SOLUSI UNTUK MENGURANGI INFERIORITAS
Ada beberapa Solusi Untuk Mengurangi Inferioritas. Adakah
orang yang tidak punya inferioritas sama sekali? Kalau yang kita pakai rujukan
adalah kehidupan manusia, tentunya hampir bisa dikatakan tidak ada. Semua manusia
memiliki perasaan demikian. Bedanya, ada yang stadiumnya rendah, menengah dan
tinggi. Ada yang general dan ada yang spesifik, ada yang primer dan ada yang
sekunder, ada yang personal dan ada yang sosial (kultural).
Karena itu, tugas kita sebetulnya bukanlah
menghilangkannya dari diri kita (karena ini tidak mungkin). Tugas kita adalah
mengurangi atau melawan dan menggunakannya untuk kebaikan. Kalau melihat ajaran
agama, tidak ada perintah yang tegas agar kita menjadi orang yang pemberani
setegas perintah agar kita menjadi orang yang tidak takut. Kalimatnya adalah:
jangan takut dan jangan sedih.
Tidak takut berbeda dengan pemberani. Tidak takut itu
sudah melalui proses kesadaran dan perlawanan. Sedangkan pemberani, belum
tentu. Bahkan jika keberanian itu mengarah ke agresivitas dan impulsivitas,
keberanian yang seperti ini justru timbul dari ketakutan atau keminderan. Mark
Twain sendiri mengatakan bahwa keberanian itu adalah kemampuan anda dalam
menguasai rasa takut, bukan menghilangkan rasa takut. Berikut beberapa solusi
untuk mengurangi dan melawan inferioritas:
Pertama, mendeteksi dan menerima.
Dari sekian bentuk keminderan itu, manakah yang paling dekat dengan kita,
manakah yang benar-benar kita rasakan dampak buruknya, manakah yang benar-benar
kita merasa terhambat? Proses deteksi ini bisa kita lakukan sendiri dan bisa melalui
bantuan orang lain. Orang lain ini bisa personal dan bisa institusi (lembaga).
Bahkan sekarang ini sudah banyak lembaga yang menawarkan jasa melalui internet.
Setelah kita berhasil mendeteksi, barulah kita menyusun persiapan mental untuk
menerimanya. Sejauh kita belum bisa menerima, kita akan masih kesulitan untuk
menguasainya, melawannya, atau memperbaikinya. Mana mungkin kita akan
memperbaiki sesuatu yang tidak kita temukan kesalahannya atau kekurangannya.
Menerima adalah syarat untuk bisa memperbaiki. Jadi, menerima di sini bukan
tujuan akhir, melainkan proses untuk bisa memperbaiki.
Kedua, mulai memperbaiki image diri,
potret diri, atau konsepsi diri. Ini semua adalah serangkaian opini, perasaan
dan keyakinan tertentu yang kita ciptakan untuk diri kita. Artinya, kita perlu
mengecek seperti apa kita mempersepsikan diri sendiri atau menilai diri
sendiri. Orang yang menilai dirinya belum pantas berhasil di bidang tertentu
dengan standar tertentu akan melakukan sesuatu berdasarkan penilaiannya itu. Orang
yang belum mengalahkan ketakutannya untuk menjadi pengusaha (misalnya begitu),
karena merasa belum pantas atau lainnya, tidak mungkin akan mengambil keputusan
untuk menjadi pengusaha. Sama juga seperti orang yang mau menikah. Orang yang
menilai dirinya belum memiliki alasan yang kuat dan tepat untuk menikah, sangat
sulit untuk mengambil keputusan menikah. Susah atau mudah, memperbaiki self
image ini penting. Kegagalan lembaga pendidikan formal dalam mencetak SDM
(Sumber Daya Manusia) yang handal adalah terkait juga dengan kurikulumnya.
Kurikulum sekolah sebaiknya didesain dengan menekankan empat unsur di
bawah ini:
- Perbaikan citra diri dan perkembangan pribadi.
