PENUNTASAN WAJIB BELAJAR SEMBILAN TAHUN DI "DAERAH SERIBU PESANTREN": MASALAH SOSIAL-EKONOMI, POLITIK, DAN BUDAYA

ABSTRACT: Tulisan ini menggambarkan kondisi yang berubah untuk penuntasan wajib belajar sembilan tahun di tengah konteks otonomi daerah, pergulatan antara pendidikan umum dan pendidikan pesantren, kesulitan ekonomi, serta prospek kesempatan kerja di Kabupaten Bangkalan. Masyarakat Bangkalan pada umumnya menempatkan pendidikan agama, yang banyak dilayani pesantren, sebagai primer karena menyangkut makna hidup, sedangkan pendidikan "umum" yang dilayani sekolah bahkan madrasah (standar Kemenag) sebagai sekunder karena lebih menekankan pembelajaran tentang cara atau alat untuk hidup. Akibatnya, APK pada wajib belajar rendah. Catatan prestasi ini berubah membaik antara lain karena Paket B (setara SMP/MTs) masuk dan diterima pesantren dan madrasah diniyah, pelaksanaan program bantuan BOS di sekolah dan madrasah, serta kepercayaan terhadap sekolah/madrasah yang meningkat. Berbeda dengan jaman sebelum otonomi, program pendidikan di daerah ini sekarang lebih dipercaya tidak akan "melupakan agama di sekolah" karena banyak diantara eksekutif dan legislatif di daerah berasal dari kalangan pesantren sendiri. Di samping itu, kepercayaan pada jalur (trajectory) "pesantren-SD-kerja wiraswasta-kaya" telah melemah akibat merosotnya perdagangan kayu dan pelayaran yang selama ini diandalkan, sementara di pihak lain, muncul ekspektasi di masyarakat bahwa kesempatan kerja yang akan terbuka akibat relokasi industri dari sekitar Surabaya ke Bangkalan kelak akan lebih menerima lulusan sekolah/madrasah daripada lulusan pesantren. Catatan prestasi APK diharapkan akan lebih baik ke depan j ika birokrasi daerah dapat mengakhiri diskriminasi dengan menempatkan secara serius pesantren umumnya dan madrasah khususnya sebagai mitra dalam upaya penuntasan.
KEYWORDS: Penuntasan Wajib Belajar, Pesantren, Madrasah, APK, Kabupaten Bangkalan
Penulis: Makmuri Sukarno
Kode Jurnal: jpsosiologidd130504

Artikel Terkait :