AGAMA, KEPERCAYAAN DAN ADAT ISTIADAT KABUPATEN CIANJUR
Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Kabupaten Cianjur
sangat beragam. Sebelum membahas mengenai agama dan kepercayaan yang terdapat
di daerah Kabupaten Cianjur, kiranya perlu diketahui latar belakang sejarah
keagamaan dan kepercayaan yang terdapat di Indonesia. Hal ini daikatakan S.
Takdir Alisyahbana (1975) bahwa, lama sebelum diproklamasikannya Negara
Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, penduduk Indonesia yang
disebut dengan masyarakat Nusantara purba telah menganal berbagai macam
kepercayaan. Pikiran mereka pada saat itu banyak diarahkan pada bagaimana
mereka akan mendapatkan bantuan dari roh-roh jahat. Untuk semuaa ini maka
dilakukan upacara-upacara, membuat sesajen dan sebagainya.
Pendapat tersebut sejalan dengan harun Hadiwijono (1989),
bahwa kedaan keagamaan dan kepercayaan nenek moyang bangsa Indonesia pada abad
XV sebelum masehi, mereka pada umumnya telah percaya pada hal-hal yang “suci”
seperti percaya terhadap adanya perkawinan suci antara Dewa Alam atas (langit,
matahari) dengan Dewi Alam bawah (bumi, bulan), dari hasil perkawinan tersebut
mereka yakin bahwa semua itu merupakan asal terjadinya dunia dengan segala
isinya, termasuk manusia.
Pernyataan tersebut memberikan gambaran bahwa pada
dasarnya masyarakat Indonesia pada umunya merupakan masyarakat yang religius.
Mereka sudah mempunyai kepercayaan yang dianut nenk moyangnya, sehingga kepercayaan
tersebut tidak segera hilang dengan lamanya putaran waktu dan pergantian masa
di samping datangnya agama Hindu, Budha, Islam, dan Kristen.
Akan tetapi praktek-praktek seperti itu masih terus
dijalankan atau dikerjakan dalam kehidupan masyarakat. Hal itu membuktikan
telah terjadi “sinkristisasi” antara kepercayaan asli nenek moyang bangsa
Indonesia dengan agama yang datang kemudian.
Oleh karena itu, hidup beragama dan berkepercayaan
adalah ciri khas masyarakat Indonesia pada umunya. Apalagi dengan diterimanya
rumusan Pancasila sebagai konsensus nasional, seperti satu Pancasila:
“Ketuhanan Yang maha Esa” mengaisyaratkan bahwa agama dan kepercayaan harus
tetap dijadikan unsur yang paling dominan dalam kepribadian bangsa dan
masyarakat Indonesia.
Kaitannya dengan pemeluk agama di Kabupaten Cianjur,
agama Islam merupakan agama terbesar jummlah pemeluknya, sementara pemeluk
agama Kristen, Hindu, Budha, dan Konghucu merupakan bagian kecil dari pemeluk
agama di daerah tersebut.
Jumah pemeluk agama Islam tercatat 1.379.606 orang, dan
sisanya penduduk yang beragama Katholik 3.743 orang, Protestan 2.391 orang,
Hindu 251 orang, Budha 2008 orang, dan Konghucu berjumlah 1.174 orang. Dari
jumlah pemeluk agama-agama tersebut tentunya diimbangi pula dengan sarana
pribadatan yang tersedia di Kabupaten Cianjur. Hal ini dibuktikan dengan
tersedianya 3.386 masjid, dan 1.126 mushola bagi pemeluk agama Islam. Selain
sarana peribadatan tersebut terdapat pula; tajug, yaitubangunan kecil yang
didirikan diatas kolam atau pinggiran sungai untuk melakukan salat atau tempat
beristirahat usai membajak tanah. Tajug tersebut ditemukan di wilayah Kabupaten
Cianjur terutama di daerah-daerah pedesaan yang mayoritas panduduknya bermata
pencaharian sebagai petani.
Adapun jumlah tempat ibadat agama Kristen, Hindu, Budha,
dan Konghucu di Kabupaten Cianjur, terdapat 22 buah Gereja, 2 buah Vihara, 2
buah Pura, dan 1 buah Klenteng. Tempat-tempat peribadatan tersebut pada umumnya
didirikan di lokasi-lokasi strategis yang mudah dijangkau oleh pemeluknya,
seperti disepanjang jalan raya dan pusat kota Kabupaten Cianjur dan sebagian
lagi terdapat di kota-kota kecamatan dan di perkampungan penduduk.
Kehidupan umat beragama bagi masyarakat Cianjur
dirasakan bertambah mantap. Hal itu didasari oleh kesadaran masing-masing
pemeluk agama untuk melaksanakan ibadahnya dengan tenang dan damai. Bagi umat
Islam umumnya, mereka taat menjalankan kewajiban-kewajiban agama seperti; salat
lima waktu, puasa, dan menunaikan ibadah haji ke tanah suci Mekah bagi mereka
yang mampu. Suasana kehidupan keagamaan tersebut dapat dilihat dalam berbagai
kegiatan yang tidak didominasi oleh orang tua, melainkan anak-anak dan generasi
muda, hal ini nampak pasda hari-hari biasa yang telah menjadi kegiatan rutin.
