ROKAT BHUJU’ VIS-À-VIS KOMPOLAN (Metamorfosis Elit Madura Pasca Keruntuhan Orde Baru)
Abstrak: Tulisan ini berpijak
pada asumsi bahwa perubahan sosial tidak selalu diiringi dengan perubahan pemimpin.
Pada komunitas yang telah mapan, perubahan pemimpin bukan merupakan hal yang utama
dalam relasi sosial, terutama dalam tradisi masyarakat pedesaan di Madura,
seperti fenomena relasi sosial antar elit bhuju’ Juruan di Batuputih Sumenep.
Yang menarik dalam tradisi bhuju’ Juruan adalah rokat bhuju’. Sebuah tradisi
yang berkenaan dengan aktivitas seni, hiburan, dan sosial-“keagamaan” berupa
pembacaan matera, kejungan, ataupun mamaca. Rokat bhuju’ dilakukan oleh masyarakat
yang “kurang mengerti agama”, reng ledha’, reng gunung bhato kalettak, tandha’,
bhajingan (blater), dan orang awam atau abangan. Tradisi ini dilakukan dengan
pemujaan terhadap makam orang sakti dengan mengetengahkan sesaji, buah-buahan
ataupun beras yang diletakkan di altar pemakaman sebagai bagian dari ritual
sebagian masyarakat Madura. Realitas ini seakan paradoksal dengan masyarakat
Madura yang taat beragama. Bagi masyarakat Madura rokat bhuju’ berbeda dengan
kompolan. Suatu aktivitas keagamaan yang digelar dengan mengundang orang lain,
tetangga, famili ataupun jemaah masjid untuk berdoa, seperti pembacaan tahlil,
yasiin, barzanji, al-Qur’an, ataupun ceramah agama. Kompolan bukan ansich
spiritual, ada pula kebutuhan psikologis, jaringan sosiologis antar manusia,
kebutuhan sosialisasi, aktualisasi dan kebersamaan melalui tradisi keagamaan.
Motif sosial dan keagamaan menjadi bagian penting dari tradisi kompolan.
Tradisi kompolan juga memunculkan tokoh lokal dan pengikut (follower) dari
kalangan santri, keyae, orang haji (agamis). Sehingga media yang digunakan pun
berbeda. Hadrah, dhiba’, samroh, Cinta Rasul, tongtong, qasidah digunakan dalam
kompolan, sementara lodrok, tandha’, saronen, bhajang oreng, orkes, tayub iden
tik dengan rokat bhuju’. Bagi kalangan agamawan (santri, kyai dan ulama’) rokat
bhuju’ harus dirubah. Sebagian tokoh Madura menghendaki pergantian
aktivitas-ritual dalam kegiatan tersebut, berupa “budaya tandingan”, budaya
yang baru. Rokat bhuju’ yang dilaksanakan untuk memperingati peninggalan,
tradisi, serta jasa tokoh/orang sakti yang telah meninggal hendak dirubah
menjadi aktivitas keagamaan. Hal itu dimaksudkan supaya pengikut (followers)
rokat bhuju’ insyaf, atau kembali kepada jalan Allah. Meskipun tidak terjadi
pergantian pemimpin, namun dalam konteks ini telah terjadi proses metamorfosis,
dimana tokoh tidak lagi berasal dari kalangan luar rokat bhuju’. Akan tetapi,
berasal dari keturunan tokoh perintis rokat bhuju’ sendiri dengan lebih
mengedepankan kegiatan keagamaan dan rokat berganti menjadi kompolan. Strategi
ini merupakan hasil pendekatan pada tokoh melalui keturunan/anak-anak yang
bersekolah di pesantren di Madura.
Penulis: Fathol Khalik
Kode Jurnal: jpperadabanislamdd070076