu umum menyebabkan
episode gangguan emosional yang menetap, merusak kemampuan menyelesaikan
masalah karena pengalaman masa lalu tidak dapat digunakan sebagai referensi
untuk strategi mengatasi masalah di masa depan, dan merusak kemampuan individu
untuk membayangkan masa depan secara spesifik. Hal tersebut dapat meningkatkan
tingkat hopelessness dan kecenderungan bunuh diri pada individu.