Keterpaduan
antara ulama dengan
pemerintah di dalam
pembinaan umat, telah berjalan dan
terlaksana. Seperti di
sediakannya majelis taklim,
pondok pesantren dan tempat-tempat beribadah
lainnya. Pengajian yang
diikuti ibu-ibu dan
bapak-bapak se-Kabupaten Cianjur,
biasanya dilaksanakan pada
ahri kamis dan
Minggu, dimulai pukul 08.00
sampai pukul 11,30,
baik yang bertempat
di pondok pesantren
Bojongherang Kecamatan Cianjur maupun di setiap kecamatan di wilayah
Kabupaten Cianjur.
Dalam membentuk masyarakat Kabupaten cianjur yang agamis
perlu adanya pembinaan dan penanganan secara intensif dan koordinatif agar
dapat meningkatkan amal ibadat serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan
menangkal kebudayaan luar yang bersifat negatif. Karena mengembangkan dan
mempertahankan nilai-nilai budaya yang positif akan menciptakan masyarakat yang
religius, seperti berusaha membendung arus kebudayaan dari luar yang
dilaksanakan, memberikan motivasi kepada masyarakat untuk berperan dalam
pembangunan melalui jalur keagamaan. Sehingga peran serta seluruh umat beragama
sebagai perwujudan hidup. Amal saleh dirasakan sebagai suatu kewajiban dari
agama yang dinutnya, menuju terciptanya masyarakat yang aman dan tentram lahir
dan batin.
Gambaran diatas menunjukan intensitas keagamaan di
kabupaten Cianjur boleh dikatakan taat menjalankan ajaran-ajaran yang mereka
anut, walaupun dalam prakteknya masih diawarnai oleh berbagai kepercayaan yang
bukan dari ajaran Islam. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Romdon (1973:1),
bahwa diluar agama-agama besar seperti Islam dan Kristen, dalam masyarakat
(pulau) Jawa masih hidup kepercayaan lain dan memang tidak termasuk agama.
Selanjutnya, masyarakat Kabupaten Cianjur yang mayoritas
beragama Islam, di dalam praktiknya masih juga mempunyai kepercayaan yang bukan
dari ajaran Islam. Kepercayaan tersebut bisa dilihat dari berbagai kehidupan,
terutama kepercayaan mengenai cerita “Kuda kosong”.
Alkisah, kuda Kosong adalah tunggangan salah seorang
putra Raden Djajasasana, pendiri dan bupati pertama Kabupaten Cianjur, yang
menikah dengan seorang Putri dari golongan jin. Dari pernikahan itu dikaruniai
seorang anak yang diberi nama Suryakencana. Karena ia dilahirkan dario
perkawinan dua alam yang berbeda atau gen yang berbeda, maka cenderung
mengikuti gen ibinya di alam gaib. Menurut kepercayaan penduduk, Eyang
Suryakencana ini sampai sekarang masih hidup dan “ngageugeuh” Klonon kabarbya
Eyang Suryakencana ini selalu turun ke kota Cianjur setiap tanggal 17 Agustus
dengan menunggangi seekor kuda tanpa penunggang dan beban, namun menamainya
“Kuda Kosong”. Untuk itu pula ia selalu memberitahu penduduk bila akan terjadi
sesuatu musibah yang melanda masayarakat Cianjur dengan memberi isyarat yang hanya
dapat dimengerti oleh orang-orang tertentu.
Di samping itu, masyarakat Cianjur percaya pada suatu
tempat yang dinamakan leuwi, yakni bagian yang paling dalam dari sebuah sungai
atau rawa yang didalamnya mencapai puluhan meter. Menurut kepercayaan leuwi ini
adalah daerah angker tempat mahkluk halus berdiam. Oleh karena itu, apabila
seseorang kebetulan melewati tempat tersebut, maka mereka harus ijin atau berkata
: “aya anu di dieu atawa anu nageugeuh di dieu ulah ganggu” (yang ada disini
atau mendiami tempat ini jangan mengganggu).
Kemudian apabila diantara penduduk yang percaya mau
mengadakan selamatan, biasanya menyuguhkan sesajen berupa; serutu (cerutu),
secangkir kopi pahit, nasi puith, telor, dan membakar kemenyan.
Selain itu masyarakat Cianjur mempercayai mahkluk-mahlkluk gaib lainnya
seperti:
- Lulun samak atau leled samak adalah semacam mahkluk yang hidup di air biasanya di sungai-sungai yang dalam dan airnya tenang. Menurut kepercayaan mesyarakat, mahkluk ini sering memangsa manusia yang mandi dengan menggulung atau melilit tubuh korban dan kemudian menghisap darahnya.
