JAKSA SELAKU PENYIDIK TINDAK PIDANA KORUPSI
ABSTRACT: Masalah korupsi
terkait dengan berbagai kompleksitas masalah, antara lain, masalah moral/sikap
mental, masalah pola hidup, budaya, dan lingkungan sosial, masalah
kebutuhan/tuntutan ekonomi dan kesenjangan sosial-ekonomi, serta masalah
struktur/sistem ekonomi, masalah sistem/budaya politik dan lemahnya
birokrasi/prosedur administrasi di bidang keuangan dan pelayanan publik. Jadi, kausa dan kondisi yang bersifat
kriminogen untuk timbulnya korupsi sangatlah multidimensi, yaitu bisa di bidang
moral, sosial, ekonomi, politik, budaya, birokrasi/administrasi dan sebagainya.
Upaya pemerintah dalam melakukan penanggulangan tindak pidana korupsi, baik
melalui penindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum maupun melalui
reformasi birokrasi di berabagai sektor publik dan adminitratif yang dilakukan
oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah masih menemui kendala.
Kondisi yang obyektif demikian itu merupakan realita dalam sektor
pelayanan publik yang perlu dibenahi, dicegah serta dicarikan jalan keluarnya
karena terkait erat dengan pola pikir (mindset), budaya kerja (culture set) dan
perilaku (behavior) dari sumber daya manusianya. Salah satu upaya untuk
membenahi dan mencegah terjadinya korupsi di daerah, tidak saja diperlukan
adanya peningkatan kualitas pelayanan publik melalui penyelenggaraan
pemerintahan yang baik dan bersih, dengan melakukan prinsip good governance dan
clean goverment tetapi juga dengan mengakselarasi sinergi pemberantasan korupsi
secara integral dan sistemik.
Berbagai upaya yang telah dilakukan oleh pemerintah di dalam
pemberantasan tindak pidana korupsi, mulai dari pembentukan dan pembaharuan
undang-undang sampai dengan pembentukan Badan/Tim/Komisi untuk penanggulangan
tindak pidana korupsi, namun kenyataannya suara sumbang masyarakat tetap
bergaung dan sorotan terhadap pemerintah berlangsung dari waktu ke waktu. Upaya
pemerintah tersebut sepertinya tidak membuahkan hasil, justru sebaliknya malah
tetap saja hujatan demi hujatan dilayangkan kepada pemerintah khususnya kepada
penegak hukum, karena dipandang tidak mampu merespons tuntutan masyarakat.6
Pembentukan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dengan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, tidak serta merta dapat melakukan penindakan
terhadap tindak pidana korupsi karena kewenangan tersebut ada pada penyidik dan
penuntut umum yang masing-masing diambil dari Kepolisian RI dan Kejaksaan RI.
Pergantian HIR dengan KUHAP telah mengakibatkan terjadinya perubahan yang
fundamental dalam hukum acara pidana. Perubahan tersebut antara lain di bidang
penyidikan, dimana kewenangan penyidikan yang selama ini berada pada Kejaksaan
RI telah beralih kepada Kepolisian RI kecuali terhadap tindak pidana tertentu.
Oleh Pasal 284 ayat (2) KUHAP masih dipercayakan kepada Kejaksaan RI khususnya
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yang kemudian ditegaskan melalui
Pasal 30 ayat (1) huruf (d) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
RI.8
Berdasarkan Pasal 30 ayat (1) UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan
Republik Indonesia disebutkan bahwa : “Di bidang pidana, kejaksaan mempunyai
tugas dan wewenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu
berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasan pasal ini disebutkan bahwa
kewenangan itu sebagaimana diatur dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan
Hak Asasi Manusia dan UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga dari ketentuan undang-undang
tersebut dapat dikatakan bahwa Jaksa (Kejaksaan) berwenang melakukan penyidikan
terhadap perkara korupsi.
Kewenangan yang diberikan undang-undang terhadap Kejaksaan RI untuk
menjadi penyidik dalam tindak pidana korupsi telah dijalankan dengan baik oleh
pihak Kejaksaan RI, sehingga begitu banyak kasus korupsi yang sudah terungkap
dan banyak pelakunya yang sudah tertangkap dan sedang menjalankan hukumannya.
Penulis: Mohammad Ridwan
Saripi
Kode Jurnal: jphukumdd160386