SEJARAH KABUPATEN CIANJUR
Sejarah Kabupaten Cianjur tidak bisa dijlepaskan dari perkembangan Islam.
Kabupaten Cianjur merupakan daerah yang memiliki nilai sejarah yang cukup akurat
jika dibandingkan dengan daerah lain di Propinasi Jawa Barat. Hal ini terbukti
dari peningalan-peninggalan para leluhurnya, baik yang berupa naskah maupun
patilasan . Tahun1933 sebagai tahun yang memiliki nilai sejarah yang
monumental, sebab pada tahun ini, merupakan tahun awal peringatan sebagai kota
Kabupaten. Hari jadi Kabupaten Cianjur ini sangat penting artinya bagi
masyarakat Cianjur karena merupakan legalitas sebagai awal berdirinya wilayah
pemerintahan dan sekaligus menjadikan tonggak perjuangan para pendiri
pemerintahan sampai saat ini.
Pendirian kabupaten ini, berangkat dari sejarah yang mengungkapkan bahwa
pada pertengahan abad ke-17 Masehi telah terjadi perpindahan sejumlah rakyat
dari wilayah Sagaraherang yang mencari tempat baru di sepanjang sungai untuk
bertani dan pemukim. Daerah baru yang didirikannya itu diberi nama sesuai
dengan nama sungai tempat pemukiman itu berada. Mereka adalah orang-orang yang
mengabdi kepada raden Djajasasana Aria Wira Tanu. Raden Djajasasana Aria Tanu
adalah putra Aria Wangsa Goparana dari Saraherang yang berasal dari talaga,
yakni keturunan para Sunan Talaga dan merupkan keturunan ke-7 dari Prabu
Siliwangi. Menurut cerita Raden Aria Wangsa Goparna terpaksa meninggalkan
Talaga karena memeluk agama Islam, sedang para Sunan Talaga ketika itu masih
tetap memeluk agama Hindu. Kemudian Raden aria Wangsa Goparna, mendirikan
negeri di Sagaraherangyang diikuti oleh abdinya, di daerah tersebut beliau
menyebarkan agama Islam.
Daerah Cikundul merupakan wilayah yang dikuasai oleh Raden Djajasasana
Aria Wira Tanu, dan daerah ini sekaligus menjadi ibu nagari yang notabene
merupakan wilayah pemukiman rakyat Djajasasana. Tempat ini kemudian disebut
Cianjur. Pada tahun 1625, daerah pemukiman rakyat Djajasasana ini pernah
dihitung oleh Puspawangsa (KI Puspa dan Ki Wangsa) dan ternyata berjumlah 300
umpi atau lebih kurang 1.100 orang. Di antaranya 200 orang bekerja dibawah
kekuasaan Mataram pimpinan Raden Djajasasana menjaga perbatasan bagian barat.
Pada masa penjajahan VOC, daerah yang terletak di Bagian barat sungai
Citarum dapat dipergunakan sesukanya oleh VOC berdasarkan perjanjian lisan
antara Mataram dan VOC pada tahun 1677. kemudian pada tahun yang sama Mataram
meminta bantuan VOC sehubungan timbulnya pemberontakan Trunajaya dan sebagai
imbalannya pada tanggal 25 Februari 1677 diadakan kontrak yang isinya
menyatakan bahwa daerah di sebelah barat sungai Citarum diserahkan kepada VOC.
Selanjutnya pada tanggal 19 dan 20 Oktober 1677 diadakan lagi kontrak yang
isinya menyatakan bahwa daerah yang telah diserahkan ditambah lagi dengan
daerah antara sungai Citarum dan daerah Cipunagara.
Karena pengaruh kekuasaan Mataram semakin menurun, maka peda akhir tahun
1677 kekuasaan Mataram atas daerah tersebut hilang, dan secara de facto daerah
pemukiman rakyat Raden Djayalaksana Aria Wira Tanu merdeka.
Rakyat di bawah kepemimpinan Raden Djayalaksana Aria Tanu semakin hari bertambah
pada akhirnya cukup untuk membentuk suatu padeleman atau kabupatian. Oleh
karena itu, tidak mengherankan bila VOC pada tahun 1680 menyebut Raden Wira
Tanu sebagai ragent dan daerah yang disebut Cianjur sebagai regentchap-nya.
Dengan demikian secara de facto pada tahun 1677 Cianjur merdeka sebagai daerah
kabupaten, yang dipimpin oleh seorang regen atau bupati, dan pada tahun 1684
pemerintahan Belanda baru mengakui legalitas Kabupaten Cianjur.