- Pelatihan keterampilan hidup.
- Belajar tentang cara belajar dan cara berpikir.
- Pembekalan kemampuan akademik, fisik, dan artistik yang spesifik.
Ketiga, lawanlah ketakutan itu
dengan kesadaran (full consciousness). Jangan melawan ketakutan untuk berbicara
di depan orang lain dengan berbicara seenaknya, lepas kontrol atau berbicara
sembarangan. Jangan melawan ketakutan untuk berkreasi atau berusaha dengan
langsung mengundurkan diri dari pekerjaan sekarang tanpa perhitungan atau
dengan melanggar tatanan organisasi. Jangan melawan ketakutan pada pasangan
(suami-istri) dengan perlawanan yang arogan dan agresif. Jangan melawan
ketakutan untuk maju dengan memunculkan ambisi dan kerakusan yang berlebihan.
Ini semua seringkali malah mengantarkan kita pada keminderan dan ketakutan
dalam bentuk yang lain. Jadi bagaimana melawan ketakutan dengan kesadaran itu?
Kesadaran di sini maksudnya adalah: kita tahu akan kapasitas kita (berdasarkan
ukuran pengetahuan dan pengalaman) dan kita pun tahu bahwa yang menjadi
hambatan buat kita adalah munculnya ketakutan dan keminderan itu. Melawan
ketakutan dengan kesadaran bukanlah melawan ketakutan kita terhadap orang lain
atau berani melawan orang lain, tetapi lebih pada melawan ketakutan kita sendiri.
Keempat, temukan orang lain yang
bisa membantu, temukan orang lain yang bisa kita jadikan contoh, temukan orang
lain yang mengajak kita untuk melawan ketakutan itu, temukan orang lain yang
bisa memperkuat keyakinan kita, temukan orang lain yang bisa mengajari kita.
Orang lain yang kira-kira bisa memainkan peranan seperti ini tentunya ada,
meskipun perlu kita cari. Tapi, selain perlu menemukan orang lain itu, yang
penting di sini juga kesediaan kita untuk diajari, dibimbing, diberi masukan,
diarahkan, mencontoh, mengambil pelajaran, membuka diri, dan lain-lain. Tidak
semua perbaikan diri itu bisa kita lakukan tanpa orang lain.
Kelima, refresh pemahaman keimanan.
Untuk ketakutan dan keminderan yang punya efek ke hal-hal vital dalam hidup
kita, misalnya takut menghadapi realitas, takut mengambil keputusan penting,
dll. maka me-refresh pemahaman keimanan menjadi penting. Selama ini kita hanya
puas menerima pemahaman keimanan dari kulitnya padahal isinya pun sudah kita
ketahui, karena itulah perlu adanya refresh. Kulitnya keimanan adalah menerima
kebenaran dengan lisan, hati dan tindakan. Tindakan pun kita batasi hanya pada
beberapa prilaku yang diatur oleh agama (institusional). Isinya adalah
melakukan hal-hal yang benar berdasarkan kebenaran yang kita yakini sampai kita
tidak takut dan tidak bersedih oleh berbagai risiko sementara (misalnya gagal,
sulit, rugi, dll.). Jadi misalnya kita takut untuk menjadi pengusaha padahal
(menurut anda) semua resource dan kapasitas sudah kita miliki. Kita sudah
melakukan hal-hal yang benar (kerja keras, membangun network, kreatif, tidak
mencuri, tidak melakukan tindakan KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme), tidak
memakai keuntungan untuk berfoya-foya dalam dosa), maka ketakutan seperti ini
perlu dikalahkan oleh keimanan esensial itu sampai muncul sebuah kesimpulan bahwa
semua yang kita lakukan itu pasti akan mendapatkan balasannya. Kepastian batin
ini biasanya dihasilkan dari refreshment yang kita lakukan.