Perbandingan produktifitas ulat Sutra dari dua tempat pembibitan yang berbeda pada kondisi lingkungan pemeliharaan panas

Abstrak: Ulat  sutra  dapat  tumbuh  optimal  pada  suhu  lingkungan  23-25  ÂșC  dan  kelembaban 80-90  %.    Apabila  dipelihara  dalam  lingkungan  bersuhu  lebih  panas  maka  produktivitas  akan menurun karena ulat sutera adalah hewan berdarah dingin (poikilotherm).  Di Indonesia terdapat dua  tempat  pembibitan  ulat  sutra  terbesar,  yaitu  PSA  Soppeng  (Sulawesi  Selatan)  dan  PSA Temanggung  (Jawa  Tengah).    Kedua  tempat  pembibitan  dalam  menghasilkan  bibit  yang disebarkan  ke  masyarakat  menggunakan  persilangan  dari  bibit  strain  yang  sama,  yaitu  strain China dan strain Jepang.  Namun tidak diketahui pasti persentase darah dari kedua strain tersebut pada masing-masing tempat pembibitan.  Dalam penelitian ini digunakan 300 ekor ulat sutra dari PSA  Soppeng  (P1)  dan  300  ekor  ulat  sutra  PSA  Temanggung  (P2)  yang  dipelihara  di  desa Ceweng  ,  kecamatan  Diwek,  kabupaten    Jombang.   Ulat-ulat  tersebut  dipelihara  dalam  enam kotak  pemeliharaan  yang  terbuat  dari  karton,  diberi  pakan  daun  murbei  dari  varietas  yang bercampur.   Parameter  yang  diamati  aadalah produksi  kokon  total,  produksi  kokon  normal    dan panjang  serat  kokon.  Data  yang  diperoleh  dianalisis  dengan  uji  t.   Berdasarkan  hasil  analisis statistik  diketahui  bahwa  tidak  ada  perbedaan    (p>0,05)  kemampuan  produksi  kokon  total  dan produksi  kokon  normal  dari  dua  tempat  pembibitan.   Rataan  produksi  kokon  total  dan  produksi kokon  normal  dalam  penelitian  ini  masing-masing  adalah  berkisar  dari  87,3  %  hingga  89,7  %  dan dari 95,2 % hingga 96,4 %. Namun tidak demikian halnya untuk panjang serat kokon.  Pada lingkungan pemeliharaan panas ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng menghasilkan panjang serat kokon yang lebih baik (p<0,01) dari pada PSA Temanggung.  Rataan panjang filamen yang dihasilkan oleh ulat sutra yang berasal dari PSA Soppeng adalah 910,9 ± 10,1m, sedangkan dari PSA  Temanggung  824,9  ±  21,5  m.    Kemungkinan  penyebabnya  adalah  perbedaan  kemampuan daya  tahan  terhadap  kondisi  lingkungan  dengan  suhu  tinggi  dan  kelembaban  rendah  dan perbedaan  kemampuan  kelenjar  sutra  dalam  menghasilkan  benang.   Ulat  sutra  yang  lebih  tahan terhadap kondisi lingkungan dengan suhu tinggi dan kelembaban rendah akan berproduksi lebih baik.   Kesimpulannya  adalah  bahwa  ulat  sutra  dari  PSA  Soppeng  mempunyai  daya  tahan  yang lebih  baik  terhadap  kondisi  lingkungan  panas  dari  pada  PSA  Temanggung  karena  produksi filamen atau serat sutranya lebih baik.
Kata kunci: ulat sutera, lingkungan panas, produktivitas
Penulis: Ita Wahju Nursita
Kode Jurnal: jppeternakandd110020

Artikel Terkait :