- Kelong, dipercaya sebagai mahluk gaib yang muncul pada sat menjelang matahari terbenam (sareupna). Kesukaannya adalah menculik anak0anak yang sedang bermain menjelang magrib dan oleh karena itu para orang tua menyarankan anak-anaknya untuk masuk kedalam rumah dengan berkata : awas sieun kelong (awas takut kelong).
- Jurig adalah semacam mahkluk halus yang mendiami tempat-tempat tertentu dan biasanya digambarkan pada seorang laki-laki yang menyeramkan, berbadan besar dan tinggi, bermata besar dan disekujur tubuhnya ditumbuhi bulu, biasanya menempati pohon-pohon besar dan batu-batu besar.
- Kunti adalah semacam mahkluk halus yang bisa menjelma, mahkluk ini biasanya digambarkan dengan seorang perempuan berparas cantik, berambut panjang hingga ke lutut namun tubuh dibagian belakang (punggung) berlubang dan biasa menempati tempat-tempat angker seperti pohon-pohon besar atau batu-batu besar tepian sungai. Menurut kepercayaan mahkluk ini sering muncul dan menggangu manusia, terutama ibu-ibu yang sedang ahmil atau melahirkan, dan mahkluk ini tergolong mahkluk jahat, karena kesukaannya mengambil ari-ari bayi yang baru lahir. Untuk mencegah dan menangkal gangguan mahkluk ini, ibu-ibu yang sedang hamil dan akan melahirkan dianjurkan untuk selalu membawa benda tajam, seperti pisau kecil dan bawang putih yang ditusuk dengan peniti pada baju dalamnya.
Selain
kepercayaan penduduk Kabupaten
Cianjur diatas, mereka
juga percaya dengan hal-hal yang
berhubungan dengan gejal-gejala alam, seperti ; lini (gempa bumi). Gempa bumi
menurut anggapan mereka
disebabkan oleh seekor
ikan yang disebut
ikan “nun” yang menggerakan badannya dikedalaman laut ; layung
(lembayung) adalah kedaan langit pada
saat menjelang magrib
(sareupna) berwarna merah.
Menurut kepercayaan penduduk Cianjur
lembayung ini merupakan
wabah penyakit bagi
anak-anak balita, oleh
karena itu ibu-ibu
yang mempunyai anak
balita harus segera
masuk kedalam rumah, tidak boleh bermain-main di luar rumah.
Kepercayaan penduduk Cianjur lainnya mereka percaya juga
dengan hal-hal yang berhubungan binatang, misalnya; bebence yaknio sejenis
buirung pipit, yang keluar pada malam hari. Mereka percaya, pabila burung itu
bersuara di suatu temapat, maka disana sedang ada pencuri atau maling. Asal
mula kejadian itu bermula pada saat burung itu menetaskan telurnya, kebetulan
telur itu terinjak oleh pencuri sehingga burung itu bersumpah akan selalu
memberitahu penduduk yang rumahnya dimasuki pencuri; Siritinkuncuing adalah
jenis burung yang besarnya hampir sama dengan burung pipit. Apabila burung itu
bersuara, diyakini oleh masyarakat bahwa dikampung itu akan ada yang meninggal
dunia; oray (ular) bagi masyarakat Cianjur dipercaya sebagai pertanda kesialan.
Misalnya apabila mereka akan pergi berusaha, kemudian di depan mereka lewat seekor
ular, maka usahanya itu tidak akan berhasil. Kepercayaan lain mengenai ular, adalah
ketika pergi ke hutan menemukan atau melihat ular maka jangan menyebutnya dengan
ular melainkan harus diganti dengan sebutan lain yang sama melatanya seperti belut.
Karena kalau disebut namanya ular tersebut akan memanggil teman-temannya untuk
menggigit dan memangsa manusia. Selain itu seorang gadis atau lajang bermimpi dipatuk
ular, maka menurut kepercayaan mereka gadis atau lajang tersebut akan segera mendapat
jodoh.
Nama hari, nama bulan, dan nama orang diyakini sebagaian
masyarakat Cianjur masih berhubungan dengan nasib manusia. Maka tidak
berlebihan apabila mereka dikatakan sebagai masyarakat religius, terbukti dalam
kehidupan sehari-hari mereka terikat oleh aturan-aturan atau norma-norma yang
digariskan oleh kepercayaan mereka, walaupun aturan-aturan tersebut disampaikan
secara lisan dari generasi ke generasi.
Perilaku kepercayaan dan adat istiadat tersebut
mengandung motif supaya mahkluk gaib tidak menggangu manusia, tetapi sebaliknya
akan memberikan perlindungan dan keselamatan. Dalam kepercayaan mereka meksud
tersebut akan tercapai apabila kita melakukan suatu profesi ritual atau upacara
dengan menyuguhkan sesajen atau sajian berupa makanan dan minuman sebagai
simbol-simbol atau perlambang yang ada hakikatnya menggambarkan prinsip hidup
mereka, yaitu menyatu dengan alam.