PELAKSANAAN PEMILIHAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI SETELAH BERLAKUNYA UU NO 9 TAHUN 2015
ABSTRACT: Sebelum tahun 2005,
kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada
pertama kali diselenggarakan pada bulan Juni 2005. Sejak berlakunya
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada
dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama Pemilihan umum
Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan
kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah
Pilkada DKI Jakarta 2007. Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai
penyelenggara pemilihan umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam
undang-undang ini, istilah yang digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati,
dan Wali Kota.2 Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait
pemilihan kepala daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal
24 September 2014 memutuskan bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara
tidak langsung, atau kembali dipilih oleh DPRD.
Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota
DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan
Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN)
berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.3 Keputusan
ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai
langkah mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih
dicarikan cara untuk menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi
sebagian pihak yang lain, Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama
saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam
pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat)
adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang.
Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak
sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi.
Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih
anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya tetap ada. Pilkada serentak
tahun 2015 ini sempat membuat polemik karena di beberapa wilayah hanya terdapat
satu pasang calon kepala daerah, atau calon tunggal. Namun Mahkamah Konstitusi
memutuskan untuk memperbolehkan pemilihan kepala daerah bagi daerah yang hanya
memiliki calon tunggal. Mahkamah Konstitusi beralasan, jika pilkada ditunda
karena kurangnya calon, maka akan menghapus hak konstitusional rakyat untuk
memilih dan dipilih. Mahkamah juga menilai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015
tentang pilkada juga tidak memberikan jalan keluar seandainya syarat-syarat
calon tidak terpenuhi4. Untuk proses pemilihan kepala daerah calon tunggal,
surat suara akan dibuat berbeda. Surat suara khusus ini hanya akan berisi satu
pasangan calon kepala daerah, dengan pilihan "Setuju" atau
"Tidak Setuju" dibagian bawahnya.
Penulis: Nike K. Rumokoy
Kode Jurnal: jphukumdd160391