Bundo Kanduang: (hanya) Pemimpin di Rumah (Gadang)
Abstrak: Minangkabau adalah
kelompok etnik yang dikenal sangat kuat menerapkan adat matrilineal. Salah satu
nilai-nilai adat matrilineal tersebut adalah posisi laki-laki (sumando) yang
dianggap marginal, karena laki-laki adalah urang asing bagi kelompok perempuan
(keluarga istri). Ini ditunjukkan dalam pepatah adatnya bak abu diateh tunggu
(seperti abu di atas tunggul). Posisi ini tentu saja tidak menguntungkan,
sehingga laki-laki perlu bernegosiasi dengan perempuan dalam menguatkan
identitas kelaki-laki-an nya. Ini menunjukkan adanya gerakan politik kaum
laki-laki Minangkabau dalam upaya menunjukkan dan menguatkan identitas mereka.Politik
identitas laki-laki Minangkabau ini akan dipahami melalui kasus keberadaan
lembaga tradisional (lembaga adat). Asumsinya dalam masyarakat Minangkabau yang
lebih menguatkan adat matrilineal (adat perempuan), ditemukan bahwa lembaga
adat lebih didominasi oleh laki-laki.
Sementara lembaga adat
perempuan justru tidak
begitu ditonjolkan, bahkan
terkesan disembunyikan dan tidak ada variasinya kecuali sebutan bundo
kanduang.Artikel ini menggambarkan bagaimana laki-laki Minangkabau melalui
lembaga tradisional (lembaga adat) mencoba menguatkan posisinya, sementara
posisi bundo kanduang hanya dipahami sebatas rumah gadang saja. Bahkan Bundo
Kanduang dipahami tidak memiliki kekuasaan, karena ia hanya sebagai istri
penghulu (pemimpin klan).
Penulis: Zainal Arifin
Kode Jurnal: jpantropologidd130046