KEMAMPUAN KERJASAMA ANAK USIA DINI
Kemampuan Kerjasama Anak Usia Dini sangat penting. Menurut
Plato (dalam Nugraha, dkk 2008) secara potensial (fitrah) manusia dilahirkan
sebagai makhluk sosial (zoon politicon). Syamsudin (dalam Nugraha, dkk 2008)
mengemukakan bahwa “sosialisasi adalah proses belajar untuk menjadi makhluk
sosial”, sedangkan menurut Loree (dalam Nugraha, dkk 2008) “sosialisasi merupakan
suatu proses di mana individu (terutama) anak melatih kepekaan dirinya terhadap
rangsangan-rangsangan sosial terutama tekanan-tekanan dan tuntutan kehidupan (kelompoknya)
serta bergaul dengan bertingkah laku, seperti orang lain di dalam lingkungan
sosialnya”.
Muhibin (dalam Nugraha, dkk 2008) mengatakan bahwa
perkembangan sosial merupakan proses pembentukan social self (pribadi dalam
masyarakat), yakni pribadi dalam keluarga, budaya, bangsa, dan seterusnya.
Adapun Hurlock (dalam Nugraha, dkk 2008:1.18) mengutarakan bahwa perkembangan
sosial merupakan perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan
sosial. “Sosialisasi adalah kemampuan bertingkah laku sesuai dengan norma,
nilai atau harapan sosial”.
Untuk menjadi individu yang mampu bermasyarakat diperlukan tiga proses sosialisasi.
Proses sosialisasi ini tampaknya terpisah, tetapi sebenarnya saling berhubungan
satu sama lainnya, sebagaimana yang dikemukakan oleh Hurlock (dalam Nugraha,
dkk 2008), yaitu sebagai berikut:
- Belajar untuk bertingkah laku dengan cara yang dapat diterima masyarakat.
- Belajar memainkan peran sosial yang ada di masyarakat.
- Mengembangkan sikap/tingkah laku sosial terhadap individu lain dan aktivitas sosial yang ada di masyarakat.
Pada perkembangannya, berdasarkan ketiga tahap proses
sosial ini, individu akan terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu kelompok
individu sosial dan individu nonsosial. Kelompok individu sosial adalah mereka
yang tingkah lakunya mencerminkan ketiga proses sosialisasi. Mereka mampu untuk
mengikuti kelompok yang diinginkan dan diterima sebagai anggota kelompok.
Adakalanya mereka selau mengiginkan adanya orang lain
dan merasa kesepian apabila berada seorang diri. Selain itu mereka juga merasa
puas dan bahagia jika selalu berada dengan orang lain. Adapun kelompok individu nonsosial, mereka adalah orang-orang
yang tidak berhasil mencerminkan ketiga proses sosialisasi. Mereka adalah individu
yang tidak tahu apa yang diharapkan kelompok sosial sehingga tingkah laku mereka
tidak sesuaidengan harapan sosial. Kadang-kadang mereka tumbuh menjadi individu
antisocial, yaitu individu yang mengetahui harapan kelompok sosial, tetapi dengan sengaja
melawan hal tersebut. Akibatnya individu
antisocial ini ditolak atau dikucilkan oleh kelompok sosial.
Melalui pergaulan atau hubungan sosial, baik dengan
orangtua, anggota keluarga, orang dewasa lainnya maupun teman bermainnya, anak
mulai mengembangkan bentuk-bentuk tingkah laku sosial itu adalah sebagai
berikut:
Pembangkang (Negativitisme)
Pembangkang (Negativitisme), yaitu suatu bentuk tingkah laku melawan. Tingkah
laku ini terjadi sebagai reaksi terhadap penerapan disiplin atau tuntutan orangtua
atau lingkungan yang tidak sesuai dengan kehendak anak. Tingkah laku ini mulai
muncul pada kira-kira usia 18 bulan dan mencapai puncaknya pada usia tiga tahun.
Berkembangnya tingka laku negativisme pada usia ini dipandang sebagai hal yang
wajar. Setelah usia empat tahun, biasanya tingkah laku ini mulai menurun.
Antara usia empat tahun dan enam tahun, sikap membangkang atau melawan
secara fisik beralih menjadi sikap melawan secara verbal (menggunakan kata-kata).
Sikap orangtua terhadap tingkah laku melawan pada usia ini, seyogianya tidak memandangnya
sebagai pertanda bahwa anak itu nakal,
keras kepala, tolol atau sebutan lainnya yang negatif. Dalam hal ini, sebaiknya
orangtua mau memahami tentang proses perkembangan anak., yaitu bahwa secara
naluriah anak itu mampunyai dorongan untuk berkembang dari posisi “dependent”
(ketergantungan) ke posisi
“independent” (bersikap mandiri).
Tingkah laku melawan merupakan salah satu bentuk dari proses perkembangan tersebut.
Agresi (aggression)
Agresi (aggression), yaitu perilaku menyerang balik secara fisik
(nonverbal) maupun kata-kata verbal
(verbal). Agresi ini merupakan
salah satu bentuk reaksi terhadap frustasi (rasa kecewa karena tidak terpenuhi
kebutuhan atau keinginannya) yang dialaminya. Agresi ini mewujud dalam perilaku
menyerang, seperti: memukul, mencubit, menendang, menggigit, marah-marah, dan
mencaci maki. Orangtua yang menghukum anak yang agresif, menyebabkan meningkatnya agresifitas anak. Oleh karena
itu, sebaiknya orangtua beruasaha untuk mereduksi, mengurangi agresivitas anak
tersebut dengan cara mengalihkan perhatian/keinginan anak, memberikan mainan
atau sesuatu yang diinginkannya (sepanjang tidak membahayakan keselamatannya),
atau upaya lain yang bisa meredam agresivitas anak tersebut.
