Kepengaturan dan Penolakan Relokasi: Kasus Warga Watugajah Pascabencana Gunung Merapi Tahun 2011-2013
Abstrak: Pascabencana Gunung
Merapi 2010, warga Dusun Watugajah di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah,
diarahkan untuk relokasi. Relokasi diterapkan sebagai bagian dari strategi
kepengaturan pascabencana dengan rasionalitas birokratis dan ilmiah tentang
kawasan rawan bencana. Kepengaturan (governmentality) adalah “upaya untuk
mengatur manusia dengan cara-cara yang terkalkulasi” (Li, 2007: 275); “teknik
dan prosedur yang diterapkan dengan jalan menempatkan kehidupan
individu-individu di bawah otoritas yang bertanggung jawab untuk mengarahkan apa
yang mereka lakukan dan terjadi pada mereka” (Foucault, 2003). Warga Watugajah
menolak skema relokasi. Berdasarkan penelitian lapangan di Watugajah dan data
sekunder dari berbagai sumber (berita dan buku program), artikel ini hendak
menjawab pertanyaan: bagaimana kontestasi di antara para aktor yang terjadi
dalam kasus penolakan warga Watugajah terhadap relokasi pascabencana Gunung
Merapi? Artikel ini menyajikan temuan bahwa penolakan warga bukanlah bentuk
antipati terhadap otoritas kepengaturan. Warga justru menunjukkan gabungan
antara sikap mempertahankan diri untuk kehidupan yang lebih baik menurut
mereka, sekaligus bersikap taktis atas hadirnya program, bantuan, maupun kebij
akan dari berbagai pihak.
Penulis: Lubabun Ni’am
Kode Jurnal: jpsosiologidd140595