BAHASA DAN SENI TRADISIONAL KABUPATEN CIANJUR

Bahasa dan seni Tradisional Kabupaten Cianjur sangat kaya. Bahasa Sunda merupakan bahasa yang dijadikan alat untuk berkomunikasi antara masyarakat Kabupaten Cianjur, sedangkan Bahasa Indonesia dipakai pada saat-saat tertentu sebagai bahasa pengantar dilingkungan sekolah, perkantoran, dan acara-acara resmi lainnya. Mas Nipul Marhum (ed.)(1991) menyebutkan bahwa Bahasa Sunda yang terdapat di Kabupaten Cianjur bila dihubungkan dengan kehalusan dan kemurniannya, merupakan Bahasa Sunda terhalus jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain yang terdapat di Pasundan.
Masyarakat  Kabupaten  Cianjur  dalam  berbahasa  mengenal  tingkatan-tingkatan  (undak  usuk  basa)  atau  dalam  bahasa  jawa  disebut  kromo  inggil,  yakni bahasa lemes “halus” sedang dan kasar. Penggunaan ketiga tingkatan tersebut antara lain bahasa halus dipakai untuk berbicara dengan orang tua, orang yang lebih tua dari kita, dan kepada orang yang dihormati. Bahasa Sunda sedang dipakai unutk berkomunikasi  dengan  orang  yang  sepadan  baik  usia  maupun  status  sosialnya sedangkan  bahasa  Sunda  kasar  biasanyaa  digunakan  oleh  atasan  kepada bawahannya atau digunakan menak baheula “bangsawan dulu” kepada cacah.
Mengenai seni tradisional yang terdapat di Kabupaten Cianjur samapai sekarang masih dilestarikan keberadaannya seperti; tembang cianjuran, ketuk tilu jaipongan, kecapian, pencak silat, angklung buncis, calung, seni gondang, seni dulag, dan seni wayang golek. Seni tembang cianjuran yang merupakan gaya tembang khas daerah Cianjur dengan pengiring kecapi dan suling bertempo bebas dengan syair berpola pupuh. Cinjuran ini muncul atas prakarsa dalam Pancaniti, bupati Cianjur, yang diteruskan oleh putranya R. Alibasah. Pada masa ini, penyebaran tembang Cianjuran makin meluas, dean tembang-tembangnya sangat digemari oleh kaum muda pada jamannya karena bersifat romantis.
Sistem Kekerabatan Sistem kekerabatan orang Sunda pada umumnya dan masyarakat Cianjur pada khususnya, dipengaruhi oleh keyakinan beragama dan adat istiadat secara turun temurun, hal ini tercermin dari ungkapan yang menyebutkan bahwa “ulah munjung ka gunung ulah muja ka sagara, tapi kudu munjung ka indung jeung muja ka bapa”. Ungkapan tersebut mencerminkan eratnya kekerabatan, di samping wajib patuhnya seorang anak kepada kedua orang tuanya, masyarakat Sunda menyebut kekerabatan tersebut dengan “bondoroyot” terutama sebutan dalam kerabat keluarga batih.
Mengenai prinsip garis keturunan, sistem kekerabatan orang Sunda menunjukan ciri-ciri bilateral dan generasional. Bila dilihat dari egonya, orang sunda mengenal istilah-istilah tujuh generasi ke atas dan tujuh generasi ke bawah, dalam bahasa Sunda disebut dengan tujuh paturunan, seperti:
No
Ke atas
Ke bawah
1
Kolot
Anak
2
Embah
Incu
3
Buyut
Buyut
4
Bao
Bao
5
Janggawareng
Janggawareng
6
Udeg-udeg
Udeg-udeg
7
Kakait Siwur
Kakit Siwur


Dari ke tujuh generasi di atas yang masih ada hubungan fungsional adalah tiga generasi ke atas dan tiga generasi ke bawah. Yang dimaksud tiga generasi ke atas adalah kolot “bapak” e:kakek, dan buyut “eyang”. Begitu pula dengan tiga generasi ke bawah adalah anak, incu “cucu”, buyut “cicit”. Kemudian dari empat generasi ke atas hanya terdapat dalam sebutan saja karena biasanya telah tiada atau meninggal, sementara untuk empat generasi ke bawah biasanya tidak terdapat karena belum terlahir dan kalau pun ada jarang sekali ditemukan. 

Artikel Terkait :