Berselisih atau bertengkar (quarreling)
Berselisih atau bertengkar (quarreling), terjadi apabila seorang anak
merasa tersinggung atau terganggu oleh sikap dan perilaku anak anak lain,
seperti dinganggu pada saat mengerjakan sesuatu atau direbut barang atau
mainannya.
Menggoda (teasing)
Menggoda (teasing), yaitu sebagai
bentuk lain dari tingkah laku agresif. Menggoda merupakan serangan mental
terhadap orang alin dalam bentuk verbal (kata-kata ejekan atau cemoohan), sehingga
menimbulkan reaksi marah pada orang yang diserangnya.
Persaingan (rivalry)
Persaingan (rivalry), yaitu keinginan untuk melebihi orang lain dan
selalu didorong (distimulasi) oleh oaring lain. Sikap persaingan ini mulai
terlihat pada usia empat tahun, yaitu persaingan untuk prestise dan pada usia
enam tahun, semangat bersaing ini berkaembang dengan lebih baik.
Kerjasama (cooperation)
Kerjasama (cooperation), yaitu sikap mau bekerja sama dengan kelompok.
Anak yang berusia dua atau tiga tahun belum berkembang sikap kerjasamanya, mereka
masih kuat sikap “self-centered”-nya. Mulai usia tiga tahun akhir atau empat
tahun, anak sudah mulai menampakkan sikap kerja samanya denagn anak lain. Pada
usia enam atau tujuh tahun, sikap kerja sama
ini sudah berkembang dengan lebih baik lagi. Pada usia ini anak mau
bekerja kelompok dengan teman-temannya.
Tingkah laku berkuasa (ascendant
behavior)
Tingkah laku berkuasa (ascendant
behavior), yaitu sejenis tingkah laku
untuk menguasai situasi sosial, mendominasi atau bersikap “bossiness”. Wujud
dari tingkah laku ini, seperti: meminta, menyuruh, dan mengancam atau memaksa
orang lain untuk memenuhi kebutuhan dirinya.
Mementingkan diri sendiri
(selfishness)
Mementingkan diri sendiri (selfishness),
yaitu sikap egosentris dalam memenuhi interest atau keinginsnnys. Anak
ingin selalu dipenuhi keinginannya dan
apabila ditolak, maka dia protes dengan menangis, menjerit atau marah-marah.
Simpati (sympathy)
Simpati (sympathy), yaitu sikap emosional yang mendorong individu untuk
menaruh perhatian terhadap orang lain, mau mendekati atau bekerja sama
dengannya. Seiring dengan bertambahnya usia, anak mulai dapat mengurangi
sikap “selfish”-nya dan dia mulai
mengembangkan sikap sosialnya, dalam hal ini rasa simpati terhadap orang lain.
Menurut Syamsu Yusuf (2007) mengemukakan perkembangan sosial merupakan
pencapaian kematangan dalam hubungan sosial. Dapat juga diartikan sebagai proses
belajar untuk menyesuaikan diri terhadap norma-norma kelompok. Moral, dan tradisi;
meleburkan diri menjadi suatu kesatuan
dan saling berkomunikasi dan bekerjasama.
Dalam perkembangan sosial salah satu aspek yang dikembangkan adalah adalah kerjasama.
Kerjasama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai makhluk sosial. Semakin
modern seseorang maka ia akan semakin
banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang
dan waktu tentunya dengan perangkat yang modern pula.
Adapun aspek-aspek dalam kerjasama adalah:
- Membiasakan anak bergaul/berteman dengan teman sebaya dalam melakukan tugas.
- Membiasakan anak untuk menghargai pendapat atau kemampuan orang lain.
- Menyadari bahwa kerjasama atau tolong menolong itu sangat penting dan menyenangkan.
- Mengembangkan rasa empati pada diri anak. (Pusat Pendidikan AUD Lembaga Penelitian UNY, 2009)
Kerjasama atau kooperatif adalah gejala saling mendekati
untuk mengurus kepentingan bersama dan tujuan yang sama. Kerjasama dan
pertentangan merupakan dua sifat yang dapat dijumpai dalam seluruh proses
sosial/masyarakat, diantara seseorang dengan orang lain, kelompok dengan
kelompok, dan kelompok dengan seseorang (Saputra dkk, 2005).
Hubungan kerjasama bermakna bagi diri/kelompok sosial
sendiri maupun bagi orang atau kelompok yang diajak kerjasama. Makna timbal
balik ini harus diusahakan dan dicapai, sehingga harapan-harapan motivasi,
sikap dan lainnya yang ada pada diri atau kelompok dapat diketahui oleh
orang atau kelompok lain. Insan/kelompok
sosial untuk selalu berinteraksi dengan orang lain atau kelompok lain. Hubungan
dengan pihak lain yang dilaksanakan dalam suatu
hubungan yang bermakna adalah hubungan kerjasama.
Menurut Johnson, dkk (dalam Saputra 2005) bahwa
pembelajran kerjasama dapat didefinisikan sebagai sitem kerja atau belajar
kelompok yang terstruktur termasuk di dalam struktur adalah lima unsur pokok yaitu saling ketergantungan positif tanggung jawab
individual, interaksi personal, keahlian
bekerja sama, dan proses kelompok.